Charles Augustus Milverton

153 1 0
                                    


  PERISTIWA yang kukisahkan ini terjadi bertahun-tahun yang lalu, tapi masih dengan rasa tak enak aku menuturkannya. Cukup lama peristiwa ini kurahasiakan, sebab aku tak mungkin mengungkapkan fakta-faktanya kepada publik walau dengan cara yang paling hati-hati sekalipun. Namun sekarang, orang yang paling berkepentingan dengan peristiwa itu sudah tak bisa dikejar oleh hukum manusia lagi, dan dengan membatasi beberapa hal, kisah ini bisa kupaparkan tanpa menyinggung perasaan siapapun. Kisahnya adalah tentang pengalaman kami berdua, yaitu Sherlock Holmes dari aku sendiri, yang amat sangat unik. Aku mohon maaf kepada segenap pembaca karena tidak menyertakan tahun dan beberapa fakta yang memungkinkan pembaca melacak keabsahan peristiwa ini.

Kami berdua, aku dan Holmes, baru saja kembali dari berjalan-jalan pada sekitar jam enam sore itu. Cuaca di luar sangat dingin dan beku, karena memang sedang musim dingin. Begitu Holmes menyalakan lampu di ruangan kami, nampak oleh kami sebuah kartu nama di atas meja. Holmes melihat kartu itu sekilas kemudian melemparkannya dengan jijik ke lantai. Aku memungut kartu itu dan membaca nama yang tertera di situ :

CHARLES AUGUSTUS MILVERTON,Appledore Towers,Hampstead.Agen.

"Siapakah orang ini?" tanyaku.

"Orang paling jahat di London," jawab Holmes sambil mengambil tempat duduk dan menyelonjorkan kakinya ke depan perapian. "Apakah ada pesan yang tertulis di balik kartu itu?"

Aku membalik kartu itu.

"Akan datang jam 18.30—C.A.M.," demikian bunyi pesan yang kubacakan kepada Holmes.

"Hm! Dia sudah hampir tiba. Pernahkah kau merasa ngeri dan takut, Watson, kalau sedang berdiri di depan ular-ular di kebun binatang dan menatap binatang binatang berbisa itu merayap dan meluncur, dengan mata mereka yang mematikan dan muka pipih yang mengerikan itu? Well, begitulah kesanku kalau berhadapan muka dengan Milverton. Aku sudah berhubungan dengan lima puluh pembunuh dalam karierku, tapi tak satu pun yang pernah begitu menjijikkanku seperti penjahat yang satu ini. Tapi aku tak bisa menghindar darinya—bahkan dia kemari atas undanganku."

"Tapi, siapa gerangan orang ini?"

"Baiklah kukatakan kepadamu, Watson. Dia adalah raja dari segala tukang peras yang pernah ada di bumi ini. Semoga Tuhan mengampuninya, dan semoga Tuhan menolong wanita yang rahasia serta reputasinya ada dalam genggaman Milverton. Dengan senyum tersungging di wajah dan hati yang bagaikan pualam, dia akan melakukan pemerasan beruntun sampai pihak yang diperas ludes isi kantongnya. Cara kerja orang ini memang cerdik, dan kalau saja dia mau menangani bisnis yang baik, dia pasti akan melesat maju dengan cepat. Cara kerjanya sebagai berikut: Dia mengumumkan bahwa dia bersedia membayar mahal kepada siapa saja yang bisa menyerahkan surat-surat yang bakal merusak reputasi seorang kaya atau terhorrmat. Dia mendapatkan surat-surat ini bukan saja dari pelayan-pelayan yang berkhianat kepada tuan dan nyonya rumah mereka, tetapi seringnya malah dari para bajingan berpenampilan 'baik-baik' yang pernah menjalin hubungan dengan para wanita terhormat. Dia bukan orang yang pelit. Aku tahu bahwa dia pernah membayar tujuh ratus pound untuk sepucuk surat yang panjang isi beritanya tak lebih dari dua baris. Dan akibatnya ialah hancurnya sebuah keluarga ningrat. Apa pun yang sedang beredar di pasaran akhirnya akan jatuh ke tangan Milverton, dan ratusan penduduk kota London bergidik kalau mendengar namanya disebut. Tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi korban selanjutnya, karena dia sudah menjadi sangat kaya dan tak mau beroperasi kalau dia tak yakin hasilnya akan besar sekali. Dia bisa saja menyimpan sebuah informasi selama bertahun-tahun, dan baru dikaryakannya apabila saatnya sudah tepat. Tadi sudah kukatakan bahwa dia itu orang paling jahat di London, dan baiklah aku bertanya kepadamu mana yang lebih jahat: Seseorang yang telah tega menghabisi nyawa istrinya, atau orang ini, yang dengan santai dan terencana menyiksa jiwa dan menyayat-nyayat perasaan orang lain hanya untuk menambah hartanya yang sudah bertumpuk-tumpuk?"

Jarang sekali Holmes begitu berapi-api dalam berbicara.

"Tapi," kataku, "masa orang semacam dia tak dapat dijangkau oleh hukum?"

"Harusnya ya, tapi nyatanya tidak. Apa untungnya bagi seorang wanita, misalnya, kalau berhasil menjebloskannya ke penjara untuk beberapa bulan saja, tapi hidupnya sendiri akan hancur berkeping-keping tak lama setelah itu? Selama ini, para korbannya tak ada yang berani melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Seandainya saja dia melakukan pemerasan terhadap seseorang yang ternyata tak perlu menyembunyikan apa-apa, kita pasti akan dapat menangkapnya. Tapi, dia ini licik dan licinnya bagaikan iblis. Tidak, tidak, kita harus mencari cara lain untuk memeranginya."

"Lalu, untuk apa dia kemari?"

"Karena ada seorang klien wanita yang namanya sangat terkenal di negeri ini yang mempercayakan kasusnya kepadaku. Nama wanita itu Lady Eva Blackwell, wanita paling cantik di London. Dua minggu yang akan datang, rencananya dia akan menikah dengan Earl of Dovercourt. Dan, bajingan ini ternyata memiliki beberapa surat wanita itu yang pernah secara ceroboh ditulis dan dikirimkannya kepada seorang pemuda miskin di desa. Ya, cuma begitu, Watson, tapi cukup untuk membatalkan pernikahan itu. Milverton mengancam akan mengirimkan surat-surat wanita itu kepada calon suaminya kalau wanita itu tidak membayarkan sejumlah uang kepadanya. Wanita itu menugasi aku untuk menemui Milverton dan merundingkan hal ini dengannya dengan sebaik mungkin."

