Petualangan Tiga Pelajar

178 4 1
                                    


  WAKTU itu tahun 1895. Berbagai peristiwa dan bermacam-macam situasi akhirnya membawa kami ke sebuah kota tempat terdapat beberapa universitas besar. Kami tinggal di situ selama beberapa minggu, dan ketika itulah telah terjadi suatu peristiwa yang melibatkan kami dalam petualangan kecil yang telah memberi pelajaran kepada kami. Petualangan inilah yang ingin kukisahkan sekarang. Jelas sekali bahwa akan lebih bijaksana dan lebih baik kalau aku tak mengatakan di universitas mana tempat kejadiannya dan siapa pelaku kejahatan dalam kisah ini. Skandal yang sangat menyakitkan hati ini biarlah terkubur selamanya. Tetapi, peristiwanya sendiri pantas dikisahkan—walau harus dengan sangat hati-hati—karena di sini Holmes telah menunjukkan kehebatannya dengan sangat mengagumkan. Maka dalam menuliskan kisah berikut ini aku berusaha keras membatasi beberapa hal, sehingga nama tempat dan nama orang-orang yang terlibat tak akan bisa dilacak oleh para pembaca.

Selama di kota itu kami tinggal di sebuah kamar sewaan yang letaknya tak jauh dari perpustakaan. Di perpustakaan itu Sherlock Holmes sedang mencari beberapa bahan untuk sebuah riset yang rumit tentang anggaran dasar pemerintah Inggris yang mula-mula—riset yang ternyata menghasilkan sesuatu yang luar biasa sehingga pantas untuk kujadikan artikel tersendiri.

Nah, pada suatu malam seorang kenalan kami, Mr. Hilton Soames, berkunjung ke tempat kami. Dia adalah dosen yang mengajar di Universitas St Luke's. Tubuh Mr. Soames jangkung, kurus, dan temperamennya sangat penggugup dan emosional. Sepanjang pengetahuanku, sikapnya memang tak pernah tenang, tapi malam ini dia dalam keadaan yang sangat gelisah sehingga tak terkendalikan lagi. Pastilah telah terjadi sesuatu yang luar biasa terhadap dirinya.

"Saya yakin, Mr. Holmes, Anda tak keberatan bila saya mengganggu waktu Anda selama beberapa jam. Kami baru saja mengalami kejadian yang sangat memprihatinkan hati di Universitas St. Luke's, dan sungguh kami sangat beruntung karena Anda kebetulan berada di kota ini. Kalau tidak, entah apa yang harus saya lakukan."

"Saya sedang sangat sibuk saat ini, dan sebenarnya saya tak ingin diganggu," jawab temanku. "Bagaimana kalau Anda lapor ke polisi saja?"

"Tidak, tidak, sir; tak mungkin saya melakukan itu. Begitu hukum ikut campur, hal ini tak mungkin disembunyikan lagi, sedangkan publik tak boleh tahu tentang skandal ini demi nama baik Universitas. Sebagaimana kehebatan Anda, sikap Anda yang bisa dipercaya juga sudah sangat termasyhur ke mana-mana, dan Andalah satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menolong saya. Jadi saya mohon, Mr. Holmes, kiranya Anda berkenan membantu saya sebisanya "

Suasana hati temanku belum membaik sejak dia meninggalkan tempat tinggal tercintanya di Baker Street. Tak ada buku-buku catatannya di sini, juga peralatan-peralatan kimianya. Semuanya rapi di kamar sewaan kami ini dan dia malah tak menyukainya. Dia mengangkat bahunya dengan sikap terpaksa, sementara tamu kami buru-buru mulai bercerita dengan penuh emosi.

"Saya harus menjelaskan kepada Anda, Mr. Holmes, bahwa besok pagi akan dimulai ujian saringan bagi mahasiswa-mahasiswa yang ingin mendapatkan Beasiswa Fortescue. Saya akan menjadi salah satu dosen yang mengawasi ujian itu. Saya mengajar bahasa Yunani, dan mata kuliah pertama yang diujikan ialah menerjemahkan sebuah naskah berbahasa Yunani yang belum pernah diketahui oleh para mahasiswa itu. Naskah ini dicetak di kertas ujian, jadi kalau sampai para mahasiswa mengetahui naskah itu sebelum ujian, pastilah akan menguntungkan mereka karena mereka bisa mengerjakannya sebelum ujian tiba. Karena itu, panitia ujian sangat berhati-hati agar soal itu tidak bocor.

"Pada jam tiga tadi, ketikan asli soal ujian sudah kami terima dari bagian cetak. Soal terjemahan saya berupa separo bab dari naskah sastra berjudul Thucydides. Saya harus mengoreksi hasil cetakan itu dengan saksama, karena tak boleh ada salah cetak dalam naskah soal itu. Pada jam setengah lima, saya belum juga selesai mengoreksi naskah soal itu. Tapi saya ada janji minum teh dengan seorang rekan dosen, maka saya pun meninggalkan berkas naskah soal ujian itu di meja kerja saya. Saya pergi selama lebih dari satu jam.

"Anda kan tahu, Mr. Holmes, bahwa pintu-pintu ruangan di universitas kami selalu rangkap dua—satu di bagian dalam, yang berwarna hijau, dan satunya lagi di bagian luar yang terbuat dari kayu pohon ek. Ketika saya sampai ke pintu luar ruangan saya, saya terkejut melihat kunci tergantung di situ. Untuk sesaat saya sempat berpikir bahwa saya sendirilah yang tadi meninggalkan kunci itu, tapi ketika saya merogoh saku celana, ternyata kunci saya ada di situ. Sepanjang pengetahuan saya, hanya ada satu kunci duplikat pintu itu, yaitu yang dibawa oleh pelayan saya yang bernama Bannister. Bannister telah bekerja selama sepuluh tahun di tempat saya, dan tugasnya adalah membersihkan ruangan. Dia orang yang bisa dipercaya, dan tak mungkin rasanya saya mencurigai dia. Tapi kunci itu memang kunci yang biasa dipegang olehnya, dan dia mengatakan bahwa dia memang tadi masuk ke ruangan saya untuk menawarkan teh. Karena keteledorannya, dia lupa mengambil kunci itu kembali ketika keluar dari ruangan saya. Masuknya ke ruangan saya itu pastilah tak lama setelah saya pergi. Kalau saja keteledorannya itu terjadi pada hari lain, tentulah akibatnya tidak runyam begini.

