Selamat! Kamu adalah orang hebat yang sanggup menamatkan baca cerita aneh ini! :")
Jadi, Resilience: Remi's Rebellion merupakan novel(et) slice-of-life pertama sekaligus terakhir yang kutulis.
Cerita ini mungkin enggak semanis cerita teen fiction/romance lainnya, mungkin juga kurang menyuguhkan moral baik nan berbobot, tetapi yang terpenting aku lega sudah menuliskannya sampai tamat. Yang ingin aku tekankan di cerita ini adalah bagaimana rasanya memiliki pikiran-pikiran buruk di luar kendali diri, entah karena kesepian, lingkungan keluarga yang tidak kondusif, maupun emosi-emosi paranoid lainnya. Mengajak kalian menyelami benak frustratif seorang Remi, aku ingin kalian memahami bahwa ada sebagian manusia yang otaknya memang bekerja demikian—tak peduli seberapa keras dia ingin berubah. Satu-satunya cara menolongnya adalah dengan bertemu orang-orang yang tepat. Tidak harus menjadi pasangan, tetapi bisa berupa teman, sahabat, musuh, sampai mantan kecengan sekalipun (seperti Kino huhu).
Lalu, aku ingin menekankan bahwa cerita ini bukanlah cerita bermoral baik dengan karakterisasi tokoh bak orang suci dan diksi yang budiman. Sudah banyak cerita seperti itu di Wattpad dan aku tidak mau menjadi salah satunya. Ini bahkan bukan cerita serius, tetapi ada sedikit pesan yang ingin kusampaikan:
Pertama, konsep resilience dan rebellion. Part 1 menceritakan pemberontakan Remi, dibantu Kino, untuk mengakhiri cara pandang hidupnya yang menyedihkan. Pemberontakan untuk mencari kawan sejati dan jati diri, sebab kedua hal itu yang notabene membuat manusia bisa bertahan. Lalu, apa yang dilakukan selanjutnya setelah 'bertahan'? Ialah ketahanan, selaku terjemahan bebas dari resilience. Ketahanan diperoleh dari kesadaran tentang makna, bahwa hidup itu enggak melulu cari kebahagiaan sendiri tanpa mempedulikan kebahagiaan orang lain. Be happy, have meaning. Bagus bila bisa memperoleh dua-duanya sekaligus. Tapi, kalaupun enggak, kebermaknaan menurutku lebih pantas diutamakan.
Kedua, aku ingin menggarisbawahi bahwa ada orang-orang yang berbeda dari kita secara pola pikir—entah itu melankolis-sinis, depresif, nihilis, apateistik, agnostik, dan lain sebagainya—tetapi itu tidak menjadikan kita harus memandang mereka sebelah mata dan menuduh pikiran mereka dangkal, kacau-balau, dan tidak pantas. Tahu alasannya, 'kan? Pasti sudah tahu ya tanpa perlu dijelaskan :))
Terakhir, aku minta maaf atas segala kekurangan dalam cerita nista ini. Maaf atas komentar-komentar defensif yang kuberikan karena, jujur saja, cerita ini terlalu personal bagiku dan di sini aku membela mendiang sepupuku yang pernah depresi, saudaraku yang kelainan mental, diriku yang sempat nihilis, para korban bullying/penindasan, teman baikku yang punya anxiety disorder, dan teman-temanku yang telah menanggung lebih banyak daripada yang mereka sanggup hadapi. Aku bukan mengajak kalian untuk berpikiran terbuka (karena pemikiranku pun mungkin masih sempit), tetapi untuk menghargai perbedaan sebagai sepatutnya manusia. Kuyakin semua pembaca di sini pasti sudah cukup bijaksana untuk mengerti~
Terakhir banget setelah terakhir, terima kasih banyak sudah sudi membaca! Bila masih ada yang mengganjal, silakan tinggalkan kesan/pesan/saran/kritik melalui kolom komentar atau PM :)
Buat yang ingin Part 3, hmmm ... kayaknya aku masih butuh waktu rehat dari emotional roller-coaster ini 😂😂😂
Sampai jumpa lagi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Resilience: Remi's Rebellion (Novel - Tamat)
Fiksi Umum[15+] Sudah diterbitkan oleh BIP Gramedia. Terdiri dari Part I dan Part II. Sinopsis Part I: Masalah terbesar Remi: - Aneh - Aromantis - Tidak punya teman Remi, enam belas tahun, hanya satu dari sedikit populasi siswa aneh na...