Pada saat itu terdengar dencing kereta di jalanan. Ketika melongok ke bawah, aku melihat sebuah kereta mewah yang berhiaskan lampu yang terang di kedua sisi depannya. Seorang pelayan pria membukakan pintu kereta itu, lalu seseorang beranjak turun. Dia seorang pria bertubuh gemuk-pendek, mengenakan jas panjang dari bulu domba yang penuh rumbai-rumbai. Semenit kemudian dia sudah berada di ruangan kami.

Charles Augustus Milverton berusia sekitar lima puluhan. Kepalanya yang besar menunjukkan kehebatan otaknya. Wajahnya yang bulat memancarkan rasa percaya diri yang tinggi, tanpa kumis ataupun janggut. Senyumnya dingin, dan matanya yang abu-abu bersinar-sinar, penuh rasa ingin tahu di balik kacamatanya yang lebar dan berbalut emas di pinggirannya. Penampilannya benar-benar seperti orang baik-baik kecuali senyum sinisnya yang terus menerus tersungging dan kilau tatap matanya yang penasaran dan bagaikan mampu menembus pikiran orang. Suaranya lembut dan sopan sebagaimana penampilannya. Dia menyalami kami sambil menggumamkan penyesalannya karena tak berhasil menemui kami pada kunjungan sebelumnya.

Holmes tak membalas uluran tangannya, malah hanya menatap wajah orang itu dengan kaku. Senyum Milverton menjadi semakin lebar; dia mengangkat bahunya, melepas dan melipat jas panjangnya, dan dengan gerakan yang amat mencolok lalu menaruh jas itu pada sandaran sebuah kursi. Lalu dia mengambil tempat duduk.

"Dia ini," katanya sambil menunjuk ke arahku, "tak jadi masalah, ya? Dia bisa dipercaya?"

"Dr. Watson adalah rekan sekerja saya."

"Baiklah, Mr. Holmes. Saya keberatan pun demi kepentingan klien Anda. Masalah ini begitu pekanya..."

"Dr. Watson sudah tahu semuanya."

"Kalau begitu, kita bisa langsung membicarakan bisnis. Anda mengatakan bahwa Anda mewakili Lady Eva. Apakah dia telah memberikan wewenang kepada Anda untuk menyetujui persyaratan yang saya ajukan?"

"Persyaratan apa?"

"Tujuh ribu pound."

"Kalau persyaratan itu tidak disetujui?"

"Wah, sir, saya sendiri tak senang mengatakannya; tapi kalau uang itu tidak dibayarkan paling lambat tanggal empat belas, pernikahannya pasti akan batal."

Dia tersenyum lebar dengan penuh kemenangan. Betapa memuakkannya senyumnya itu, sampai-sampai tak tertahankan oleh kami! Holmes berpikir sejenak.

"Anda ini," katanya pada akhirnya, "nampaknya terlalu percaya diri. Saya sendiri tentu saja sudah tahu tentang isi surat-surat itu. Klien saya pasti akan melakukan apa yang saya sarankan. Saya akan menasihatinya agar berterus-terang saja kepada calon suaminya tentang surat itu, dan agar dia mempercayai kemurahan hatinya."

Milverton tergelak.

"Jelas Anda tidak mengenal Earl of Dovercourt," katanya.

Holmes kelihatan terpukul, dan aku dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya dia mengenal betul sifat-sifat sang bangsawan.

"Apa bahayanya surat-surat itu?" tantang Holmes.

"Oh, itu benar-benar mengesankan," sahut Milverton. "Wanita ini sangat pandai menulis surat. Tapi saya jamin Earl of Dovercourt takkan menyukainya. Namun kalau Anda berpendapat lain, ya terserah. Pokoknya saya hanya mau berurusan bisnis. Kalau menurut Anda lebih baik surat-surat itu sampai ke tangan sang bangsawan, tentunya Anda tak akan sudi susah-susah membayar banyak untuk mendapatkannya, bukan?"

Dia bangkit dari duduknya dan menyambar jas panjangnya yang terbuat dari bulu domba.

Wajah Holmes merah padam karena marah dan muak.

"Tunggu sebentar," katanya. "Anda terlalu terburu-buru. Kami sepakat untuk mencari jalan agar skandal yang peka ini tak terjadi."

Milverton kembali duduk.

"Saya yakin Anda akhirnya akan mengarah ke sana," dia menggumam.

"Namun," Holmes melanjutkan, "Lady Eva bukanlah wanita yang sangat kaya. Saya yakin bahwa dua ribu pound saja sudah akan membuatnya bangkrut. Jadi, jumlah yang Anda minta itu benar-benar di luar kemampuannya. Maka saya mohon Anda bisa meringankan persyaratan itu, dan bersedia mengembalikan surat-surat itu dengan imbalan yang tadi saya sebutkan. Itu jumlah tertinggi yang bisa Anda dapatkan. Percayalah!"

Senyum Milverton melebar dan matanya mengejap-ngejap penuh humor.

"Saya tahu bahwa apa yang Anda katakan itu benar adanya," katanya. "Namun, dalam rangka menjelang pernikahannya bukankah banyak teman dan saudaranya yang sedang sibuk memikirkan hadiah yang tepat untuknya? Daripada repot-repot memilih hadiah yang belum tentu disukai penerimanya, bukankah tumpukan surat ini akan jauh lebih membuatnya bahagia daripada tempat lilin bersusun atau piring tempat mentega?"

"Tentu saja hal itu tak mungkin," kata Holmes.

"Wah, wah, sayang sekali!" teriak Milverton sambil mengeluarkan sebuah buku saku yang tebal. "Saya tak habis pikir mengapa wanita-wanita gampang putus asa. Coba lihat ini!" Dia menunjukkan catatan pendek yang amplopnya bergambarkan sebuah lambang. "Surat ini milik... well, mungkin sebaiknya saya menyebutkan namanya besok pagi saja. Tapi pada saat itu, surat ini akan sudah berada di tangan sang suami. Semua ini hanya karena wanita itu tak bersedia mengupayakan sejumlah uang yang sebetulnya bisa dia dapatkan dalam waktu satu jam dengan cara menjual koleksi perhiasannya. Sayang sekali. Nah, Anda ingatkah pertunangan antara the Honourable Miss Miles dan Kolonel Dorking yang secara tiba-tiba dibatalkan? Hanya dua hari sebelum pernikahan mereka berlangsung, muncul tulisan di Morning Post yang membeberkan tentang pembatalan pertunangan itu. Dan apakah sebabnya? Sama sekali tak terbayangkan, tetapi sebenarnya itu semua tak perlu terjadi andaikata saja wanita itu bersedia menyediakan uang sejumlah, 1.200 pound. Menyedihkan, bukan? Dan sekarang saya berhadapan dengan Anda, seorang yang pikirannya jernih, meributkan tentang persyaratan, padahal masa depan dan kehormatan klien Anda sedang dipertaruhkan. Saya heran akan sikap Anda, Mr. Holmes."

"Apa yang saya katakan itu benar adanya," Holmes menjawab. "Dia tak punya uang sebanyak itu. Tentunya lebih menguntungkan bagi Anda kalau menyetujui tawaran saya saja daripada merusak masa depan wanita itu, yang tak akan menghasilkan apa-apa bagi Anda."

"Nah, Anda salah kalau begitu, Mr. Holmes. Dengan membeberkan surat-surat ini, secara tak langsung saya mendapat untung. Saya punya delapan sampai sepuluh kasus serupa yang sedang dalam proses dioperasikan. Kalau mereka tahu bahwa saya telah memberikan pelajaran yang amat keras kepada Lady Eva, mereka akan jauh lebih mudah untuk menerima persyaratan saya. Anda mengerti maksud saya?"

Holmes meloncat dari kursinya.

"Tangkap dia dari belakang, Watson. Jangan sampai dia lari keluar! Nah, sekarang, sir, saya mau melihat isi buku catatan Anda."

Milverton telah melompat ke samping; cepat sekali refleksnya bagaikan seekor tikus. Dia berdiri dengan punggung tersandar di dinding.

"Mr. Holmes, Mr. Holmes!" katanya sambil membalik bagian depan jas panjangnya dan dalam sekejap telah mengokang sebuah pistol besar yang keluar dari kantong saku jasnya. "Saya sebenarnya berharap Anda melakukan sesuatu yang orisinal. Kalau reaksi semacam ini sih sudah terlalu sering terjadi, dan apa gunanya? Percayalah, saya bersenjata lengkap dan saya senantiasa siap untuk menggunakan senjata-senjata itu, karena saya tahu hukum akan berpihak pada saya. Di samping itu, Anda mengira saya membawa surat-surat itu dan saya sisipkan di buku catatan ini? Salah besar. Saya tak akan melakukan hal sebodoh itu. Nah, sekarang, Tuan-tuan, masih ada satu atau dua wawancara yang harus saya lakukan malam ini, sedang perjalanan pulang ke Hampstead memakan waktu yang cukup lama."

Dia melangkah ke depan, mengambil jasnya, tetap menggenggam pistolnya, lalu menuju ke pintu. Aku mengangkat sebuah kursi, tapi Holmes menggelengkan kepalanya sehingga kursi itu pun lalu kukembalikan ke tempatnya semula. Setelah membungkukkan badan, sambil tersenyum dan mengedipkan mata, Milverton meninggalkan ruangan kami, dan beberapa saat kemudian kami mendengar suara pintu kereta yang dibanting, lalu dencing roda kereta yang meninggalkan tempat kami.

Holmes duduk tak bergerak di dekat perapian dengan kedua tangan menyusup ke saku celananya. Dagunya tertekuk sampai ke dada, matanya menatap api yang menyala-nyala tanpa berkedip. Selama setengah jam dia tak bergeming dalam kebisuan. Kemudian, dengan gerakan tubuh yang menandakan bahwa dia telah memutuskan sesuatu, dia berdiri, lalu melangkah ke kamar tidurnya. Sejenak kemudian seorang pekerja yang masih muda dan gagah perkasa dengan janggut yang bagaikan kambing berjalan dengan angkuhnya sambil menyalakan pipa rokoknya sebelum keluar dari rumah.

"Aku mau pergi dulu, Watson," katanya, lalu dalam sekejap dia menghilang di kegelapan malam. Aku tahu bahwa dia sedang memulai peperangannya melawan Charles Augustus Milverton, tapi aku tak bisa membayangkan peran apa yang dilakonkannya dengan penyamarannya yang aneh itu.

Selama beberapa hari Holmes tetap menyamar seperti itu. Dia pulang dan pergi pada waktu-waktu yang tak bisa ditentukan, tapi jelas sekali bahwa kepergiannya adalah ke daerah Hampstead, dan kelihatannya membawa hasil yang menggembirakan. Namun aku tetap tak tahu-menahu tentang apa yang sedang dilakukannya. Sampai akhirnya pada suatu malam yang gemuruh oleh tiupan angin badai yang dahsyat sehingga mengakibatkan jendela-jendela kamar kami bergemeretak, dia pulang dari penyelidikan tahap akhirnya. Setelah melepaskan penyamarannya, dia duduk di depan perapian dan tertawa dalam hati tanpa suara sedikitpun.

"Menurutmu, aku ini cocok tidak jadi suami, Watson?"

"Wah, jelas tidak!"

"Kau pasti terkejut kalau kukatakan bahwa aku sudah bertunangan "

"Astaga, Holmes! Sel..."

"Dengan pelayan wanita Milverton."

"Ya ampun, Holmes!"

"Aku membutuhkan informasi, Watson."

"Tapi tidakkah kau telah melangkah terlalu jauh?"

"Langkah ini sangat kuperlukan. Saat ini aku punya profesi baru sebagai tukang leding bernama Escott, yang sedang menanjak kariernya. Tiap malam aku jalan-jalan dan ngobrol dengannya. Ya ampun, pura-pura ngobrol begitu ternyata cukup menyiksaku! Tapi aku berhasil mendapatkan semua informasi yang kubutuhkan. Sekarang aku tahu isi rumah Milverton bagaikan aku melihat telapak tanganku sendiri."

"Tapi gadis itu, Holmes?"

Dia mengangkat bahunya.

"Habis, mau bagaimana lagi, sobatku Watson? Kau harus memainkan kartumu sebaik mungkin kalau posisimu sedang sangat terjepit, kan? Tapi dengan penuh kegembiraan aku ingin mengatakan bahwa aku punya saingan berat yang pasti akan menggantikan peranku begitu aku meninggalkan tunanganku. Betapa indahnya malam ini!"

"Cuaca begini buruknya kaubilang indah?"

"Karena akan sangat mendukung rencanaku. Watson, aku berniat untuk menyusup ke rumah Milverton malam ini."

Aku menahan napas dan sekujur tubuhku terasa dingin ketika mendengar kata-katanya yang diucapkannya dengan tenang namun sangat meyakinkan yang menunjukkan tekadnya. Bagaikan kilatan petir di kejauhan yang secara sepintas menguakkan dengan jelas apa-apa yang terkena kilatannya, demikian juga secara sekilas aku bisa membayangkan apa yang mungkin menimpa temanku dengan tindakannya itu—dia akan kepergok, lalu ditangkap, sehingga kariernya yang gemilang akan hancur secara amat memalukan, dan sobatku itu hanya mampu terbaring di lantai sambil memohon belas kasihan Milverton yang menjijikkan itu.

"Demi Tuhan, Holmes, coba pikirkanlah kembali apa yang sedang kaulakukan!" teriakku.

"Sobatku yang baik, aku sudah memikirkannya dengan saksama. Kau kan tahu, aku tak pernah gegabah dalam bertindak, juga tak pernah membuang-buang energi dan menyerempet-nyerempet bahaya jika ada alternatif lain yang lebih memungkinkan. Mari kita perhatikan kasus ini dengan jelas dan benar. Kurasa kau nanti akan menyadari bahwa tindakanku ini secara moral bisa dibenarkan, walaupun secara teknis termasuk tindak kejahatan. Menyusup ke rumahnya kan sama saja dengan mengambil buku catatannya secara paksa—tindakan yang waktu itu kaudukung."

Aku memutar otak.

"Ya," kataku, "secara moral memang bisa dibenarkan asal kita tidak mengambil barang lain kecuali yang telah dipergunakan untuk tujuan-tujuan ilegal."

"Tepat sekali. Karena secara moral tindakanku ini bisa dibenarkan, yang jadi pertimbanganku kini hanyalah bagaimana menghindari risiko-risiko yang mungkin terjadi. Seorang pria sejati pasti tak akan takut menanggung risiko sebesar apa pun, kalau dia tahu ada seorang wanita yang sedang sangat membutuhkan bantuannya, ya, kan?"

"Kau akan berada dalam posisi yang serba salah."

"Well, itu memang sebagian dari risiko yang bisa saja terjadi. Tak ada cara lain untuk mendapatkan surat-surat itu, kecuali dengan masuk ke rumahnya. Wanita yang malang itu tak punya banyak uang, dan tak ada seorang saudaranya pun yang bisa dimintai bantuan. Besok pagi adalah hari terakhir dari batas waktu yang diberikan, dan kalau sampai kita tak berhasil mendapatkan surat-surat itu malam ini, bajingan itu pasti akan melaksanakan ancamannya, dan ini akan menghancurkan hidup wanita itu. Oleh sebab itu, aku hanya punya dua pilihan, membiarkan hidup klienku hancur, atau memainkan kartu terakhir yang kumiliki. Terus terang saja, Watson, sebenarnya ini lebih merupakan duel pribadi antara aku dan orang bernama Milverton ini. Seperti yang kaulihat, dia telah memenangkan babak pertama, tapi kehormatan diri dan reputasiku menuntutku untuk menyelesaikan pertandingan ini."

"Well, aku tak menyetujui tindakanmu ini, tapi rasanya tak ada pilihan lain," kataku. "Kapan kita berangkat?"

"Kau tak perlu ikut"

"Kau tak akan pergi tanpa aku," kataku. "Percayalah, aku berjanji—dan seumur hidup aku tak pernah ingkar janji—bahwa aku akan langsung naik kereta menuju kantor polisi untuk mencegah tindakanmu, kecuali kau izinkan aku ikut dalam petualanganmu kali ini."

"Kehadiranmu tak akan banyak membantu."

"Bagaimana kau yakin akan hal itu? Kau tak tahu apa yang akan terjadi. Pokoknya, aku sudah mengambil keputusan. Bukan hanya kau seorang yang punya harga diri dan nama baik yang perlu dipertahankan."

Holmes kelihatan jengkel, tapi kerut di dahinya lalu menghilang dan dia menepuk pundakku.

"Well, well, sobatku yang baik, baiklah. Kita sudah menempati rumah kontrakan bersama-sama selama bertahun tahun, maka kalaupun kita sampai tertangkap nanti, bukankah akan lebih menyenangkan kalau kita mendekam di penjara bersama-sama pula? Kau tahu, Watson, aku tak keberatan mengaku padamu bahwa aku sering berpikir aku ini bisa saja menjadi penjahat yang lihai. Inilah satu-satunya kesempatan dalam hidupku untuk melakonkan diri sebagai penjahat. Lihat ini!" Dia mengambil sebuah kotak kulit kecil dari laci. Setelah membuka kotak itu, dia memamerkan beberapa perlengkapan yang berkilauan. "Ini alat-alat perlengkapan maling yang sangat canggih dan kelas satu; alat pembuka kunci berlapis nikel, pisau kaca berujung berlian, kunci yang fleksibel ukurannya, dan kecanggihan-kecanggihan lain yang dihasilkan oleh peradaban yang semakin maju. Nih, ada lagi, lampu yang sinarnya tak begitu terang. Semuanya sudah beres. Apakah kau punya sepatu yang tak menimbulkan bunyi?"

"Aku punya sepatu tenis yang solnya terbuat dari karet"

"Bagus. Punya topeng?"

"Bisa kubuatkan dari kain sutera hitam."

"Aku tahu bahwa secara alamiah kau punya bakat untuk hal-hal seperti itu. Baiklah, silakan membuat topengnya. Kita akan makan malam dulu sebelum berangkat. Sekarang jam setengah sepuluh, dan kita akan naik kereta ke Church Row pada jam sebelas. Dari sana, kita masih harus berjalan sampai ke Appledore Towers selama lima belas menit. Kita akan memulai operasi kita sebelum tengah malam. Milverton itu tidurnya nyenyak sekali, dan selalu masuk tidur pada jam setengah sebelas tepat. Kalau kita beruntung, kita akan tiba kembali di tempat tinggal kita ini pada sekitar jam dua fajar, sambil mengantongi surat-surat Lady Eva."

Aku dan Holmes segera berganti pakaian. Kami mengenakan pakaian resmi bagaikan dua orang yang baru saja pulang menonton opera. Kami naik kereta dari Oxford Street menuju sebuah alamat di daerah Hampstead. Setelah membayar ongkos kereta, kami mengatupkan semua kancing jas kami karena cuaca malam itu sangat menggigit dinginnya, dan angin mengembus tubuh kami dengan kencangnya. Lalu kami berjalan menelusuri lapangan yang ditumbuhi semak-semak.

"Kasus ini perlu ditangani dengan amat hati-hati," kata Holmes. "Dokumen-dokumen yang akan kita ambil disimpan dalam sebuah lemari besi di ruang baca, dan ruang bacanya tepat bersebelahan dengan kamar tidurnya. Sebaliknya, sebagaimana biasanya orang-orang yang pendek-gemuk, dia itu kalau sudah ngorok tak gampang terbangunkan oleh suara apa pun. Kata Agatha—begitulah nama tunanganku—para pelayan sering bergurau bahwa tak mungkin mereka akan bisa membangunkan tuannya bila dia sedang tidur. Sang tuan mempunyai seorang sekretaris yang sangat setia kepadanya dan yang seharian mengawasi ruang baca itu. Itu sebabnya kita tak mungkin masuk ke situ pada siang hari. Lalu, dia punya seekor anjing buas yang berkeliaran di halaman luar. Sudah dua malam berturut-turut aku menjumpai Agatha, jadi pada malam ini pun anjing itu pasti dikandangkannya untuk memberiku kesempatan. Nah, kita sudah sampai ke rumah itu sekarang, tuh, rumah yang besar dengan halaman luas. Yuk, kita masuk melalui gerbangnya—lalu ke sebelah kanan, menuju gerombolan pohon salam. Mari kita pakai topeng penutup muka di sini. Lihatlah, tak ada sinar 1ampu sama sekali di semua ruangan di dalam sana, semuanya beres."

Setelah menutupi wajah kami dengan topeng yang kubuat dari kain sutera hitam, penampilan kami pun benar-benar bagaikan perampok sejati. Kami lalu menyusup ke rumah yang sunyi dan gelap itu. Pada salah satu sisi rumah itu terdapat serambi yang amat luas yang lantainya terbuat dari batu bata. Pada serambi itu terdapat beberapa jendela dan dua pintu.

"Kamar itu adalah kamar tidurnya," bisik Holmes sambil menunjuk. "Pintu ini langsung menuju kamar baca. Memang paling gampang kalau lewat sini, tapi pintu ini dipalang dan dikunci, sehingga akan terlalu riskan kalau kita mencoba membobolnya. Mari berputar ke sana. Ada rumah kaca yang bisa menghubungkan kita dengan kamar baca "

Rumah kaca itu dikunci, tapi Holmes mencongkel salah satu keping kacanya lalu merogohkan tangannya ke dalam, dan berhasil memutar kuncinya dari dalam. Tak lama kemudian kami masuk, dan dia menutup pintu rumah kaca itu kembali. Dengan begitu di hadapan hukum yang berlaku, resmilah kedudukan kami sebagai pencuri. Di dalam rumah kaca itu, kami langsung menghirup udara yang hangat dan wewangian tanaman di sekeliling kami. Holmes menggaet tanganku dalam kegelapan dan menarikku dengan cepat melewati tanaman-tanaman berduri yang sempat menggores-gores wajah kami. Kemahiran Holmes untuk bergerak dalam kegelapan sungguh mengherankan. Sambil tetap menggenggam salah satu tanganku, dia membuka sebuah pintu lain, dan aku lalu menyadari bahwa kami telah berada di sebuah ruangan yang berbau cerutu. Dia menggapai-gapai semua perabot yang ada di dalam ruangan itu, lalu membuka sebuah pintu, dan menutupnya kembali setelah kami melewatinya. Ketika menggapai-gapai, tanganku mengenai beberapa jas yang tergantung di dinding, dan tahulah aku bahwa kami sedang berada di sebuah lorong. Kami melewati lorong itu, dan dengan hati-hati Holmes lalu membuka pintu di sebelah kanannya. Tiba-tiba ada sesuatu yang lewat dengan cepat di hadapan kami. Jantungku langsung berhenti berdetak. Seandainya saja aku tahu sebelumnya bahwa yang lewat barusan ternyata cuma seekor kucing, tentulah aku cuma tersenyum saja. Perapian masih menyala di ruangan yang baru kami masuki dan ruangan ini pun berbau rokok. Holmes berjalan masuk sambil berjingkat, dan aku pun disuruhnya mengikuti langkahnya, lalu ditutupnya pintu ruangan itu dengan sangat hati-hati. Kami kini berada di kamar baca Milverton dan pembatas di ujung sana menandakan bahwa di situlah pintu masuk menuju kamarnya.

Perapian di kamar baca itu sangat menolong kami, karena memberikan penerangan. Di dekat pintu aku melihat tombol lampu, tapi kami tak memerlukan penerangan lagi, seandainya pun keadaan memungkinkan untuk kami menyalakan lampu di ruangan itu. Di samping perapian tergantung gorden yang berat, yang menutupi jendela yang kami lihat dari luar tadi. Di sebelah lainnya, ada pintu yang menuju serambi. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja yang dilengkapi dengan kursi putar berlapiskan kulit merah yang berkilauan. Di seberangnya berdiri rak buku besar berhiaskan patung setengah badan dari manner di atasnya. Pada salah satu sudut ruangan, di antara rak buku dan pojok dinding berdirilah lemari besi yang tinggi berwarna hijau. Tombol-tombolnya yang terbuat dari kuningan sangat berkilauan. Holmes langsung menuju lemari besi itu, lalu memperhatikannya dengan teliti. Kemudian dia berjingkat menuju pintu kamar tidur, lalu menjulurkan kepalanya untuk mendengarkan dengan saksama. Tak ada suara dari dalam sana. Sementara itu, terpikir olehku bahwa untuk melarikan diri nanti akan lebih aman kalau kami lewat pintu yang langsung menuju halaman. Aku lalu memeriksa pintu itu. Betapa kagetnya aku karena pintu itu ternyata tak dikunci maupun dipalang! Kusentuh lengan Holmes, dan dia lalu menoleh ke arah pintu yang kumaksud. Wajahnya yang bertopeng langsung menunjukkan ekspresi terkejut seperti yang kualami sebelumnya.

"Ada yang tidak beres," bisiknya sambil mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Aku belum dapat menyimpulkan apa itu. Yang jelas, kita tak punya banyak waktu."

"Ada yang bisa kulakukan?"

"Ya. berdirilah dekat pintu itu. Kalau kau mendengar seseorang mendekat, langsung kaupasangkan palang itu, lalu kita melarikan diri lewat jalan yang tadi kita tempuh. Kalau ada orang datang dari arah yang berlawanan, kita akan langsung kabur lewat pintu itu kalau tugas kita sudah selesai, atau, kalau belum, kita akan bersembunyi dulu di balik gorden jendela ini. Mengerti?"

Aku mengangguk, lalu berjaga di dekat pintu itu. Aku sudah bisa mengatasi ketakutan yang semula menimpa diriku. Kini yang kurasakan malah kegairahan yang meluap-luap, lebih dahsyat daripada kalau kami berperan sebagai penegak hukum dan bukan pelanggar-pelanggar hukum. Tujuan misi kami yang amat mulia—bukan untuk kepentingan pribadi dan menuntut keberanian yang tinggi—membuat kami dengan bangga melakukan petualangan ini. Apalagi kalau kami mengingat kelicikan penjahat yang sedang kami lawan! Kami sama sekali tak merasa sedang melakukan sesuatu yang jahat. Tidak! Bahkan kami telah siap untuk menyambut segala bahaya yang mungkin muncul dengan kegembiraan yang meluap. Dengan kagum aku memperhatikan Holmes membuka gulungan peralatannya, dan memilih-milih alat yang akan dibutuhkan untuk melakukan aksinya dengan gayanya yang tenang bagaikan ahli bedah kompeten yang akan melakukan operasi rumit. Aku tahu bahwa dia mahir dan gemar sekali melakukan pembobolan lemari besi seperti itu, dan saat ini dia melakukannya dengan segala senang hati terhadap monster hijau keemasan di hadapannya. Banyak wanita terhormat yang nasibnya bergantung pada apa yang ada di dalam perut monster ini.

Holmes meletakkan jasnya di sebuah kursi, lalu membuka kancing manset jas itu. Dari balik lengan jas itu, dikeluarkannya dua alat bor, sebuah alat dongkrak kunci, dan beberapa kunci palsu. Aku berdiri di dekat pintu yang terletak di bagian tengah ruangan itu, sambil mataku berganti-ganti pula memperhatikan pintu-pintu yang lain, kalau-kalau ada yang datang, walaupun terus terang aku masih ragu-ragu akan apa yang sebaiknya kulakukan seandainya tiba-tiba saja ada seseorang yang menyerbu masuk. Selama setengah jam Holmes beroperasi dengan penuh konsentrasi, sesekali menaruh sebuah alat, mengambil alat lain, menggunakan masing-masing alat dengan sekuat tenaga dan kemahiran bak mekanik andal.

Akhirnya, aku mendengar suara "klik" ketika pintu lemari besi yang lebar itu terbuka, dan di dalamnya kulihat tumpukan kertas, masing-masing dibendel sendiri-sendiri, dilem, dan diberi tanda. Holmes mengambil sebuah bendel, tapi agaknya sulit baginya untuk membaca tanda di atas bendel itu karena penerangan yang tak memadai. Maka dia mengeluarkan lampu senter kecilnya yang sinarnya sangat kecil, sebab tentu saja kami tak dapat menyalakan lampu listrik di ruangan yang berada di sebelah kamar tidur Milverton itu. Tiba-tiba kulihat Holmes berhenti bergerak, mendengarkan dengan saksama, dan dalam sekejap dia menutupkan pintu lemari besi, menyambar jasnya, memasukkan semua peralatannya ke saku-saku jasnya, lalu bersembunyi di balik gorden, sambil mengajakku untuk melakukan hal yang sama.

Begitu aku berada di sampingnya, aku mendengar suara yang tadi telah mengganggu pendengarannya yang luar biasa pekanya itu. Suara itu berasal dari suatu tempat di dalam rumah. Terdengar suara pintu dibanting di kejauhan. Lalu suara orang menggumam yang tak begitu jelas, diikuti dengan derap langkah-langkah berat yang menuju ke arah kami dengan cepat. Suara itu telah sampai ke lorong di luar kamar baca. Suara itu berhenti di pintu. Pintu dibuka. Terdengar suara tombol lampu listrik yang dinyalakan. Pintu ditutup kembali, lalu menyebarlah bau menyengat dari cerutu yang kuat sampai ke hidung kami. Suara langkah-langkah itu terdengar lagi, mondar-mandir, ke sana kemari dalam jarak hanya beberapa meter dari tempat kami bersembunyi. Akhirnya, terdengar suara kursi yang ditarik, dan langkah-langkah itu pun berhenti. Lalu terdengar suara kunci dibuka, diikuti dengan bunyi kertas-kertas yang diobrak abrik. Sejauh ini, aku tak berani melongok ke luar, tapi sekarang, dengan sangat hati-hati, aku menyibakkan gorden di depanku untuk mengintip. Dari gerakan pundak Holmes yang menekan pundakku, aku tahu bahwa dia pun ikut-ikutan mengintip. Tepat di hadapan kami, dan benar-benar dalam jangkauan kami, terlihat punggung Milverton yang lebar dan gemuk. Jelas sekali bahwa kami telah salah perhitungan dengan menyangka dia sedang tidur. Dia tadi masih duduk di ruangan lain yang agak ujung yang jendelanya tak sempat kami lihat. Kepalanya yang besar, penuh uban, dan botak sebagian itu benar-benar berada tepat di hadapan kami. Dia duduk sambil menyandar jauh ke dalam kursi kulitnya yang berwarna merah, kakinya diselonjorkan, dan sebatang cerutu panjang berwarna hitam bertengger di mulutnya. Dia mengenakan jaket model militer yang tak begitu formal, warnanya merah anggur dengan kerah beludru hitam. Tangannya memegang sebuah dokumen panjang bercap resmi yang dibacanya dengan malas, sambil mulutnya terus-terusan mengembuskan bulatan-bulatan asap cerutu. Melihat gaya duduknya yang nyaman, agaknya dia akan lama berada di situ.

Kurasakan tangan Holmes meremas tanganku agar aku tidak patah semangat, seolah ingin mengatakan bahwa dia mampu mengatasi situasi yang sedang kami hadapi, dan bahwa dia tak merasa kuatir sedikit pun. Aku tak yakin apakah dia pun melihat apa yang terlihat jelas olehku—yaitu pintu lemari besi yang tak tertutup secara sempurna. Milverton bisa saja sewaktu-waktu memperhatikan hal itu. Dalam benakku, aku memutuskan bahwa seandainya dia menyadari hal itu, aku akan langsung melompat ke luar, menutupkan jas panjangku ke kepalanya, membekuknya, lalu menyerahkan tindakan selanjutnya kepada Holmes. Tapi, ternyata Milverton tak menengok ke situ. Dia sedang asyik memperhatikan kertas-kertas yang dipegangnya, dan dibacanya argumen pengacara itu halaman demi halaman. Aku mengira bahwa paling tidak dia akan pergi ke kamarnya setelah dia selesai membaca dokumen di tangannya dan setelah cerutunya habis, tapi sebelum kedua hal itu terjadi, muncul perkembangan mengejutkan yang tak pernah kami duga sebelumnya.

Beberapa kali aku melihat Milverton melirik ke jam tangannya, dan sekali dia bangkit dari duduknya, lalu duduk lagi dengan sikap tak sabar Tapi aku tak pernah menyangka bahwa dia sedang menunggu seseorang pada tengah malam buta begitu. Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara dari arah serambi luar. Milverton menaruh dokumennya di atas meja, lalu duduk dengan tegang sambil menunggu. Suara itu terdengar lagi, diikuti dengan ketukan halus di pintu. Milverton bangkit dan membukakan pintu.

"Well," katanya dengan ketus, "Anda terlambat hampir setengah jam."

Jadi itulah sebabnya kenapa pintu di ruangan ini ada yang tidak dikunci dan mengapa Milverton belum juga tidur. Terdengar gemeresik gaun wanita. Aku tadi bergegas menutup lubang pengintaianku karena wajah Milverton bergerak menghadap ke arah kami. Tapi kini aku kembali membukanya. Milverton telah kembali duduk di kursinya; di mulutnya masih tergantung cerutu. Di hadapannya, dalam sorotan lampu listrik, berdirilah seorang wanita tinggi semampai yang penampilannya serba gelap. Dia mengenakan penutup wajah dan mantel yang tertutup sampai ke dagu. Napasnya memburu dan tubuhnya gemetaran menahan emosi.

"Well," kata Milverton, "Anda telah mengganggu jam tidur saya. Semoga pengorbanan saya ini tak sia-sia. Anda tak bisa datang pada waktu lain—eh?"

Wanita itu menggeleng.

"Well, baiklah. Kalau Countess majikan yang galak sekaranglah kesempatan bagi Anda untuk membalas dendam. Kenapa Anda gemetaran begitu? Coba, agak tenanglah! Ya, begitu lebih baik! Sekarang mari kita langsung ke bisnis." Dia mengambil secarik catatan dari lacinya. "Anda bilang bahwa Anda memiliki surat-surat yang bisa merusak reputasi Countess d'Albert, dan Anda ingin menjualnya. Nah, saya mau membelinya. Gampang, kan? Yang perlu dibicarakan sekarang hanyalah berapa harga yang kita setujui. Tentu saja saya perlu memeriksa surat-surat itu dulu. Kalau ternyata surat-surat itu cukup baik... Ya Tuhan, Andakah ini?"

Tanpa berkata sepatah kata pun, wanita itu telah membuka penutup wajahnya dan membuka mantel yang menutupi dagunya. Wajah wanita di hadapan Milverton itu gelap tapi cantik, dengan figur yang sangat menonjol. Hidungnya agak bengkok, alisnya hitam tebal, matanya bernyala-nyala, dan bibirnya yang tipis tersenyum secara amat sinis.

"Ya, akulah yang datang," katanya, "wanita yang telah kauhancurkan hidupnya."

Milverton tertawa, tapi ada ketakutan di dalam suara tawanya itu. "Anda terlalu keras kepala!" katanya. "Salah Anda sendiri, kenapa Anda memojokkan posisi saya. Percayalah, saya ini tak akan menyakiti seekor lalat pun atas kemauan saya, tapi tiap orang kan punya bisnis sendiri sendiri, jadi waktu itu saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan. Saya tak minta bayaran yang melampaui kemampuan Anda, kan? Tapi Anda tetap tak mau membayar "

"Lalu kaukirim surat-surat itu kepada suamiku, dan dia—pria terhormat yang sangat baik hati itu, yang bahkan untuk memasangkan tali sepatunya saja aku tak berhak—menjadi remuk hatinya lalu meninggal. Kau masih ingat malam itu, ketika aku datang kemari dan memohon kepadamu agar mengasihani diriku, dan kau cuma tertawa seperti juga saat ini, padahal kau cuma seorang pengecut yang memuakkan? Ya, kau pasti tak akan menyangka bahwa aku akan datang kemari lagi, tapi pengalaman malam itulah yang mengajarku bagaimana aku dapat menemuimu secara pribadi, muka dengan muka. Nah, Charles Milverton, apa pendapatmu?"

"Jangan menyangka bahwa Anda bisa menggertak saya," katanya sambil bangkit berdiri. "Kalau saya berteriak, pelayan-pelayan saya akan berlarian masuk kemari untuk menangkap Anda. Tapi saya masih bisa mengerti kemarahan Anda, jadi tinggalkanlah tempat ini sekarang juga, dan saya tak akan mempermasalahkan hal ini."

Wanita itu tetap berdiri tegak dengan kedua tangan tersembunyi di balik mantelnya. Senyumnya yang dingin dan sinis tetap tersungging di bibirnya yang tipis.

"Kau tak akan punya kesempatan lagi untuk merusak hidup orang lain sebagaimana yang telah kaulakukan kepadaku. Kau tak akan punya kesempatan lagi untuk menyayat-nyayat perasaan orang sebagaimana yang telah kaulakukan kepadaku. Aku akan membebaskan dunia ini dari bahaya racun yang sangat mematikan. Terimalah ini, kau anjing serigala, juga ini! ...Dan ini! ...Dan ini! ...Dan ini!"

Wanita itu menembakkan pistolnya yang berkilauan, dan memuntahkan semua pelurunya ke arah tubuh Milverton. Jarak moncong pistol itu tak sampai dua meter dari sasarannya. Milverton menggeliat, lalu jatuh tertelungkup menimpa meja di depannya, sambil terbatuk-batuk keras dan mencakar-cakar kertas-kertas yang bertebaran di situ. Dia masih berusaha berdiri lagi dengan sempoyongan, tapi tembakan berikutnya langsung menyambutnya, dan dia terkapar di lantai.

"Kau membunuhku," teriaknya, lalu diam tak bergerak.

Wanita itu menatap korbannya dengan saksama lalu menggilas wajah Milverton dengan sepatunya. Dia menatapnya sekali lagi, tapi tak ada suara ataupun gerakan. Aku mendengar desir angin malam yang mengembus masuk ke ruangan, dan wanita yang menuntut balas atas kematian suaminya itu pun menghilang.

Seandainya pun kami tadi ikut campur, jiwa Milverton tak mungkin tertolong lagi, namun aku tadi sempat hampir menyerbu ke luar ketika wanita itu memuntahkan tembakannya ke arah tubuh Milverton yang menggeliat. Holmes buru-buru menarik pinggangku dan aku maklum benar apa maksud sobatku ini—yaitu bahwa apa yang sedang terjadi bukanlah urusan kami; bahwa bajingan itu telah menerima ganjaran yang setimpal; bahwa kami punya tugas dan kepentingan sendiri yang tak boleh dikesampingkan. Tapi, begitu wanita itu menghilang, Holmes dengan gesit menuju ke pintu yang lain. Dia memutar kunci pintu itu. Pada saat yang sama kami mendengar suara-suara dari dalam rumah dan langkah-langkah kaki yang berlarian.

Bunyi tembakan yang bertubi-tubi tadi telah membangunkan segenap penghuni rumah itu. Dengan ketenangan yang luar biasa Holmes melintas ke lemari besi, mengambil bendel-bendel surat di dalamnya, lalu membuangnya ke perapian. Dia melakukan hal itu berkali-kali sampai isi lemari besi itu habis. Seseorang berusaha membuka pintu ruangan tempat kami berada sambil menggedor-gedor. Holmes menatap ke sekelilingnya dengan cepat. Surat yang telah menjadi penyebab kematian Milverton tergeletak di meja, penuh genangan darahnya. Secepat kilat Holmes melemparkannya ke perapian menyusul surat-surat yang lainnya. Dia lalu membuka kunci pintu yang ke arah luar, dan setelah kami berdua berada di luar, dia mengunci pintu itu kembali.

"Lewat sini, Watson," katanya, "supaya kita nanti bisa melompati tembok taman."

Aku hampir hampir tak percaya betapa cepatnya peristiwa itu terdengar oleh banyak orang. Ketika aku menoleh ke belakang, rumah besar itu sudah terang benderang. Pintu depan terbuka lebar dan beberapa orang berlarian di halaman. Salah satu dari mereka bahkan sempat melihat ketika kami berlari keluar dari serambi. Tapi Holmes benar-benar tahu liku-liku rumah itu, dan dengan amat gesit dia berlari menyusup-nyusup di antara pepohonan yang tak begitu tinggi, sementara aku mengekor tepat di belakangnya. Orang yang mengejar kami pun berlari sekuat tenaga di belakang kami. Di hadapan kami akhirnya terbentang tembok setinggi 1,8 meter, dan Holmes langsung melompatinya. Aku mengikutinya, dan ketika aku sedang melompat, seseorang berhasil menangkap pergelangan kakiku. Tapi aku langsung menendang dan berhasil melepaskan kakiku dari pegangan orang itu, lalu buru-buru merangkak ke bagian atas tembok yang penuh taburan pecahan kaca, dan jatuh berdebum di sebelah sana dengan muka menghantam tanah. Holmes segera menarikku dan dengan tergopoh-gopoh kami terus berlari menyeberangi lapangan Hampstead Heath yang luas. Kurasa, kami sudah berlari sepanjang kira-kira tiga kilometer ketika Holmes akhirnya berhenti dan mendengarkan sekeliling dengan saksama. Tak terdengar suara apa pun di belakang kami; orang yang mengejar tadi tentunya telah kehilangan jejak kami. Akhirnya kami pun selamat.

Pada keesokan harinya setelah pengalaman kami yang luar biasa yang tak kulewatkan untuk kucatat itu, kami sedang santai mengisap pipa setelah melahap sarapan, ketika Lestrade dari Scotland Yard diantarkan masuk ke ruang tamu kami yang sederhana. Penampilannya keren dan sikapnya serius.

"Selamat pagi, Mr. Holmes," katanya, "selamat pagi. Apakah Anda sedang sibuk pagi ini?"

"Tidak, kalau untuk mendengarkan sesuatu dari-mu."

"Saya tadi berpikir, kalau mungkin Anda sedang tak menangani suatu kasus, mungkin Anda berminat untuk membantu kami menangani kasus luar biasa yang baru saja terjadi tadi malam di Hampstead."

"Wah!" kata Holmes. "Kasus apa, ya?"

"Pembunuhan—pembunuhan yang sangat dramatis dan luar biasa. Saya tahu Anda sangat berminat untuk hal-hal seperti ini, dan saya akan sangat berterima kasih kalau Anda bersedia pergi ke Appledore Towers dan memberikan beberapa saran kepada kami. Pembunuhan kali ini benar-benar luar biasa. Kami memang sudah mengawasi orang bernama Milverton ini sejak beberapa waktu yang lalu, dan—omong-omong di antara kita sendiri saja, ya—saya merasa bahwa Milverton ini sebenarnya seorang penjahat. Banyak orang tahu bahwa dia punya beberapa dokumen yang dipergunakannya untuk memeras orang. Semua dokumen ini telah dibakar habis oleh para pembunuhnya. Tidak ada barang berharga yang hilang, karena mungkin saja para pembunuhnya itu orang-orang berkedudukan tinggi yang motif utamanya adalah mencegah jangan sampai dokumen mereka yang berada di tangan Milverton dibeberkan kepada publik."

"Para pembunuh!" tanya Holmes. "Pembunuhnya lebih dari seorang?"

"Ya, ada dua orang. Sebenarnya, mereka nyaris tertangkap basah. Kami mendapatkan jejak kaki mereka, kami pun tahu ciri-ciri mereka; jadi kemungkinan besar kami akan mampu melacak mereka. Orang yang pertama sangat gesit; tidak demikian dengan yang kedua, sehingga tukang kebun yang mengejarnya berhasil menangkap kakinya dari bawah. Tapi dia berhasil melepaskan diri setelah meronta-ronta. Orang yang kedua ini tubuhnya sedang tapi kuat—rahangnya persegi, lehernya kekar, berjenggot, dan matanya ditutupi topeng."

"Agak kabur, ya," kata Sherlock Holmes. "Wah, si Watson saja memenuhi ciri-ciri itu!"

"Benar," kata sang inspektur dengan geli. "Mirip Watson."

"Well, aku mohon maaf karena tak bisa membantumu, Lestrade," kata Holmes. "Terus terang, aku tahu betul siapa Milverton ini, dan menurutku dia itu salah satu penjahat paling berbahaya di London. Lagi pula, kurasa ada beberapa tindak kejahatan tertentu yang tak bisa dijangkau oleh hukum, dan sampai batas-batas tertentu tindakan balas dendam semacam itu bisa dimaklumi. Tidak, kau tak perlu berbantah denganku. Aku sudah memutuskan bahwa aku lebih bersimpati kepada para pembunuh itu daripada kepada yang menjadi korban. Aku tak berminat untuk menangani kasus yang satu ini."

Holmes tak berminat membicarakan sedikit pun tentang tragedi yang telah kami saksikan, tapi menurut pengamatanku, sepanjang pagi dia berpikir keras. Dari pandangan matanya yang kosong dan sikapnya yang tak peduli dengan sekelilingnya, aku tahu bahwa dia sedang berusaha untuk mengingat-ingat sesuatu. Lalu siang itu ketika kami sedang makan, dia tiba-tiba bangkit dari duduknya.

"Ya Tuhan, Watson! Akhirnya kutemukan juga!" teriaknya. "Cepat ambil topimu! Ayo, ikut aku!"

Kami lalu buru-buru berjalan sepanjang Baker Street, membelok ke Oxford Street, sampai akhirnya kami tiba di daerah Regent Circus. Di sebelah kiri kami terdapat sebuah etalase toko yang penuh dengan foto-foto orang penting dan wanita cantik pada masa itu. Mata Holmes tertuju pada salah satu foto di dalam etalase, dan aku pun ikut-ikutan menatap ke arah foto itu. Nampaklah olehku foto seorang wanita bangsawan yang anggun dalam pakaian kebesaran resmi. Sebuah mahkota tinggi yang bertatahkan berlian menghiasi kepalanya yang elok. Kuperhatikan pula hidungnya yang agak melengkung, kedua alisnya yang tebal, bentuk mulutnya yang lurus, dan dagunya yang mungil namun kokoh. Napasku tertahan sesaat ketika kubaca nama suaminya, yang ternyata adalah seorang bangsawan dan negarawan besar yang sangat termasyhur namanya di negeri ini. Aku dan Holmes saling berpandangan, dan dia menutup mulut dengan jari telunjuknya. Kami lalu meninggalkan etalase toko itu.  

kembalinya sherlock holmesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang