BANYAK sekali orang yang telah masuk-keluar tempat kediaman kami di Baker Street, masing-masing dengan membawa masalah mereka yang dramatis. Tetapi yang paling mengejutkanku ialah munculnya Thorneycroft Huxtable, M.A, Ph.D., dan macam-macam gelarnya yang lain, secara tiba-tiba. Kartu namanya sampai-sampai kelihatan terlalu kecil untuk menampung deretan titel akademisnya. Kartu itu ditunjukkan kepada kami, lalu diikuti dengan pemiliknya yang masuk ke kamar kami beberapa detik kemudian—badannya begitu besar, kokoh, dan anggun, sehingga dia pastilah seseorang yang penuh percaya diri. Namun begitu dia melangkah masuk dan menutup kembali pintu, dia berjalan sempoyongan menuju meja dan terjatuh ke lantai. Di atas permadani kulit beruang tokoh yang besar dan agung itu tersungkur pingsan tak berdaya.
Kami terperanjat, dan selama beberapa detik kami hanya memandangi tubuh kekar yang roboh itu sambil menduga-duga bahwa orang itu pastilah sedang menghadapi badai kehidupan yang fatal dan yang menimpanya secara tiba-tiba. Kemudian Holmes cepat-cepat mengambil bantal kursi untuk mengganjal kepalanya dan aku sendiri mengambil brendi untuk menyegarkan mulutnya. Pada wajahnya yang gemuk dan pucat itu jelas terlihat goresan-goresan kepedihan, lipatan-lipatan hitam di bawah matanya yang terpejam, kedua sudut mulutnya yang tertarik ke bawah, dan dagunya yang sudah lama tak dicukur. Kemeja dan dasinya menunjukkan bahwa dia telah menempuh perjalanan panjang. Bentuk kepalanya bagus, tapi rambutnya kaku dan awut-awutan. Sungguh, orang yang berada di depan kami ini adalah seseorang yang sedang mengalami depresi hebat.
"Kenapa orang ini, Watson?" tanya Holmes. "Kehabisan tenaga—mungkin hanya karena kelaparan dan keletihan," kataku sambil memegang urat nadinya yang berdenyut dengan lemah.
"Dia membawa karcis kereta api untuk kembali ke Mackleton, Inggris Utara," kata Holmes sambil mengeluarkan karcis itu dari saku tamu kami. "Sekarang belum jam dua belas. Dia tentu berangkat pagi-pagi sekali tadi."
Lipatah-lipatan mata orang itu mulai bergerak-gerak dan selanjutnya sepasang matanya menatap kosong ke arah kami. Kemudian ia bangkit berdiri dengan susah payah, dan wajahnya memerah karena malu.
"Maafkan tubuh saya yang lemah ini, Mr. Holmes, saya telah bekerja melampaui batas. Terima kasih, kalau Anda tak keberatan memberikan segelas susu dan biskuit kepada saya, saya pasti akan segera merasa lebih baik. Saya datang sendiri, Mr. Holmes, agar saya yakin bahwa Anda akan bersedia ikut saya. Kalau saya cuma kirim telegram, saya kuatir tidak akan dapat meyakinkan Anda bahwa kasus yang sedang menimpa saya saat ini adalah sangat mendesak."
"Kalau Anda sudah pulih..."
"Saya baik-baik saja sekarang. Saya tak dapat membayangkan mengapa tubuh saya begitu lemah ketika sampai di sini tadi. Saya sungguh berharap, Mr. Holmes, Anda akan bersedia pergi bersama saya ke Mackleton dengan naik kereta api berikutnya."
Sahabat saya geleng-geleng kepala.
"Rekan sekerja saya, Dr. Watson, dapat menjelaskan kepada Anda bahwa kami sangat sibuk saat ini. Saya sedang menangani kasus Dokumen Ferrers, dan kasus pembunuhan Abergavenny yang hampir dimulai proses peradilannya. Hanya kalau ada persoalan yang amat sangat penting, barulah saya akan berpikir untuk meninggalkan London."