"Begitu saya melihat ke meja saya, sadarlah saya bahwa seseorang telah mengobrak-abrik kertas-kertas yang ada di atasnya. Naskah asli soal ujian itu terdiri atas tiga halaman yang cukup panjang. Semuanya tadi saya tinggalkan di situ. Kini, saya dapati satu di antaranya tergeletak di lantai, satu di atas meja samping di dekat jendela, sedangkan satunya lagi tetap di tempat semula."

Holmes menggerakkan badannya untuk pertama kali.

"Yang di lantai adalah halaman pertama, yang di dekat jendela halaman kedua, dan yang tetap di atas meja halaman ketiga, begitukah?"

"Tepat sekali, Mr. Holmes. Saya heran, bagaimana Anda bisa tahu tentang hal itu?"

"Silakan melanjutkan penuturan Anda yang menarik ini dulu."

"Untuk sesaat, saya mengira si Bannister-lah yang telah lancang melihat soal-soal itu. Tapi dia menyangkal dengan keras dan saya yakin dia tak berbohong. Kemungkinan lain ialah seseorang yang kebetulan lewat telah melihat kunci yang terpasang di pintu kamar saya, lalu masuk ke dalam sebab dia tahu saya tak ada di tempat. Ini bisa membawa dampak yang serius, karena melibatkan beasiswa yang tidak sedikit jumlahnya. Orang yang tak bermoral bisa saja memanfaatkan soal-soal itu untuk menyingkirkan saingan-saingannya.

"Bannister sangat terpukul dengan kejadian itu. Dia hampir pingsan ketika melihat kertas-kertas yang telah diobrak-abrik itu. Saya memberinya sedikit brendi dan membiarkannya terperenyak di sebuah kursi, sementara saya memeriksa seisi ruangan. Saya langsung mendapatkan jejak lain dari tamu tak diundang itu, yaitu bekas rautan pensil di meja di dekat jendela. Potongan isi pensil juga tergeletak di situ. Jelas bahwa penjahat itu telah menyalin soal ujian dengan tergesa-gesa sampai pensilnya putus, sehingga dia perlu merautnya."

"Bagus sekali!" kata Holmes yang kini sudah kembali bisa bergurau bersamaan dengan makin tertariknya minatnya pada kasus ini. "Keberuntungan berpihak pada Anda."

"Masih ada lagi. Saya punya meja tulis baru yang permukaannya bagus sekali karena terbuat dari kulit berwarna merah. Saya berani bersumpah, demikian juga Bannister, bahwa sebelum peristiwa ini terjadi, permukaan meja itu halus dan bersih. Sekarang, ada robekan sepanjang tujuh setengah sentimeter—bukan sekadar goresan tapi benar-benar robek. Lalu in lagi: Saya menemukan bulatan tanah liat berwarna hitam yang bertutul-tutul karena ada semacam serbuk gergaji yang menempel di situ. Saya yakin orang yang telah mengobrak-abrik meja saya itulah yang telah meninggalkan benda itu. Saya tak menemukan jejak kaki ataupun jejak lain yang bisa membantu mengungkapkan identitas penjahat itu. Saya benar-benar kehabisan akal, ketika tiba-tiba saya teringat bahwa Anda sedang berada di kota ini. Maka saya langsung menuju kemari untuk menyerahkan kasus ini ke tangan Anda. Tolonglah saya, Mr. Holmes! Anda tentu dapat memahami dilema yang saya hadapi. Saya harus menemukan orang itu, atau mengundurkan ujian sampai saya selesai membuat soal baru. Tapi kalau hal kedua ini yang saya pilih, bukankah saya harus memberikan penjelasan mengapa ujian itu diundur? Tentu akan timbul macam-macam omongan orang yang akan sangat memalukan Universitas. Itulah sebabnya mengapa saya bermaksud mengatasi masalah ini secara diam-diam."

"Dengan senang hati saya akan mencoba menyelidiki kasus Anda ini, juga saya akan memberikan saran sebisa saya," kata Holmes sambil bangkit berdiri dan mengenakan mantelnya. "Kasus ini cukup menarik. Apakah ada orang yang mengunjungi Anda setelah Anda menerima soal ujian itu?"

"Ya, pemuda bernama Daulat Ras, seorang mahasiswa dari India yang tinggal di lantai dua. Dia masuk ke kamar saya untuk menanyakan beberapa hal tentang ujian saringan besok."

"Dia ikut mendaftarkan diri untuk ujian itu?"

"Ya."

"Dan waktu itu soal ujian itu berada di atas meja Anda?"

"Seingat saya masih tergulung rapi."

"Tapi bisa saja dia menduga bahwa gulungan itu adalah soal ujian, kan?"

"Bisa saja."

"Tak ada orang lain yang berkunjung?"

"Tidak."

"Apakah ada yang tahu bahwa soal ujian itu akan berada di tempat Anda?"

"Tidak, kecuali orang yang mencetaknya."

"Apakah si Bannister tahu tentang itu?"

"Tentu saja tidak. Tak ada orang tahu, kok."

"Di manakah Bannister sekarang?"

"Tadi dia masih sakit, kasihan dia! Saya tinggalkan dia terjatuh di kursi. Saya tadi buru-buru datang kemari."

"Pintu kamar Anda, Anda biarkan terbuka?"

"Ya, tapi soalnya sudah saya simpan di lemari."

"Kalau begitu, Mr. Soames, seandainya bukan mahasiswa India itu pelakunya, pastilah seseorang yang kebetulan lewat tanpa sebelumnya tahu-menahu tentang soal ujian itu."

"Saya pun berpendapat demikian."

Holmes menebarkan senyuman yang penuh teka-teki.

"Well" katanya, "mari berangkat. Kasus ini menyangkut mental dan bukan fisik, Watson, tapi kalau kau mau ikut, baiklah. Nah, Mr. Soames, kami siap membantu Anda!"

Pada ruang tamu klien kami terdapat sebuah jendela yang panjang, rendah, dan berkisi-kisi, menghadap ke halaman universitas yang sudah lama berdiri ini. Sebuah pintu lengkung bergaya Gotik mengantar kami ke tangga batu yang sudah tua. Ruang klien kami ada di lantai bawah. Di lantai-lantai berikutnya tinggal tiga mahasiswa, seorang mahasiswa di masing-masing lantai. Hari sudah menjelang senja ketika kami sampai ke tempat kejadian. Holmes berhenti di bagian luar jendela kamar itu, lalu memeriksanya dengan saksama. Kemudian dia lebih mendekatkan dirinya ke jendela itu, dan sambil berjingkat dia melongok ke dalam kamar.

"Pelakunya pastilah masuk lewat pintu. Tak ada lubang di sini kecuali kaca jendela satu-satunya itu," kata sang dosen.

"Wah!" kata Holmes sambil tersenyum aneh ketika dia melirik ke arah orang yang menemani kami itu. "Well, kalau tak ada yang kita dapatkan di sini, sebaiknya kita masuk ke dalam saja."

Sang dosen membuka pintu bagian luar, lalu mempersilakan kami masuk ke kamarnya. Kami berdiri di ambang pintu sementara Holmes memperhatikan karpet ruangan itu.

"Sayang tak ada jejak apa pun di sini," katanya. "Maklumlah sebab cuacanya kering begini. Pelayan Anda tentunya sudah merasa baikan, ya? Tadi dia terkulai di sebuah kursi. Kursi yang mana?"

"Yang di dekat jendela."

"Oh. Jadi di dekat meja samping itu, ya? Ayo kita masuk ke dalam sekarang. Saya sudah selesai memeriksa karpet. Mari kita mengamati meja samping yang pendek ini dulu. Tentu saja, sudah jelas apa yang telah terjadi. Orang itu masuk, lalu mengambil soal ujian itu, halaman demi halaman, dari meja tulis yang di tengah ruangan itu. Dia membawa soal-soal itu ke meja pendek di dekat jendela, karena dari situ dia akan melihat kalau Anda datang dari arah halaman kampus, sehingga dia bisa melarikan diri sebelum Anda tiba."

"Mana bisa?" kata Soames. "Saya masuk dari pintu samping."

"Ah, bagus! Bagaimanapun juga, itulah yang ada di pikirannya saat itu. Coba saya lihat ketiga halaman naskah itu. Tak terdapat bekas jari—tak ada! Well, dia membawa yang ini dulu lalu menyalinnya. Berapa lama kira-kira diperlukannya untuk melakukan hal itu bahkan dengan sangat terburu-buru? Paling tidak lima belas menit, tak mungkin lebih cepat dari itu. Setelah itu, dia lalu melemparkan kertas itu ke bawah dan mengambil kertas berikutnya. Dia sedang menyalin isi kertas kedua ketika dia mendengar langkah Anda menuju kamar ini, maka dia lalu melarikan diri dengan sangat cepat, ya, dengan sangat cepat, karena dia bahkan tak sempat mengembalikan kertas-kertas yang bertebaran itu, yang malah menjadi petunjuk bahwa seseorang telah masuk ke kamar ini. Masa Anda tak mendengar langkah-langkahnya menaiki tangga ketika Anda masuk lewat pintu itu?"

"Rasanya saya tak mendengar suara apa-apa."

"Well, orang itu menulis dengan begitu tergesa-gesa sampai pensilnya putus, dan seperti Anda lihat, dia lalu meruncingkannya. Hal ini menarik perhatian, Watson. Pensilnya agak unik. Lebih besar dari ukuran yang biasa, isi pensilnya lunak, warna pinggirannya biru tua, nama pabrik pembuatnya tercetak dengan tinta perak, dan panjangnya tinggal kira-kira empat sentimeter. Coba cari saja pensil semacam itu, Mr. Soames, dan Anda akan langsung menemukan pelakunya. Biar saya tambahkan informasi yang mungkin bisa menolong Anda, yaitu bahwa dia memiliki pisau besar yang amat tumpul."

Mr. Soames amat terpukau dengan informasi-informasi yang baru saja didengarnya. "Semua keterangan Anda bisa saya terima," katanya, "kecuali satu, yaitu mengenai perkiraan panjang pensil itu...."

Holmes mengangkat serpihan batang pensil dengan huruf NN tertera di salah satu sisinya.

"Anda mengertikah sekarang?"

"Wah, masih belum juga...."

"Watson, ternyata masih ada orang yang daya tangkapnya lebih lambat daripada kau. Tulisan NN ini maksudnya apa? Pasti bagian akhir dari sebuah kata. Anda tahu, kan, bahwa nama pembuat pensil yang paling terkenal adalah Johann Faber. Berapa panjang pensil setelah tulisan 'Johann' tentu bisa kita perkirakan."

Dia lalu memperhatikan meja samping yang kecil itu dengan saksama, masing-masing sisinya dihadapkannya ke lampu. "Saya mengharap kalau kertas yang dipakainya untuk menyalin adalah jenis yang tipis, goresan tulisannya akan membekas di pelitur permukaan meja. Tapi, ternyata tidak. Saya rasa penyelidikan saya di sebelah sini sudah cukup. Sekarang mari kita perhatikan meja yang di tengah ruangan itu. Benda hitam ini tentunya gumpalan tanah liat yang tadi Anda sebutkan. Bentuknya mirip piramida dan bagian luarnya berlubang, ya? Ditempeli serbuk gergaji pula, seperti yang sudah Anda katakan. Wah, menarik sekali. Dan ini robekan yang Anda ceritakan—diawali dengan goresan tipis yang kemudian menjadi lubang yang bergerigi. Saya mengucapkan terima kasih karena Anda telah meminta saya menangani kasus ini, Mr. Soames. Pintu yang itu menuju ke mana?"

"Ke kamar tidur saya."

"Apakah Anda sudah masuk ke sana sejak peristiwa ini terjadi?"

"Belum, karena saya tadi langsung pergi menemui Anda."

"Saya mau menengok ke dalam kamar itu sejenak. Wah, kamar tidur Anda indah dan antik sekali! Tolong tunggu sebentar, saya akan memperhatikan lantainya dulu. Tidak, tak terlihat jejak apa-apa. Bagaimana dengan gorden ini? Baliknya adalah tempat gantungan baju. Kalau ada orang yang perlu menyembunyikan dirinya di kamar ini, dia pasti akan bersembunyi di situ, karena tempat tidur Anda sangat rendah dan lemari pakaian Anda kurang tebal untuk bersembunyi. Coba lihat, adakah seseorang yang bersembunyi di sana?"

Holmes menarik gorden itu dengan siap siaga, seakan-akan siap menghadapi sesuatu yang tak diinginkan. Tetapi ternyata tak ada apa-apa di balik gorden itu, kecuali tiga atau empat setel jas yang tergantung pada gantungan kayu. Holmes menoleh ke arah lain, dan dengan tiba-tiba memperhatikan lantai.