"Penting!" tamu kami berseru sambil mengangkat tangannya ke atas. "Tidakkah Anda mendengar tentang penculikan terhadap putra tunggal Duke Holdernesse?"
"Apa? Mantan Menteri Kabinet?"
"Tepat sekali. Kami sudah berusaha merahasiakannya dari surat-surat kabar, tetapi tadi malam desas-desus beritanya dimuat di Globe. Saya pikir Anda telah mendengarnya."
Holmes segera mengambil buku ensiklopedinya dan membuka bagian yang berinisial H.
"'Holdernesse, Duke Ke-6, K.G., P.C—duh, panjang amat namanya! Masih ditambah lagi 'Baron Beverley, Earl of Carston—wah, banyak sekali gelarnya! Lord Lieutenant of Hallamshire sejak 1900. Menikah dengan Edith, putri Sir Charles Appledore, 1888. Ahli waris dan anak satu-satunya bernama Lord Saltire. Memiliki sekitar 250 ribu ekar tanah. Juga pertambangan di Lancashire dan Wales. Alamat: Carlton House Terrace; Holdernesse Hall, Hallamshire; Carston Castle, Bangor, Wales. Lord of the Admiralty, 1872; Sekretaris Pertama Negara...' Ya, ya, orang ini benar-benar salah satu dari tokoh terbesar Kerajaan!"
"Terbesar dan mungkin terkaya. Saya tahu, Mr. Holmes, bahwa Anda sangat menjunjung tinggi profesi Anda dan bahkan bersedia bekerja tanpa dibayar. Namun, saya perlu mengatakan kepada Anda bahwa Yang Mulia Holdernesse telah mengumumkan akan memberikan imbalan sebesar lima ribu pound kepada siapa saja yang dapat memberitahukan di mana anak laki-Iakinya berada, dan sejumlah seribu pound lagi bagi siapa yang dapat menyebutkan nama orang atau kelompok yang menculik putranya."
"Wah, tawaran yang tinggi sekali," kata Holmes. "Watson, kupikir kita akan menemani DR. Huxtable pergi ke Inggris Utara. Dan sekarang, DR. Huxtable, kalau Anda sudah selesai minum susu itu, silakan ceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi, kapan dan bagaimana kejadiannya, serta apa hubungan Anda, DR. Thorneycroft Huxtable dari Sekolah Priory yang letaknya dekat dengan kota Mackleton, dengan kasus ini, dan mengapa Anda baru minta jasa pertolongan saya tiga hari setelah peristiwa itu terjadi—saya tahu itu dari dagu Anda yang sudah tiga hari tak dicukur."
"Sebelumnya, saya perlu menjelaskan bahwa sekolah itu adalah sebuah sekolah persiapan tempat saya menjadi pencetus dan kepala sekolahnya. Mungkin kalian dapat mengingat nama saya dari buku Huxtable's Sidelights on Horace. Tak di ragukan lagi, sekolah itu adalah sekolah persiapan yang terbaik dan paling terpilih di Inggris. Lord Leverstoke, Earl of Blackwater, Sir Cathcart Soames—mereka semua mempercayakan putra-putranya kepada saya. Namun saya merasa, sekolah saya mencapai puncak ketenarannya ketika, tiga minggu lalu, Duke Holdernesse mengirim Mr. James Wilder, sekretarisnya, untuk mengabarkan bahwa Lord Saltire, pemuda belia berusia sepuluh tahun, anak dan ahli waris satu-satunya, akan diserahkan dalam tanggung jawab saya. Saya sama sekali tak menduga bahwa hal ini justru menjadi awal kehancuran hidup saya.
"Pada tanggal satu Mei, anak laki-laki itu datang untuk mulai belajar selama semester musim panas. Dia seorang praremaja yang menarik hati dan cepat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan kami. Saya berani mengatakan kepada kalian bahwa saya langsung mendapat kesan bahwa dia agak kurang bahagia di rumahnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kehidupan pernikahan Duke Holdernesse tidak begitu mulus dan persoalannya berakhir dengan perceraian atas kesepakatan kedua belah pihak. Istri Duke sekarang tinggal di Prancis Selatan. Hal itu terjadi tepat sebelum anak itu dikirim ke sekolah kami. Padahal kabarnya dia sangat dekat dengan ibunya. Setelah ibunya meninggalkan Holdernesse Hall, anak itu jadi bersedih saja. Itulah sebabnya Duke Holdernesse lalu berniat untuk mengirimnya bersekolah di tempat kami. Dalam waktu dua minggu, anak itu sudah merasa kerasan dan kelihatan sekali bahwa dia amat bahagia.
"Dia terlihat untuk terakhir kalinya pada tanggal 13 Mei, tepatnya Senin malam yang lalu. Ruang tidurnya di lantai dua, bertembusan dengan sebuah kamar yang lebih besar yang ditempati dua anak laki-laki lain. Anak-anak di kamar sebelahnya itu tidak melihat atau mendengar apa-apa, jadi jelas dia tidak keluar melalui kamar kawan-kawannya itu. Jendela kamarnya sendiri terbuka dan di bawahnya menjalar tanaman liar sampai ke tanah. Kami tidak menemukan jejak-jejak kaki di bawah, tetapi kami yakin inilah satu satunya jalan keluar yang mungkin dipilihnya.
"Peristiwa menghilangnya Lord Saltire itu diketahui pukul tujuh keesokan paginya, hari Selasa. Ranjangnya nampak bekas ditiduri. Kemungkinan dia masih mengenakan seragam sekolah lengkap, jaket hitam Eton, dan celana panjang abu-abu tua. Tidak terdapat tanda-tanda adanya orang memasuki kamarnya, dan apabila dia berteriak atau bergelut dengan penculiknya, suaranya pasti sudah terdengar oleh temannya, Caunter, di kamar bagian dalam, yang mudah terjaga dari tidurnya.
"Begitu kami tahu bahwa Lord Saltire menghilang dari tempat kami, segeralah saya memanggil semua jajaran personel di sekolah—anak-anak didik kami, guru-guru, dan pelayan-pelayan. Kemudian kami menemukan bahwa yang menghilang ternyata bukan cuma Lord Saltire, tetapi juga Heidegger, guru bahasa Jerman. Ruangan guru ini juga di lantai dua, di sebelah pojok. Ranjangnya juga bekas ditiduri, tapi jelas sekali bahwa pada saat menghilang dia belum sempat berpakaian lengkap, karena baju dan kaus kakinya tergeletak di lantai kamarnya. Bekas tapak kakinya jelas sekali terlihat pada tanaman menjalar di halaman. Jadi dia pasti keluar dengan melompat jendela. Sepedanya biasanya diparkir di gudang kecil yang terdapat di halaman. Sepeda itu tak ditemukan di situ.
"Dia sudah mengajar di sekolah saya selama dua tahun, dan kemampuan akademisnya sempurna. Orangnya pendiam, pemurung, dan tak begitu dekat baik dengan rekan pengajar yang lain maupun dengan murid-muridnya. Tak ada tanda-tanda tentang kedua orang yang menghilang itu, padahal sekarang sudah Kamis pagi. Kami masih tak tahu apa-apa tentang menghilangnya mereka sampai saat ini. Pencarian langsung dilakukan ke Holdernesse Hall, karena tempat itu jaraknya hanya beberapa kilometer dari Sekolah Priory. Kami sempat berpikir, mungkin Lord Saltire tiba-tiba rindu pada ayahnya lalu kabur pulang begitu saja. Tapi ternyata dia tak ditemukan di sana. Duke sangat kuatir, dan saya sendiri tentu saja bukan kepalang bingung dan takut akan tanggung jawab yang harus saya pikul. Kalian sendiri menyaksikan betapa tertekannya keadaan saya. Mr. Holmes, kini saatnya Anda mengerahkan segenap kemampuan Anda, karena saya jamin Anda tak akan pernah lagi menerima tawaran setinggi ini di kemudian hari."
Sherlock Holmes mendengarkan penuturan kepala sekolah yang kebingungan ini dengan saksama. Kedua alisnya dikerutkannya sehingga dahinya berkernyit. Ini menunjukkan bahwa kasus ini di samping telah menarik perhatiannya, juga benar-benar rumit sekali dan tak biasa terjadi. Kini dia mengeluarkan buku catatannya dan mulailah dia menggores-goreskan beberapa catatan di situ.
"Anda telah melakukan kelalaian besar, karena tak mendatangi saya lebih awal," katanya dengan marah. "Anda meminta saya memulai penyelidikan dengan sebuah kendala yang amat serius. Misal-nya, tak masuk akal bahwa keadaan tanaman menjalar dan halaman tak memberikan hasil apa-apa seandainya penyelidikan dilaksanakan oleh seorang ahli."
"Bukan salah saya, Mr. Holmes. Yang Mulialah yang bermaksud menghindari kehebohan masyarakat. Dia takut kalau sampai keadaan keluarganya yang tak bahagia tersiar ke mana-mana. Dia mengalami fobi terhadap hal seperti itu."
"Tapi toh ada penyelidikan resmi?"
"Ya, sir, dan hasilnya sangat mengecewakan. Cuma ada satu petunjuk yang didapatkan tak lama setelah kejadian itu, yaitu ada orang melapor telah melihat seorang pria dan seorang anak laki-laki menuju stasiun kereta api tak jauh dari sekolah pada pagi-pagi buta. Baru tadi malam kami mendapat kabar bahwa pencarian terhadap kedua orang itu telah dilakukan di Liverpool, tanpa membawa hasil apa-apa. Saya jadi putus asa dan sangat kecewa, apalagi tak sempat tidur semalaman, lalu saya memutuskan untuk datang kepada Anda dengan naik kereta api yang paling pagi."
"Tentunya pihak penyelidik lokal bisa beristirahat sementara petunjuk yang menyesatkan itu ditelusuri?"
"Kasus ini malah sudah dianggap selesai."
"Berarti tiga hari telah disia-siakan begitu saja. Kasus ini telah ditangani secara menyedihkan."
"Memang begitulah perasaan saya."
"Padahal masalahnya harus diselesaikan. Dengan senang hati saya akan mempelajarinya. Apakah Anda tahu bagaimana hubungan anak itu dengan guru bahasa Jerman itu?"
"Tak ada hubungan apa-apa."
"Apakah anak itu mengikuti pelajarannya?"
"Tidak. Sepanjang pengetahuan saya, mereka bahkan tak pernah bertegur sapa."
"Aneh sekali. Apakah anak itu punya sepeda?"
"Tidak."
"Apakah ada sepeda lain yang hilang?"
"Tidak."
"Anda yakin?"
"Cukup yakin."
"Well, apakah menurut Anda guru bahasa Jerman itu kabur dengan naik sepeda di tengah malam buta sambil membopong anak itu di salah satu lengannya?"
"Tentu saja tidak."
"Kalau begitu apa yang ada di benak Anda?"
"Hilangnya sepeda itu mungkin sengaja untuk mengelabui. Mungkin saja disembunyikan di suatu tempat, dan mereka berdua meninggalkan tempat itu dengan berjalan kaki."
"Begitu menurut Anda, ya? Tapi rasanya sepeda itu tak mungkin untuk mengelabui, kan? Apakah ada sepeda lain yang disimpan di gudang?"
"Ada beberapa."
"Kalau memang maksudnya agar kita menduga mereka menghilang dengan naik sepeda, bukankah semestinya dia menyembunyikan dua sepeda?"
"Memang."
"Ya, memang begitulah seharusnya. Jadi kita tak perlu memperhatikan adanya teori bahwa dia ingin mengelabui. Tapi insiden hilangnya sepeda itu akan menjadi awal penyelidikan yang hebat. Apalagi, tak mudah bagi seseorang untuk menyembunyikan atau memusnahkan sebuah sepeda. Satu pertanyaan lagi. Apakah ada orang yang datang untuk menemui anak itu sebelum dia menghilang?"
"Tidak ada."
"Ada surat untuknya?"
"Ya, ada sepucuk surat"
"Dari siapa?"
"Dari ayahnya."
"Apakah Anda membuka surat itu?"
"Tidak."
"Bagaimana Anda tahu bahwa surat itu dari ayahnya?"
"Dari lambang yang tertera pada amplopnya, dan tulisan ayahnya yang kaku dan khas. Di samping itu, Duke juga mengakui bahwa dia memang telah menulis surat kepada putranya."
"Sebelum itu, kapan terakhir dia menerima surat?"
"Beberapa hari sebelumnya."
"Apakah dia pernah menerima surat dari Prancis?"
"Tidak, tidak pernah."
"Tentunya Anda mengerti mengapa saya menanyakan hal itu. Anak itu bisa saja diculik, atau bisa juga pergi atas kemauannya sendiri. Kalau yang terakhir yang terjadi, mengingat usia anak itu yang masih sangat muda, pasti ada pihak luar yang telah mendorongnya untuk kabur. Kalau selama ini tak ada orang yang pernah mengunjunginya, berarti pesan itu datangnya lewat surat, maka saya akan mencoba meneliti siapa saja yang telah mengirim surat kepadanya."
"Maaf, saya tak bisa banyak menolong. Surat-suratnya selama ini hanya dari ayahnya sendiri."
"Salah satunya diterima anak itu tepat pada hari menghilangnya. Apakah hubungan ayah dan anak itu baik?"
"Sikap Yang Mulia memang tak pernah ramah terhadap siapa pun. Dia terbiasa mengurusi masalah-masalah publik yang besar, dan dia bukan tipe orang yang emosional. Tapi dia senantiasa bersikap baik terpada putranya, dengan caranya sendiri."
"Tapi sang anak lebih bersimpati kepada ibunya?"
"Ya."
"Apakah dia mengatakan hal itu?"
"Tidak."
"Jadi Duke kah yang mengatakan hal itu?"
"Ya Tuhan, tentu saja tidak!"
"Lalu, bagaimana Anda bisa tahu hal itu?"
"Saya pernah omong-omong secara rahasia dengan Mr. James Wilder, sekretaris Yang Mulia. Dialah yang mengatakan tentang perasaan Lord Saltire."
"Baiklah. Omong-omong, surat terakhir dari Duke itu—apakah masih ada di kamar anak itu setelah dia menghilang?"
"Tidak, surat itu dibawa olehnya. Saya rasa, Mr. Holmes, kita harus berangkat ke Euston sekarang."
"Saya akan memesan kereta. Dalam waktu seperempat jam, kami akan siap melayani Anda. Kalau Anda nanti mengirim telegram ke rumah, Mr. Huxtable, akan lebih baik kalau orang-orang di daerah Anda mendapat kesan bahwa penyelidikan di Liverpool atau di tempat lain mana saja, masih berlangsung. Sementara itu, saya akan diam-diam melakukan pengecekan di tempat Anda, semoga jejak-jejak di sana belum terlalu dingin sehingga masih dapat terlacak oleh dua pemburu tua seperti kami ini."
Malam itu juga kami sudah berada di daerah puncak yang hawanya dingin menyegarkan, tempat sekolah milik DR. Huxtable yang terkenal itu berada. Hari sudah amat gelap ketika kami sampai di sana. Sehelai kartu tergeletak di meja depan, dan kepala pelayan membisikkan sesuatu kepada tuannya, yang lalu menoleh kepada kami dengan amat gelisah.
"Duke ada di sini," katanya. "Duke dan Mr. Wilder ada di ruang baca. Mari, Tuan-tuan, akan saya perkenalkan Anda kepada mereka."
Tentu saja aku sudah sering melihat gambar negarawan terkenal itu, tapi orangnya sendiri ternyata sangat berbeda dengan fotonya. Tubuhnya tinggi dan anggun, pakaiannya sempurna, wajahnya tirus, dan hidungnya bengkok dan panjang. Warna kulitnya pucat sekali, dan sangat kontras dengan jenggot panjangnya yang berwarna merah terang. Jenggotnya itu menggantung sampai menyentuh jas pendeknya yang berhiaskan rantai jam yang gemerlapan pada pinggirannya. Demikianlah penampilan negarawan itu. Dia menatap kami dengan dingin sambil berdiri tepat di tengah permadani yang terletak di depan perapian ruang baca. Seorang pemuda berdiri di sampingnya, yang tentunya adalah si Wilder, sekretaris pribadinya. Pemuda itu kecil, sikapnya gelisah, pandangannya menyelidik, matanya yang berwarna biru muda memancarkan kecerdasan, dan gerak-geriknya cekatan. Dialah yang langsung dengan gayanya yang lugas membuka pembicaraan.
"Tadi pagi saya menelepon Anda, DR. Huxtable, tapi Anda sudah berangkat ke London. Saya tahu bahwa Anda pergi mengunjungi Mr. Sherlock Holmes untuk meminta dia menangani kasus ini. Yang Mulia merasa terkejut, DR. Huxtable, karena Anda telah mengambil langkah tanpa berkonsultasi dulu dengan beliau."
"Ketika saya tahu bahwa polisi tak berhasil..."
"Tentu saja Yang Mulia juga tahu bahwa polisi tak berhasil."
"Tapi, begini, Mr. Wilder..."
"Anda kan tahu benar, DR. Huxtable, bahwa Yang Mulia selalu berusaha menghindari pemberitaan publik. Beliau lebih suka kalau hanya sesedikit mungkin orang yang tahu soal ini."
"Kalau begitu, persoalannya tak akan sulit untuk dibereskan," kata doktor itu dengan sangat menyesal. "Mr. Sherlock Holmes pasti tak keberatan untuk kembali ke London dengan kereta api pertama besok pagi."
"Jangan begitu, Doktor, jangan begitu," kata Holmes dengan sangat lemah lembut "Udara di bagian utara sini sangat menyegarkan dan menyenangkan, jadi bagaimana kalau kami mau tinggal di sini selama beberapa hari, sambil mengasah pikiran saya. Apakah kami akan tinggal di sekolah Anda atau di penginapan, tentu saja terserah Anda untuk menentukannya."
Aku bisa melihat bahwa doktor yang malang itu menjadi kebingungan. Untunglah Duke yang berjenggot merah itu angkat bicara. Suaranya menggema bagaikan lonceng pertanda makan malam. "Benar apa yang dikatakan Mr. Wilder, DR. Huxtable, bahwa Anda sebenarnya lebih baik berkonsultasi dulu dengan saya. Tapi, berhubung Anda sudah mengajak Mr. Holmes, rasanya tak masuk akal kalau kita tak memanfaatkan jasanya. Anda tak perlu tinggal di penginapan, Mr. Holmes; saya mempersilakan Anda menginap di Holdernesse Hall."
"Terima kasih, Yang Mulia. Demi tujuan penyelidikan yang akan saya lakukan, saya rasa akan lebih baik kalau saya tinggal di tempat kejadian saja."
"Terserah Anda, Mr. Holmes. Silakan, kalau Anda memerlukan informasi dari saya atau Mr. Wilder."
"Saya mungkin akan menemui Anda di Hall," kata Holmes. "Untuk saat ini, sir, bagaimanakah pendapat Anda sehubungan dengan menghilangnya putra Anda?"
"Saya tidak punya pendapat apa-apa, sir."
"Maafkan saya kalau pertanyaan saya melukai hati Anda. Tapi saya tak bisa berbuat lain. Apakah menurut Anda Duchess, mantan istri Anda, ada hubungannya dengan kasus ini?"
Menteri itu ragu-ragu.
"Saya rasa tidak," katanya pada akhirnya.
"Kemungkinan lain yang sangat jelas ialah anak itu telah diculik, dan para penculiknya akan meminta sejumlah uang tebusan. Apakah Anda sudah menerima permintaan tebusan semacam itu?"
"Belum, sir."
"Satu pertanyaan lagi, Yang Mulia. Saya dengar Anda menulis surat kepada putra Anda pada hari kejadian."
"Tidak, saya menulis surat kepadanya sehari sebelum peristiwa itu terjadi."
"Tepat. Tapi putra Anda menerima surat itu pada hari itu, kan?"
"Ya."
"Apakah ada suatu pernyataan atau apa dalam surat Anda itu yang mungkin mendorong putra Anda untuk melarikan diri?"
"Tidak, sir, jelas tidak ada."
"Apakah Anda mengeposkan surat itu sendiri?"
Yang menjawab bukan Yang Mulia tapi sekretarisnya, yang dengan jengkel nimbrung begitu saja.
"Yang Mulia tidak pernah mengeposkan surat-suratnya sendiri," katanya. "Sayalah yang mengeposkannya bersama surat-surat lain yang ada di meja ruang baca."
"Anda yakin surat itu tak tertinggal?"
"Saya yakin, karena saya melihatnya sendiri."
"Yang Mulia, berapa banyak suratkah yang Anda tulis pada hari itu?"
"Dua-tiga puluh. Saya banyak sekali melakukan surat menyurat. Tapi hal ini kan tak ada hubungannya sama sekali dengan kasus ini?"
"Secara keseluruhan memang tidak."
"Dari pihak saya sendiri," Duke melanjutkan kata-katanya, "saya sudah meminta polisi mengadakan penyelidikan sampai ke Prancis Selatan. Saya memang mengatakan bahwa saya tak percaya Duchess tega berbuat hal seperti itu, tapi pikiran anak saya itu kadang-kadang keliru, dan mungkin saja dia melarikan diri ke tempat ibunya dengan bantuan orang Jerman itu. Saya rasa, DR. Huxtable, kami sebaiknya mohon diri."
Aku tahu sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin diajukan Holmes, tapi sikap bangsawan itu yang terburu-buru begitu menunjukkan bahwa dia tak ingin melanjutkan tanya jawab lagi. Jelas sekali bahwa naluri kebangsawanannya sangat terganggu kalau dia harus membicarakan masalah keluarganya dengan orang luar, dan dia pasti takut kalau pertanyaan-pertanyaan berikutnya akan lebih banyak membeberkan latar belakangnya yang kurang menyenangkan.
Ketika sang bangsawan dan sekretarisnya telah pergi, temanku langsung melakukan penyelidikan dengan penuh semangat. Kamar tidur anak itu diperiksanya dengan saksama. Tak ada hasil yang didapat kecuali kepastian bahwa anak itu telah kabur dengan melompat melalui jendela kamarnya. Penyelidikan yang dilakukan di kamar guru bahasa Jerman juga tak menghasilkan petunjuk apa-apa. Hanya jejak tumit sepatunya kelihatan dengan jelas di halaman, tepat di bawah jendelanya. Cuma itu saja.
Sherlock Holmes meninggalkan tempat itu sendirian, dan baru kembali pada jam sebelas lewat. Dia membawa pulang sebuah peta lokasi daerah itu. Dia masuk ke kamarku lalu membentangkan peta itu di tempat tidur. Setelah menyorotinya dengan lampu, dia mulai menunjuk-nunjuk beberapa tempat di peta itu dengan pipa rokoknya yang bau.
"Kasus ini membuatku penasaran, Watson," katanya. "Ada beberapa rincian yang menarik perhatian sehubungan dengan kasus ini. Sebagai tahap awal, aku ingin kau mempelajari data-data geografis itu, karena akan sangat berguna bagi penyelidikan kita selanjutnya.
"Coba lihat peta ini. Tanda persegi hitam itu adalah Sekolah Priory. Biar kuberi tanda dengan kancing. Nah, garis ini adalah jalan utama. Kau lihat, kan, bahwa jalan itu menuju ke kiri dan ke kanan, dan juga tak ada belokan sepanjang satu setengah kilometer pada kedua arah. Kalau kedua orang yang menghilang itu lewat jalan darat, pastilah lewat jalan ini."