"Halloa! Apa ini?" katanya.

Ternyata ditemukan gumpalan tanah liat seperti yang terdapat di meja tengah ruang baca tadi. Holmes mengambil benda itu dan menaruhnya di telapak tangannya yang terbuka, lalu mendekatkannya ke lampu sambil mengamati dengan saksama.

"Tamu tak diundang itu nampaknya sempat mampir ke kamar tidur Anda juga, Mr. Soames."

"Untuk apa dia masuk ke kamar tidur?"

"Saya rasa, jelas sekali. Anda kan tadi kembali tanpa diduga-duga olehnya, dan dia baru mendengar langkah Anda ketika sudah hampir sampai di pintu depan. Lalu apa yang dilakukannya? Dia menyambar hasil salinannya lalu berlari ke kamar Anda untuk bersembunyi."

"Ya Tuhan, Mr. Holmes. Jadi menurut Anda, ketika saya berbicara kepada Bannister di kamar ini tadi, sebenarnya kami bisa menangkap pencuri itu kalau saja kami tahu bahwa dia bersembunyi di situ?"

"Begitulah menurut saya."

"Tentu saja, ada kemungkinan lain, kan, Mr. Holmes? Apakah Anda sudah memperhatikan jendela kamar saya?"

"Ada kisi-kisinya, kerangkanya terbuat dari logam, ada tiga jumlahnya yang saling terpisah satu sama lain. Yang satu itu cukup besar dan berengsel, sehingga gampang sekali bagi seseorang untuk memasukinya dari luar."

"Tepat sekali. Dan jendela itu menghadap ke salah satu sudut halaman sehingga agak tersembunyi. Orang itu mungkin saja masuk dari jendela itu, meninggalkan jejak ketika dia berjalan melewati kamar ini, dan akhirnya karena pintu depan terbuka, dari sanalah dia keluar."

Holmes menggeleng dengan ekspresi tak sabar.

"Kita berpikir praktis saja," katanya. "Tadi Anda mengatakan bahwa ada tiga mahasiswa yang biasanya naik-turun tangga, dan mereka sering lewat depan pintu Anda. Bukan begitu?"

"Betul."

"Dan ketiga-tiganya akan ikut ujian?"

"Ya."

"Dari ketiga mahasiswa itu, adakah yang Anda curigai lebih dari lainnya?"

Soames ragu-ragu. "Wah, pertanyaan Anda susah dijawab," katanya. "Kita tak boleh mencurigai seseorang tanpa bukti, kan?"

"Silakan Anda mengatakan siapa yang Anda curigai, dan saya akan berurusan dengan bukti-buktinya."

"Baiklah, secara singkat akan saya jelaskan sifat-sifat ketiga mahasiswa yang tinggal di lantai-lantai atas itu. Penghuni lantai satu adalah Gilchrist, murid dan atlet yang baik; dia anggota tim rugby dan cricket Univertas dan pernah mendapat medali dalam lomba lari gawang dan loncat jauh. Orangnya baik hati dan gagah. Ayahnya adalah Sir Jabez Gilchrist yang dulu sangat terkenal itu, yang kemudian bangkrut karena banyak kalah bertaruh dalam pacuan kuda. Murid saya yang satu ini ditinggalkan ayahnya dalam keadaan sangat melarat, tapi untunglah dia sangat rajin dan mau bekerja keras. Saya yakin dia akan bisa lulus dari ujian itu.

"Yang tinggal di lantai dua adalah Daulat Ras, mahasiswa dari India. Orangnya pendiam, agak tertutup, sebagaimana orang India pada umumnya. Prestasi akademisnya cukup baik. Dia hanya lemah pada mata kuliah bahasa Yunani. Cara belajarnya mantap dan teratur.

"Lantai paling atas dihuni oleh Miles McLaren. Dia sangat cerdas—salah satu mahasiswa yang paling cerdas di kampus ini; sayangnya dia suka menentang, suka semaunya sendiri, dan sembrono. Dia pernah hampir dikeluarkan karena ketahuan bermain judi pada tahun pertama. Selama semester ini, dia menganggur saja, maka ujian ini pastilah membuatnya pusing."

"Jadi dialah yang Anda curigai?"

"Saya tak berani bilang begitu. Tapi memang dialah yang paling besar kemungkinannya."

"Tepat sekali. Nah, Mr. Soames, mari kita temui pelayan Anda yang bernama Bannister itu."

Orangnya pendek, wajahnya pucat, janggutnya tercukur bersih, rambutnya beruban. Umurnya kira-kira lima puluh tahun. Dia masih terpukul atas kejadian yang mengganggu rutinitas hidupnya sehari-hari itu. Wajahnya yang gemuk nampak gelisah dan jari jarinya gemetaran.

"Kami sedang menyelidiki masalah yang tak mengenakkan hati ini, Bannister," kata Soames.

"Ya, sir."

"Jadi," kata Holmes, "Andalah yang meninggalkan kunci tergantung di pintu?"

"Ya, sir."

"Luar biasa sekali karena hal itu Anda lakukan tepat pada hari ini, ya, saat banyak kertas penting disimpan di dalam ruangan."

"Saya memang sedang sial, sir. Tapi kadang-kadang keteledoran seperti itu saya alami."

"Kapan Anda masuk ke ruangan ini?"

"Kira-kira jam setengah lima, karena waktu itu adalah saalnya Mr. Soames minum teh."

"Berapa lama Anda berada di dalam?"

"Begitu saya tahu bahwa beliau tak berada di tempat, saya langsung keluar."

"Apakah Anda melihat kertas kertas di meja tulis?"

"Tidak, sir, sama sekali tidak."

"Bagaimana sampai Anda meninggalkan kunci itu tergantung di pintu?"

"Saat itu saya sedang membawa baki teh. Saya pikir saya akan kembali lagi untuk mengambil kunci itu kemudian. Tetapi saya kelupaan."

"Apakah pintu depan itu bisa menutup sendiri?"

"Tidak, sir."

"Jadi pintu itu dalam keadaan terbuka terus?"

"Ya, sir."

"Jadi kalau ada orang di dalam ruangan, dia bisa keluar?"

"Ya, sir."

"Ketika Mr. Soames pulang dan memanggil Anda, Anda sangat ketakutan?"

"Ya, sir. Hal seperti itu tak pernah terjadi selama bertahun-tahun saya bekerja di sini. Saya hampir saja jatuh pingsan, sir."

"Begitu, ya. Di manakah Anda berada ketika itu?

"Tepat di sini, sir! Ya, di sini ini, di dekat pintu."

"Aneh, karena Anda kemudian duduk di kursi yang di dekat sudut sana. Kenapa Anda melewati saja kursi kursi yang lainnya?"

"Entahlah, sir. Apa bedanya bagi saya kalau saya duduk di kursi ini atau kursi itu?"

"Nampaknya dia tak tahu-menahu tentang peristiwa itu, Mr. Holmes. Lihat, dia sampai ketakutan begitu."

"Apakah Anda tetap di sini ketika tuan Anda pergi?"

"Tak lama, hanya satu-dua menit. Lalu saya mengunci pintu dan masuk ke kamar saya."

"Adakah yang Anda curigai?"

"Oh, saya tak berani mengatakan apa-apa, sir. Menurut saya, tak ada seorang pun di lingkungan Universitas sini yang tega melakukan hal itu demi keuntungan pribadi. Tidak, sir, saya tak percaya akan hal itu."

"Terima kasih, cukup sampai di sini," kata Holmes. "Oh, satu hal lagi. Anda belum mengatakan apa-apa tentang kejadian ini kepada ketiga mahasiswa yang tinggal di lantai-lantai atas, kan?"

"Belum, sir, sama sekali belum."

"Sejak kejadian itu, Anda belum bertemu dengan salah satu dari mereka?"

"Belum, sir."

"Baiklah. Sekarang, Mr. Soames, kalau Anda tak keberatan, mari kita jalan jalan di halaman."

Tiga pancaran lampu yang samar-samar menyorot dari arah lantai-lantai atas.

"Rekan-rekan yang tinggal segedung dengan Anda semuanya berada di kamar masing-masing," kata Holmes sambil melihat ke atas. "Halloa! Apa itu? Salah satu dari mereka sedang sangat gelisah."

Yang sedang gelisah adalah si mahasiswa India, terlihat dari bayangan tubuhnya yang tiba-tiba muncul di kerai jendela. Dia sedang mondar-mandir dengan cepatnya di dalam kamarnya.

"Saya ingin mengintip ketiga mahasiswa itu secara bergantian," kata Holmes. "Bisa tidak, ya?"

"Mudah saja," jawab Soames. "Bangunan ini adalah yang tertua di sini, jadi sering banyak tamu yang melihat-lihat ke dalam gedung ini. Mari ikut saya, dan saya sendirilah yang akan mengantar Anda."

"Mohon jangan memberitahukan siapa kami!" kata Holmes ketika kami mengetuk pintu kamar

Gilchrist Seorang pemuda yang kurus jangkung dan rambutnya berwarna kuning jerami membuka pintu. Dia mempersilakan kami masuk ketika tahu apa yang sedang kami lakukan. Di dalam kamar itu kami menemukan beberapa barang unik yang merupakan peninggalan gaya arsitek dalam negeri abad pertengahan. Holmes begitu tertarik pada salah satu barang sehingga dia lalu menggambarnya di buku notesnya, lalu pensilnya patah sehingga dia harus meminjam dari penghuni kamar itu, dan juga meminjam pisau untuk meruncingkan pensilnya yang patah tadi. Insiden pensil patah ini terulang ketika kami berada di kamar berikutnya. Penghuni kamar yang berkebangsaan India itu orangnya pendiam, hidungnya bengkok, dan matanya menatap kami dengan curiga. Ia tak menutupi rasa gembiranya ketika penyelidikan arsitektural Holmes sudah selesai. Sampai tahap ini, tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Holmes telah mendapatkan suatu petunjuk dari apa yang sedang diselidikinya. Kunjungan kami pada kamar terakhir ternyata gagal. Ketika kami mengetuk pintu kamar itu, penghuninya tak bersedia membukanya, malah sumpah serapah terdengar dari balik pintu itu. "Persetan dengan kalian semua. Pergi ke neraka sajalah!" begitu gelegar suaranya yang penuh amarah. "Besok aku ada ujian, dan aku tak mau diganggu siapa pun."

"Kasar benar orang ini," kata pengantar kami. Wajahnya memerah karena marah begitu kami menuruni tangga. "Tentunya dia tak menduga bahwa sayalah yang mengetuk pintu, tapi bagaimanapun sikapnya tadi benar-benar tak sopan, dan tentu saja, agak mencurigakan."

Respons Holmes amat aneh.

"Tahukah Anda berapa tepatnya tinggi mahasiswa yang marah-marah tadi?" tanyanya.

"Wah, Mr. Holmes, saya tak tahu dengan tepat. Yang jelas, dia lebih tinggi dari si India, tapi lebih pendek dari Gilchrist. Menurut saya, tingginya kira-kira 165 sentimeter."

"Ini penting," kata Holmes. "Nah, Mr. Soames, sekarang kami mau pamitan. Selamat malam."

Pengantar kami berteriak dengan penuh keheranan dan putus asa.

"Demi Tuhan, Mr. Holmes, tentunya Anda tak akan meninggalkan saya secepat ini? Anda nampaknya tak menyadari keadaan saya. Besok ujian itu akan dilangsungkan. Saya harus mengambil suatu tindakan malam ini. Saya tak akan mengizinkan ujian itu dilaksanakan setelah saya tahu bahwa salah satu dari berkas ujian itu telah disalin oleh seseorang. Saya harus menghadapi kenyataan ini."

"Biarkan saja apa adanya. Saya akan mampir lagi besok pagi-pagi untuk membicarakan masalah ini. Mungkin saja saya akan menyarankan sesuatu. Sementara ini, jangan mengambil tindakan apa pun—ingat itu!"

"Baiklah, Mr. Holmes."

"Tak perlu risau. Kami pasti akan menemukan jalan keluar bagi kesulitan Anda. Biar saya bawa lumpur hitam dan sisa-sisa rautan pensil itu. Sampai besok."

Ketika kami sudah keluar dari situ dan berada di halaman yang gelap, sekali lagi kami melihat ke jendela lantai-lantai atas. Si India masih mondar-mandir di dalam kamarnya, sedang dua lainnya tak terlihat bayangannya.

"Well, Watson, bagaimana menurutmu?" Holmes bertanya kepadaku ketika kami tiba di jalan raya. "Seperti permainan tiga kartu, ya. Ada tiga orang yang terlibat. Salah satunya adalah pelaku kejahatan itu. Silakan tebak, yang manakah?"

"Yang mulutnya rusak di lantai paling atas. Dialah yang paling mencurigakan. Tapi si India juga mencurigakan. Mengapa dia mondar-mandir di kamarnya seperti itu?"

"Itu sebetulnya tak berarti apa-apa. Banyak orang bertingkah begitu kalau sedang menghafalkan pelajaran."

"Dia menatap kita dengan sikap aneh."

"Kau pun akan bersikap demikian, kalau tiba-tiba ada rombongan tamu tak diundang yang menyerbu masuk ke kamarmu, padahal kau sedang sibuk menyiapkan ujian untuk esok hari sehingga waktumu benar-benar sangat berharga. Tidak, sikapnya itu biasa saja. Pensil-pensil dan pisau-pisau yang sempat kupinjampun amat memuaskanku. Tapi orang yang satu itu benar-benar membuatku heran."

"Siapa?"

"Ya siapa lagi kalau bukan Bannister si pelayan. Permainan apa yang sedang dilakukannya?"

"Kesanku, dia itu orang yang sangat jujur "

"Kesanku pun demikian. Justru itulah yang memusingkan. Mengapa seorang yang jujur macam dia... Well, well, itu ada toko alat-alat tulis besar. Kita akan mulai penyelidikan kita di sini."

Di kota ini hanya ada empat toko alat-alat tulis yang cukup besar. Di masing-masing toko itu, Holmes menunjukkan sisa-sisa rautan pensil yang dibawanya dan menegaskan bahwa dia mau membeli yang persis seperti itu. Semua pemilik toko itu mengatakan bahwa ukuran pensil itu agak tak umum, sehingga kalau mau membeli harus memesan dulu karena mereka tak punya persediaan pensil seperti itu. Sobatku nampaknya tak terlalu kecewa walaupun dia tak berhasil mendapatkan pensil yang dimaksudkannya. Dia hanya mengangkat bahu dengan gaya humornya sebagai tanda bahwa dia menyerah kalah dalam hal pencarian pensil yang unik itu.

"Payah, sobatku Watson. Petunjuk yang paling berharga dan paling menentukan ternyata tak menghasilkan apa-apa. Tapi untunglah, rasanya kita akan tetap bisa memecahkan kasus ini tanpa benda itu. Ya ampun, sobatku, sudah hampir jam sembilan, padahal nyonya rumah kita menyediakan makan malam pada jam setengah delapan. Kalau kau terus menerus merokok dan makan pada jam-jam yang tak menentu, Watson, jangan jangan kau akan diusir dari situ dan aku pun kehilangan tempat berteduh. Semoga saja itu tak terjadi sebelum kita berhasil menyelesaikan masalah dosen yang kelabakan, pelayan yang kurang hati-hati, dan tiga mahasiswa yang sedang berusaha lulus ujian ini."

Sepanjang malam itu, Holmes tak menyinggung-nyinggung soal kasus itu sedikit pun. Dia hanya duduk termenung selama berjam-jam setelah kami menyantap makan malam kami yang terlambat. Pada jam delapan keesokan harinya, dia masuk ke kamarku ketika aku baru saja selesai mandi dan berpakaian.

"Well, Watson," katanya, "sudah waktunya kita pergi ke St. Luke's. Siap pergi tanpa makan pagi?"

"Siap."

"Soames pasti dalam keadaan gundah gulana, sampai kita menyampaikan sesuatu yang pasti kepadanya."

"Sudah ada yang pasti untuk disampaikan kepadanya?"

"Kurasa sudah."

"Kau sudah mendapatkan kesimpulan?"

"Ya, sobatku Watson, aku sudah berhasil menyibakkan misteri ini.'

"Tapi, bukti baru apa yang kaudapatkan?"

"Aha! Tak sia-sia aku tadi bangun pagi-pagi jam enam. Selama dua jam aku bekerja keras dan berjalan paling sedikit delapan kilometer, dan menghasilkan sesuatu yang pantas dipertontonkan. Coba lihatlah!"

Dibukanya telapak tangannya, dan tampak olehku tiga gumpal tanah liat hitam berbentuk piramida.

"Lho, Holmes, kemarin kau kan cuma punya dua!"

"Tadi pagi aku mendapatkan satu lagi. Masuk akal atau tidak kalau kukatakan bahwa yang ketiga pasti asalnya sama dengan yang pertama dan kedua, eh, Watson? Well, ayo kita berangkat supaya teman kita Soames akan terbebas dari beban pikirannya."

Dosen yang kebingungan itu benar-benar dalam keadaan patut dikasihani. Kami menemuinya di ruang tamunya. Beberapa jam lagi ujian akan dilaksanakan, dan dia masih bingung apakah peristiwa itu akan disebarluaskan ataukah didiamkan saja (yang berarti pelakunya akan mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk memenangkan beasiswa itu). Dia tak bisa berdiri dengan tenang, dia benar-benar kebingungan, dan langsung berlari menyambut kedatangan Holmes dengan kedua lengan terulur lebar.

"Syukurlah, Anda akhirnya datang juga! Saya sudah merasa takut jangan-jangan Anda menyerah kalah. Apa yang harus saya kerjakan? Apakah ujian ini akan tetap dilangsungkan?"

"Ya, silakan tetap dilangsungkan saja."

"Tetapi bajingan yang menyalin soal itu...?"

"Dia tak akan lulus."

"Anda sudah tahu siapa orangnya?"

"Rasanya sudah. Kalau Anda tak ingin masalah ini tersebar luas, kita perlu bertindak dan melaksanakan pengadilan kecil-kecilan sendiri. Silakan Anda berdiri di sana, Soames! Kau di sini, Watson! Sedangkan aku akan duduk di kursi berlengan di tengah ruangan. Nah, cukuplah untuk menteror pelaku kejahatan itu. Silakan membunyikan bel!"

Bannister memasuki ruangan, dan terkesiap mundur dengan sangat terkejut melihat penampilan kami yang bagaikan dalam ruang persidangan

"Silakan ditutup pintunya," kata Holmes. "Nah, Bannister, maukah Anda menceritakan apa yang terjadi kemarin dengan sebenarnya?"

Wajah pelayan pria itu mendadak menjadi pucat pasi.

"Saya sudah menceritakan semuanya, sir."

"Tak ada yang perlu ditambahkan?"

"Tidak sama sekali, sir."

"Baiklah kalau begitu, saya ingin mengemukakan beberapa perkiraan. Ketika Anda duduk di kursi sana kemarin, bukankah itu karena Anda ingin menyembunyikan sesuatu yang bisa menjadi petunjuk bahwa ada orang yang telah masuk ke ruangan ini?"

Wajah Bannister menjadi semakin pucat.

"Tidak, sir, sama sekali tidak."

"Cuma perkiraan saya, kok," kata Holmes dengan kalem. "Terus terang, saya memang tak bisa membuktikan hal itu. Tapi rasanya ada kemungkinannya, karena begitu Mr. Soames meninggalkan ruangan ini, Anda langsung menyuruh orang yang sedang bersembunyi di kamar tidurnya agar segera melarikan diri."

Bannister membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya.

"Tak ada orang sebagaimana Anda sebutkan tadi, sir."

"Ah, sayang sekali, Bannister. Sejauh ini Anda mungkin mengatakan yang sebenarnya, tapi sekarang jelas-jelas Anda berbohong."

Wajah Bannister yang cemberut tetap ngotot mengingkari hal itu.

"Tak ada siapa-siapa sir."

"Ayolah, Bannister."

"Benar, sir. Tak ada siapa-siapa."

"Kalau begitu, keterangan dari Anda sudah cukup. Anda jangan meninggalkan ruangan ini dulu, ya? Silakan berdiri di dekat pintu kamar tidur itu. Sekarang, Soames, saya mohon Anda naik ke lantai atas dan pergi ke kamar Gilchrist, dan ajaklah dia kemari."

Tak lama kemudian dosen itu sudah kembali bersama mahasiswa yang dimaksudkan oleh Holmes. Pemuda ini gagah sekali, jangkung, atletis, dan gesit, dengan langkah ringan dan wajah menyenangkan. Matanya yang biru memandangi kami satu per satu dengan ekspresi terganggu. Pandangannya akhirnya tertuju pada Bannister yang sedang berdiri di ujung ruangan, dan rasa kaget langsung menyergapnya.

"Silakan menutup pintu," kata Holmes. "Nah, Mr. Gilchrist, cuma kita berlima yang ada di sini, dan apa yang akan kita perbincangkan jangan sampai ada orang lain yang tahu. Kita akan saling berterus terang. Kami ingin tahu, Mr. Gilchrist, bagaimana Anda, seseorang yang terhormat, sampai tega melakukan tindakan memalukan kemarin itu?"

Pemuda yang malang itu terhuyung ke belakang, dan menatap dengan pandangan ketakutan dan mencela ke arah Bannister.

"Tidak, tidak, Mr. Gilchrist, sir, saya tak pernah mengatakan apa-apa—tak sepatah kata pun!" teriak pelayan pria itu.

"Memang tidak, tapi baru saja Anda mengatakan semuanya," kata Holmes. "Nah, sir, setelah apa yang dikatakan oleh Bannister barusan, Anda kini benar-benar tak mungkin menyangkal lagi. Kami akan memberikan kesempatan terakhir kepada Anda, yaitu bila Anda bersedia mengaku dengan sejujur-jujurnya."

Untuk sesaat Gilchrist mengangkat tangannya dan mengendurkan urat-urat tubuhnya yang tegang. Kemudian dia menjatuhkan dirinya ke lantai di samping meja, dan sambil berlutut disembunyikannya wajahnya pada kedua telapak tangannya, lalu dia menangis tersedu-sedu.

"Ayolah, ayolah," kata Holmes dengan lembut, "sudah lumrah kalau manusia berbuat salah, toh tak akan ada seorang pun yang menuduh Anda sebagai penjahat ulung. Mungkin akan lebih mudah bagi Anda kalau saya saja yang menceritakan kepada Mr. Soames apa yang telah terjadi, dan Anda silakan mengoreksi kalau ada yang salah dalam penuturan saya berikut ini. Begitukah? Well, well, Anda tak perlu susah-susah menjawab. Coba dengarkan, dan Anda nanti akan melihat bahwa apa yang saya lakukan benar-benar adil adanya.

"Sejak Anda, Mr. Soames, mengatakan bahwa tak seorang pun, bahkan juga Bannister, tahu menahu tentang adanya berkas soal ujian di dalam ruangan Anda itu, kasus ini mulai menunjukkan titik terang di benak saya. Orang yang mengetik soal itu tentu saja tak mungkin melakukannya. Untuk apa? Kalau memang dia bermaksud begitu, kan akan lebih mudah dilakukannya di kantornya sendiri? Si India juga tak mengganggu pikiran saya. Kalau berkas itu dalam keadaan tergulung, siapa pun tak mungkin tahu isinya. Sebaliknya, tak mungkin seseorang secara kebetulan berani masuk ke ruangan ini, lalu secara kebetulan juga pada saat dia masuk, berkas itu berada di meja. Saya kesampingkan kemungkinan itu. Orang yang masuk kemari pastilah tahu bahwa berkas itu ada di meja. Bagaimana dia bisa tahu?

"Ketika saya menuju ke kamar Anda, saya memperhatikan jendelanya. Saya sempat merasa geli karena Anda menyangka saya mempertimbangkan kemungkinan bahwa seseorang telah masuk kemari lewat jendela pada siang bolong dengan risiko akan terlihat dari ruangan-ruangan di depan sana. Gagasan seperti itu tak mungkin terlintas di benak saya. Yang waktu itu saya lakukan adalah mengukur seberapa tinggi diperlukan agar seseorang yang lewat jendela ruangan ini bisa melihat berkas yang berada di meja. Saya ini tingginya 180 sentimeter, dan saya bisa melakukan itu kalau saya berusaha keras. Tapi orang yang tingginya kurang dari saya tak akan bisa. Anda lihat, kan, bahwa saya sudah punya alasan untuk memperkirakan bahwa kalau di antara ketiga ma-hasiswa yang tinggal di gedung ini ada yang tubuhnya tinggi jangkung, dialah yang paling pantas untuk diselidiki.

"Saya lalu masuk ke ruangan ini, dan Anda pun sudah saya beritahu tentang meja samping itu. Dari meja di tengah ruangan saya tak mendapatkan apa-apa, sampai Anda menjelaskan tentang Gilchrist yang pernah menjadi juara loncat jauh. Semuanya langsung mengalir ke benak saya, dan saya sepertinya memerlukan beberapa bukti yang menguatkan yang ternyata bisa saya dapatkan dengan sangat cepat.

"Beginilah kejadiannya. Sore itu pemuda ini baru saja selesai berlatih loncat jauh di lapangan atletik. Dia kembali ke kamarnya sambil menjinjing sepatu olahraga yang alasnya berpaku. Ketika melewati jendela ruangan Anda, dia bisa melihat berkas-berkas di meja—karena dia memang jangkung sekali—dan dapat memperkirakan berkas-berkas apa itu. Sebenarnya dia tak bermaksud jahat, seandainya saja dia tak melihat kunci yang akibat keteledoran pelayan Anda masih tergantung di pintu. Begitulah, dalam sekejap timbul niat dalam hatinya untuk masuk dan membuktikan apakah berkas-berkas itu betul-betul berisi soal soal ujian. Tindakannya itu belum membahayakan dirinya, karena kalau sampai kepergok, dia bisa saja mengatakan bahwa dia datang ke situ untuk menanyakan sesuatu kepada Anda.

"Well, begitu dia tahu bahwa berkas itu benar-benar berisi soal ujian, barulah cobaan datang melandanya. Dia lalu menaruh sepatunya di meja. Apa yang Anda taruh di kursi dekat jendela?"

"Sarung tangan," kata pemuda itu.

Holmes menatap Bannister dengan penuh kemenangan.

"Jadi dia menaruh sarung tangannya di kursi itu, lalu dia mengambil berkas-berkas itu, helai demi helai, dan menyalinnya. Dia menduga Dosen akan pulang lewat pintu gerbang utama, jadi masih akan terlihat olehnya dari jendela. Sebagaimana kita tahu, ternyata Dosen pulang lewat pintu gerbang samping, dan dia baru mendengar langkahnya sesudah beliau mendekati pintu masuk ruangan ini. Dia tak mungkin bisa melarikan diri. Dia langsung menyambar sepatunya, lalu berlari menuju kamar tidur Dosen. Tapi dia lupa membawa sarung tangannya. Anda melihat bahwa goresan di meja ini tak begitu dalam di satu sisi, tapi menjadi sangat tajam ke arah pintu kamar tidur. Itu saja sudah cukup menunjukkan kepada kita bahwa sepatu itu telah ditarik ke arah sana, dan bahwa orang yang kita incar ternyata telah bersembunyi di kamar tidur. Tanah yang tadinya menempel di sekitar alas sepatu ada yang tercecer di meja, dan ada pula yang terjatuh di kamar. Baik saya tambahkan bahwa tadi pagi saya berjalan-jalan mengelilingi lapangan atletik. Saya dapati jenis tanah yang dipakai di arena lompat jauh adalah tanah liat berwarna hitam. Saya mengambil sedikit juga, juga serbuk gergaji yang ditaburkan di atasnya untuk mencegah agar para atlet tak tergelincir. Apakah yang saya ceritakan ini benar adanya, Mr. Gilchrist?"

Pemuda mahasiswa itu telah berdiri tegak.

"Ya, sir. Semuanya benar adanya," katanya.

"Ya Tuhan, tak adakah sesuatu yang ingin kau tambahkan?" teriak Soames.

"Ada, sir, tapi terbongkarnya kasus ini membuat saya bingung. Saya ingin menyerahkan surat kepada Anda, Mr. Soames, yang saya tulis pagi tadi setelah semalaman saya merasa gelisah. Jadi surat ini saya tulis sebelum perbuatan saya terbongkar. Ini suratnya, sir. Di dalam surat itu saya menyatakan bahwa saya telah memutuskan untuk tidak mengikuti ujian. Saya mendapat tawaran pekerjaan di Kepolisian Rhodesia, dan dalam waktu singkat saya akan berangkat ke Afrika Selatan."

"Aku sungguh gembira mendengar bahwa kau tak bermaksud memanfaatkan kecuranganmu," kata Soames, "tapi mengapa kau berubah pikiran?"

Gilchrist menunjuk ke arah Bannister.

"Orang itulah yang telah mengarahkan saya untuk mengambil jalan yang benar," katanya.

"Ayolah, Bannister," kata Holmes. "Sudah jelas, kan, dari penuturan saya bahwa hanya Andalah yang bisa melepaskan pemuda ini, karena Anda berada di ruangan ini saat itu dan pasti langsung mengunci pintu ketika Anda keluar. Keterlaluan kalau Anda bilang bahwa dia loncat lewat jendela. Tak bersediakah Anda menjernihkan satu hal yang masih menjadi misteri, yaitu apa alasan Anda melakukan semua itu?"

"Sederhana saja, sir, kalau saja Anda tahu; tapi dengan segala kecerdikan Anda, tak mungkin Anda memakluminya. Dulu, sir, saya pernah bekerja sebagai kepala pelayan di rumah Sir Jabez Gilchrist. Ketika dia bangkrut, saya lalu bekerja di sini sebagai pelayan, tapi saya tak pernah bisa melupakan tuan saya yang sedang dalam kesulitan hidup itu. Saya sangat memperhatikan putranya demi membalas budi baiknya kepada saya di masa lalu. Well, sir, ketika saya masuk ke ruangan ini kemarin, saya langsung terkejut karena sarung tangan Mr. Gilchrist tergeletak di kursi. Saya tahu benar bahwa sarung tangan itu miliknya, dan saya langsung mengerti apa yang sedang terjadi. Kalau sampai Mr. Soames menemukan sarung tangan itu, tamatlah riwayatnya. Maka saya lalu mendudukinya dan tak mau beranjak dari kursi itu sampai Mr. Soames meninggalkan ruangan untuk pergi ke tempat Anda. Kemudian tuan muda saya keluar dari persembunyiannya di kamar tidur—dia yang dulu saya timang-timang di pangkuan saya ketika bayi—dan dia langsung mengakui semua perbuatannya. Bukankah bisa dimengerti, sir, kalau saya lalu bermaksud menyelamatkannya? Bukankah bisa dimengerti pula kalau saya merasa perlu menasihatinya sebagaimana akan dilakukan oleh almarhum ayahnya, untuk menyadarkannya bahwa perbuatannya ini tak ada gunanya bagi dirinya? Salahkah saya, sir?"

"Tentu saja tidak!" kata Holmes dengan sepenuh hati sambil bangkit berdiri. "Nah, Soames, saya rasa saya sudah membereskan masalah kecil Anda, dan kami tadi belum sarapan. Mari, Watson! Dan selamat bagi Anda, sir, saya yakin masa depan Anda akan cerah di Rhodesia. Anda pernah jatuh sekali. Kami ingin melihat setinggi apa Anda bisa meloncat di kemudian hari."  

kembalinya sherlock holmesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang