KAMI sudah biasa menerima telegram aneh-aneh yang dialamatkan ke Baker Street, tapi ada satu telegram yang tak mungkin kulupakan. Telegram itu kami terima pada suatu hari mendung di bulan Februari, kira-kira tujuh atau delapan tahun yang lalu. Mr. Sherlock Holmes saja sampai terbengong-bengong selama seperempat jam. Telegram itu ditujukan kepadanya dan bunyinya sebagai berikut:
Tunggu kedatangan saya. Musibah besar. Pemain belakang kanan menghilang. Sangat diperlukan besok pagi.
OVERTON."Cap posnya dari daerah pelabuhan, dan dikirim pada jam sepuluh lewat tiga puluh enam menit," kata Holmes sambil membaca telegram itu berkali-kali. "Mr. Overton jelas sedang dalam keadaan menggebu-gebu ketika menulis telegram ini, sehingga beritanya tak begitu jelas. Well, well, dia toh akan kemari. Kukira dia akan tiba di sini setelah aku selesai membaca Times, dan kita akan segera tahu apa masalah yang sedang dihadapinya. Masalah-masalah yang sepele pun akan kutangani pada saat-saat sepi begini."
Memang, akhir-akhir ini kami banyak menganggur, dan aku merasakan betapa resahnya kami dibuatnya, apalagi karena aku menyadari bahwa otak temanku ini tak pernah bisa menganggur. Bahaya kalau sampai otaknya itu tak dimanfaatkan. Selama bertahun-tahun aku telah berupaya keras supaya dia sedikit demi sedikit melepaskan diri dari kecanduannya akan narkotik yang pernah nyaris menghancurkan kariernya. Kini, dalam keadaan yang biasa-biasa, dia sudah tak begitu terikat pada benda terkutuk itu, tapi aku tahu bahwa setan candu di tubuhnya masih belum mati, cuma sedang tidur—tidurnya tak begitu nyenyak lagi—sehingga gampang terbangun, apalagi kalau sedang menganggur seperti ini. Kuperhatikan saat ini wajah lesunya yang bak pertapa, serta pandangan mata cekungnya yang sayu dan hampa. Pertanda bahaya! Itulah sebabnya aku sangat berterima kasih kepada orang bernama Overton ini, siapa pun dia, karena dia telah mengirimkan berita yang penuh teka-teki ini. Kalaupun nantinya kasus ini akan melibatkan temanku dalam suatu petualangan yang berbahaya, itu masih lebih baik daripada kekosongan yang menyiksa.
Sebagaimana kami harapkan, pengirim telegram itu datang ke tempat kami. Kami mendapatkan kartu namanya dulu: Mr. Cyril Overton dari Trinity College, Cambridge. Lalu seorang pria muda yang tinggi-tegap membuka pintu kamar kami, bahunya yang kokoh memenuhi ambang pintu, dan ia menatap kami secara bergantian. Wajahnya yang tampan memancarkan kekuatiran.
"Mr. Sherlock Holmes?"
Temanku membungkukkan badan.
"Saya sudah ke Scotland Yard, Mr. Holmes. Saya bertemu dengan Inspektur Stanley Hopkins. Dia menyarankan agar saya menemui Anda. Menurut dia, kasus ini lebih cocok untuk Anda daripada untuk polisi."
"Silakan duduk, dan ceritakan kepada saya apa yang terjadi pada diri Anda."
"Payah, Mr. Holmes, payah sekali! Masih mujur rambut saya tak langsung menjadi putih. Godfrey Staunton—Anda tahu, kan? Semua anggota tim kami sangat bergantung kepadanya. Saya lebih suka kehilangan dua pemain lain daripada kehilangan pemain belakang saya itu. Tak peduli sedang melempar, menangkap, atau mendribel, tak ada musuh yang berani mendekatinya; lagi pula, dialah yang paling menonjol dan yang bisa mempersatukan kami. Apa yang harus saya Iakukan? Itulah yang ingin saya tanyakan kepada Anda, Mr. Holmes. Memang ada Moorhouse, pemain cadangan pertama, tapi dia dilatih secara khusus untuk menjadi pemain tengah, dan dia itu sukanya berebut bola padahal seharusnya berjaga di pinggir lapangan. Memang tendangannya bagus, tapi tak terarah, dan larinya payah. Wah, dengan mudah dia bisa dihadang oleh Morton atau Johnson, pelari-pelari ulung dari Oxford itu. Stevenson cukup cepat larinya, tapi dia tak bisa melempar dari garis dua puluh lima, dan pemain belakang yang tak mampu menyepak atau melempar dengan baik tak bisa ditaruh di posisi itu. Tidak, Mr. Holmes, kami pasti kalah kecuali Anda bisa menolong saya untuk menemukan Godfrey Staunton."
Temanku mendengarkan dengan terpesona sekaligus geli. Mr. Overton bicaranya bagaikan mitraliur yang disemburkan dengan gencar. Sementara berkisah, dia tak henti-hentinya menepuk-nepukkan tangan ke lutut. Ketika tamu kami sudah selesai bicara, Holmes mengulurkan tangannya dan mengambil buku indeks yang berinisial "S". Selama beberapa saat dia berusaha mencari-cari informasi dari buku pintarnya itu, tapi kelihatannya tak berhasil.
"Yang ada adalah Arthur H. Staunton, ahli dalam pemalsuan macam-macam barang," katanya, "lalu Henry Staunton, yang berhasil saya tangkap dan akhirnya dihukum gantung, tapi nama Godfrey Staunton belum pernah saya dengar."
Kini giliran tamu kami yang terbengong-be-ngong.
"Ah, masa, Mr. Holmes, saya pikir Anda tahu tentang semua hal," katanya. "Kalau nama Godfrey Staunton saja belum pernah Anda dengar, berarti Anda juga belum tahu tentang Cyril Overton?"
Holmes menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap lucu.
"Ya ampun!" teriak sang atlet. "Saya kan pemain cadangan utama tim Inggris ketika melawan tim Wales, dan sayalah yang menjadi kapten tim Cambridge sepanjang tahun ini. Tapi itu bukan apa-apa! Menurut saya, tak ada seorang pun di Inggris ini yang tak tahu siapa Godfrey Staunton, pemain belakang paling hebat yang pernah dimiliki tim Cambridge, Blackheath, dan lima tim internasional lainnya. Astaga, Mr. Holmes, di mana gerangan Anda tinggal?"
Holmes tertawa mendengar keheranan pemuda gagah yang lugu ini.
"Dunia saya lain dengan dunia Anda, Mr. Overton. Dunia Anda jauh lebih menyenangkan dan menyehatkan. Bidang-bidang yang saya geluti memang macam-macam, tapi saya tak malu untuk mengatakan bahwa saya memang tak pernah berkecimpung di bidang olahraga amatir, yang nampaknya sangat populer di Inggris ini. Namun, kedatangan Anda yang tiba-tiba pagi ini menunjukkan bahwa di dunia Anda yang penuh udara segar dan diwarnai sportivitas itu, toh ada juga pekerjaan untuk saya. Jadi, Saudara, silakan duduk saja dulu dan ceritakan dengan perlahan-lahan kejadiannya. Tolong dijelaskan juga, pertolongan yang bagaimana yang Anda harapkan dari saya."
Overton kelihatan bingung, nyata sekali bahwa dia lebih terbiasa memanfaatkan kekuatan ototnya daripada kemampuan otaknya. Tapi akhirnya bisa juga dia memaparkan kisahnya yang unik kepada kami, walaupun banyak hal yang diulang ulang dan tak jelas.
"Begini, Mr. Holmes. Tadi sudah saya katakan, saya adalah kapten tim rugby dari Universitas Cambridge, dan Godfrey Staunton adalah pemain terbaik saya. Besok tim kami akan bermain melawan tim dari Oxford. Kemarin kami tiba di Oxford dan menginap di hotel swasta Bentley. Pada jam sepuluh malam, saya berkeliling dan mendapati semua pemain telah masuk tidur, karena saya menekankan pentingnya latihan yang teratur dan tidur yang cukup agar tim ini tetap kuat. Saya sempat berbincang-bincang sejenak dengan Godfrey sebelum dia masuk tidur. Waktu itu wajahnya nampak pucat dan sedih. Saya bertanya ada apa dengan dirinya. Dia bilang tak ada apa-apa—hanya agak pusing. Saya mengucapkan selamat malam dan meninggalkannya. Setengah jam kemudian, portir memberitahu saya bahwa ada seorang pria berjenggot dengan wajah kasar datang ke hotel membawa surat untuk Godfrey. Karena dia belum tidur, surat itu pun diantarkan ke kamarnya. Godfrey membaca surat itu lalu terjatuh di kursinya bagaikan telah dihantam dengan kapak. Portir sangat ketakutan, lalu berlari memanggil saya, tapi Godfrey mencegahnya. Dia minum air dan menenangkan dirinya. Dia lalu turun, mengucapkan beberapa kata kepada si pembawa surat yang menunggu di lobi, lalu keduanya pergi bersama-sama. Terakhir kali portir melihat mereka, mereka sedang terburu-buru, setengah berlari, menuju jalan raya ke arah Strand. Pagi tadi, kamar Godfrey kosong, tempat tidurnya masih rapi sekali, dan barang barangnya masih di dalam kamar itu. Tak ada yang berubah sejak saya masuk ke kamar itu semalam. Dia menghilang bersama orang asing itu dalam saat yang kritis begini, dan tak ada kabar berita darinya sejak itu. Jangan-jangan dia tak akan kembali. Si Godfrey ini atlet sejati, Mr. Holmes. Dia tak akan meninggalkan tim dan kaptennya dengan begitu saja, kalau bukan karena sesuatu yang sangat mendesak. Tidak, saya merasa bahwa dia telah pergi selamanya dan tak akan kembali lagi."
Sherlock Holmes mendengarkan kisah yang unik ini dengan penuh perhatian.
"Apa yang telah Anda lakukan?" tanyanya.
"Saya mengirim telegram ke Cambridge untuk mengecek apakah ada yang mendengar kabar tentang Godfrey di sana. Jawabannya telah saya terima. Tak ada seorang pun yang melihatnya."
"Apakah ada kemungkinan dia kembali ke Cambridge?"
"Ya, ada kereta api malam—jam sebelas seperempat."
"Tapi menurut Anda dia tak naik kereta api itu?"
"Ya, tidak ada orang yang telah melihatnya di kereta api itu."
"Lalu, apa yang Anda lakukan selanjutnya?"
"Saya mengirim telegram kepada Lord Mount-James."
"Kenapa mesti kepada Lord Mount-James?"
"Godfrey itu anak yatim-piatu, dan Lord Mount-James adalah familinya yang terdekat—kalau tak salah pamannya."
"Oh, begitu. Fakta ini membawa titik terang untuk masalah ini. Lord Mount-James adalah salah satu dari orang-orang terkaya di Inggris."
"Begitulah yang saya dengar dari Godfrey."
"Apakah hubungannya dengan sang paman cukup dekat?"
"Ya, dia adalah ahli warisnya, dan pamannya itu usianya sudah hampir delapan puluh tahun—menderita sakit encok yang parah, lagi. Orang-orang bilang tulang-tulangnya penuh kapur sehingga dengan buku jari saja dia bisa melumuri tongkat biliar. Seumur hidup, tak pernah dia memberikan uang sesen pun kepada Godfrey, karena dia itu pelit sekali. Tapi semua hartanya akan menjadi milik Godfrey, dan itu tak akan memakan waktu lama lagi."
"Ada berita dari Lord Mount-James?"
"Tidak ada."
"Apa kira-kira maksud Godfrey pergi ke rumah Lord Mount-James?"
"Well, ada yang dirisaukannya tadi malam, dan kalau itu berhubungan dengan uang, ada kemungkinan dia akan minta tolong kepada famili terdekatnya yang amat kaya itu, walaupun dari apa yang pernah saya dengar, rasanya kecil kemungkinan dia akan mendapat bantuan. Godfrey tak begitu menyukai orang tua itu. Dia tak akan menemuinya, kalau tak sangat terpaksa."
"Yah, nanti kita bisa memastikan hal itu. Seandainya benar teman Anda itu pergi ke rumah Lord Mount-James, Anda perlu memberi penjelasan tentang kunjungan pria berwajah kasar dan reaksi yang ditimbulkan oleh kedatangannya itu.
Cyril Overton menekankan tangannya ke kepala. "Saya sama sekali tak tahu bagaimana harus menjelaskannya!" katanya.
"Well, well, saya tak begitu sibuk hari ini, dan dengan senang hati saya akan menyelidiki masalah ini," kata Holmes. "Saya sangat menyarankan agar Anda mempersiapkan tim untuk pertandingan tanpa kehadiran teman Anda ini. Saya setuju dengan pendapat Anda bahwa telah terjadi sesuatu yang sangat urgen, dan nampaknya dia akan berhalangan memperkuat tim Anda. Mari kita mengunjungi hotel tempatnya menginap, dan mencoba mengorek lebih banyak informasi dari portir."
Sherlock Holmes sangat ahli kalau harus mengorek informasi seperti itu, tanpa pihak yang ditanyai merasa sedang dihakimi. Tak lama kemudian, kami sudah berada di kamar Godfrey yang kosong, dan Holmes mulai menanyai si portir. Orang yang datang dengan membawa surat semalam bukan seorang bangsawan ataupun seorang buruh. Menurut portir, dia termasuk golongan menengah; umurnya kira-kira lima puluhan, jenggotnya putih, wajahnya pucat, pakaiannya tak mencolok. Orang itu pun nampaknya sedang risau.
Portir memperhatikan tangannya gemetaran ketika menyerahkan surat itu. Godfrey Staunton langsung memasukkan surat itu ke sakunya. Dia tidak berjabatan tangan dengan orang itu ketika bertemu di lobi. Mereka hanya berbincang-bincang sejenak, dan hanya satu kata yang ditangkap oleh portir, yaitu "waktu". Mereka lalu pergi dengan tergesa-gesa. Waktu itu jam di lobi menunjukkan setengah sebelas.
"Hm," kata Holmes sambil duduk di tempat tidur Staunton. "Anda portir yang bertugas siang hari, bukan?"
"Ya, sir, jam kerja saya sampai jam sebelas."
"Portir yang bertugas malam hari tak melihat apa-apa?"
"Ya, sir, cuma ada rombongan teater yang datang sangat malam untuk menginap. Tak ada orang lain lagi."
"Apakah Anda bertugas sepanjang hari kemarin?"
"Ya, sir."
"Apakah ada titipan berita untuk Mr. Staunton?"
"Ya, sir. Ada telegram untuknya."
"Ah! Menarik sekali. Jam berapa telegram itu sampai?"
"Jam enam sore."
"Ada di manakah Mr. Staunton ketika dia menerima telegram itu?"
"Di kamar ini."
"Apakah Anda masih berada di sini ketika dia membukanya."
"Ya, sir, saya menunggu kalau-kalau dia perlu membalas telegram itu."
"Well, apakah dia ingin membalasnya?"
"Ya, sir. Dia menuliskan balasannya."
"Apakah Anda yang mengirimkan balasan itu?"
"Tidak, dia mengirimkannya sendiri."
"Tapi Anda melihatnya ketika dia menulis balasan telegram itu?"
"Ya, sir. Saya berdiri di dekat pintu, dan dia membungkukkan badannya sambil menulis di meja itu. Setelah selesai menulis, dia berkata, 'Baiklah, Portir, saya akan mengirimkan balasan ini sendiri.'"
"Menulis pakai apa dia?"
"Pulpen, sir."
"Apakah formulir untuk telegram tersedia di meja itu?"
"Ya, sir. Tuh, yang paling atas."
Holmes bangkit berdiri. Diambilnya formulir-formulir itu, dan dibawanya ke jendela supaya dia bisa mengamatinya dengan saksama.
"Sayang, dia tidak menulis dengan pensil," katanya sambil melemparkan formulir-formulir itu ke tempatnya semula. Dia mengangkat bahu dengan kecewa. "Biasanya, Watson, ada bekas tulisan yang menggores halaman bawahnya—hal ini yang telah menghancurkan banyak perkawinan. Tapi, tak ada bekas apa pun yang bisa membantu di formulir-formulir itu. Untunglah pulpen yang dipakainya berujung lebar, jadi masih ada kemungkinan kita akan mendapatkan sedikit informasi dari kertas pengisap tinta ini. Ah, ya, kali ini pasti berhasil!"
Dia merobek sebagian kertas pengisap tinta itu lalu menunjukkan kepada kami tulisan seperti ini:
Cyril Overton terlonjak dengan penuh penasaran, "Coba dekatkan ke kaca," teriaknya.
"Tak perlu," kata Holmes. "Kertas ini tipis saja, kok, dan kalau dibalik, beritanya akan jelas. Nah, ini dia." Holmes membalik kertas itu, dan kami lalu membaca tulisan sebagai berikut:
"Jadi inilah sebagian dari isi telegram yang dikirim oleh Godfrey Staunton beberapa jam sebelum dia menghilang. Paling tidak ada enam kata dari berita itu yang tak kita dapatkan, tapi dari yang ada—'Tolonglah kami, demi Tuhan'—kita dapat menyimpulkan bahwa pemuda ini dihadapkan pada bahaya, dan ada seseorang yang bisa menolongnya. 'Kami', coba perhatikan! Jadi ada orang lain lagi yang terlibat. Siapa lagi kalau bukan pria berjenggot yang wajahnya pucat dan sedang risau juga itu? Lalu apa hubungan Godfrey Staunton dengan pria berjenggot itu? Dan siapakah orang ketiga yang dimintai tolong oleh kedua orang itu? Maka, kita akan membatasi penyelidikan kita ke arah hal itu."
"Kita cari tahu saja kepada siapa telegram ini dialamatkan," saranku.
"Tepat sekali, sobatku Watson. Saranmu itu memang cukup jitu, dan sebelumnya pun sempat melintas di benakku. Tapi harap kauperhatikan bahwa jika kau pergi ke kantor pos dan meminta catatan telegram orang lain, mungkin saja para petugas kantor pos akan keberatan. Ada birokrasi yang rumit dalam hal ini. Namun dengan taktik khusus kita mungkin akan berhasil. Sebelum itu, saya ingin meneliti kertas-kertas yang bertebaran di atas meja bersama Anda, Mr. Overton."
Ada macam-macam kertas: surat-surat, bon-bon tagihan, dan buku-buku catatan. Semuanya dibolak-balik dan diamati oleh Holmes dengan saksama. Jari-jarinya bergerak dengan cepat bagaikan orang kebingungan, dan matanya yang bergerak-gerak menatap setiap surat dengan amat jeli.
"Tak ada apa-apa di sini," katanya pada akhirnya. "Oh ya, tentunya teman Anda ini pemuda yang sehat-sehat saja, kan? Tak ada masalah dengannya?"
"Sehat walafiat."
"Pernahkah dia jatuh sakit?"
"Tidak. Dia memang pernah terjatuh dan terluka, juga pernah terpeleset, tapi tak membahayakan dirinya."
"Mungkin saja dia tak sekuat yang Anda kira. Menurut saya, dia menyembunyikan suatu masalah. Dengan sepengetahuan Anda, saya akan membawa satu atau dua surat-surat ini, kalau-kalau ada gunanya nanti."
"Sebentar, sebentar!" teriak sebuah suara yang nadanya bersungut-sungut. Ketika kami menengok, kami melihat seorang tua bertubuh kecil sedang berjalan dengan susah payah di pintu masuk. Pakaiannya serba hitam, topinya sangat lebar, dasinya yang berwarna putih menggantung lepas—penampilannya benar-benar seperti pendeta dari desa atau pemilik jasa pemakaman. Walaupun penampilannya aneh dan seperti gembel, suaranya tajam menantang, dan sikapnya membuat kami memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Anda ini siapa, sir, dan siapa yang memberikan wewenang kepada Anda untuk menyentuh surat-surat itu?" tanyanya.
"Saya detektif swasta, dan saya sedang menyelidiki tentang hilangnya penghuni kamar ini."
"Oh, begitu, ya? Dan siapa yang meminta Anda untuk melakukan penyelidikan ini, eh?"
"Dia, rekan Mr. Staunton ini, diminta untuk menemui saya oleh Scotland Yard."
"Dan Anda ini siapa, sir?"
"Nama saya Cyril Overton "
"Jadi Andalah yang mengirim telegram kepada saya. Saya Lord Mount-James. Saya langsung datang kemari secepatnya naik bis dari Bayswater. Jadi Anda sudah minta jasa seorang detektif?"
"Ya, sir."
"Dan Anda sudah pertimbangkan soal biayanya?"
"Saya yakin, sir, bahwa rekan saya Godfrey tak akan keberatan untuk membayar semuanya kalau dia ditemukan."
"Bagaimana kalau dia tak ditemukan, eh? Coba jawab pertanyaan saya!"
"Kalau begitu, familinya pasti..."
"Jangan harap yang begitu, sir!" teriak pria kecil itu. "Jangan harap saya mau mengeluarkan sesen pun—sesen pun! Harap dimengerti, ya, Mr. Detektif! Hanya saya satu-satunya famili yang dimilikinya, dan, dengar ini, saya tak bertanggung jawab atas hal ini. Kalau dia kelak mendapat warisan dari saya, itu karena saya selalu hemat, dan sekarang pun saya tak mau membuang-buang uang. Dan surat-surat yang Anda obrak-abrik itu, dengar, ya, kalau nanti sampai ada yang berharga di antaranya, Anda yang akan bertanggung jawab."
"Baiklah, sir," kata Sherlock Holmes. "Bisakah saya tanya kepada Anda, menurut Anda kira-kira ada di manakah pemuda yang hilang ini."
"Saya tak tahu, sir. Dia kan bukan anak kecil, dan sudah cukup besar untuk menjaga dirinya sendiri, dan kalau sampai dia berbuat hal-hal yang bodoh sampai menghilang segala, bukan saya yang harus bertanggung jawab untuk memikul biaya pencariannya."
"Saya mengerti posisi Anda," kata Holmes sambil mengedipkan matanya dengan nakal. "Tapi Andalah yang mungkin tak mengerti posisi saya. Godfrey Staunton nampaknya sedang dalam keadaan serba kekurangan. Kalau dia diculik, pasti bukan karena masalah harta. Tapi berita tentang kekayaan Anda sudah tersebar ke mana-mana, Lord Mount-James, dan kemungkinan besar ada komplotan penjahat yang menculik keponakan Anda untuk mendapatkan informasi tentang keadaan rumah Anda, kebiasaan-kebiasaan Anda, dan juga tentang kekayaan Anda."
Wajah tamu kami yang tak menyenangkan ini berubah menjadi seputih kapas.
"Ya, Tuhan, sir, gagasan yang mengerikan sekali. Saya tak pernah berpikir sejauh itu! Betapa dunia ini telah dipenuhi oleh penjahat! Tapi Godfrey itu anak yang baik—anak yang setia. Tak mungkin dia akan mengkhianati pamannya sendiri yang sudah tua renta ini. Saya akan menyimpan tempat uang saya di bank sore ini juga. Sementara itu, tak usah tunggu lama-lama, Mr. Detektif. Tolong cari keponakan saya secepatnya, dan bawa dia pulang dengan selamat. Mengenai biayanya, well, kalau tak begitu banyak, okelah, akan saya tanggung."
Bangsawan yang pelit ini ternyata tak bisa memberikan informasi yang dapat membantu kami, karena dia tak begitu tahu tentang kehidupan pribadi keponakannya. Satu-satunya petunjuk yang kami punyai kini ialah potongan telegram tadi, dan Holmes pun mulai melacak kemungkinan penyelidikan yang lain berdasarkan itu. Kami berpamitan dari Lord Mount-James, dan Overton lalu pergi untuk mengabarkan musibah ini kepada anggota timnya yang lain. Ada kantor telegraf tak jauh dari hotel itu. Kami menuju ke sana dan berhenti di depannya.
"Kita coba saja, Watson," kata Holmes. "Kalau punya surat geledah tentu lebih mudah, tapi kita belum mencapai taraf itu. Kurasa tak ada yang ingat wajah orang di tempat sibuk begitu. Yuk, kita masuk."
"Maaf, mengganggu sebentar," katanya dengan amat sopan kepada wanita muda di balik kisi-kisi. "Ada sedikit kesalahan pada telegram yang saya kirim kemarin, karena sampai sekarang saya tak menerima balasannya. Jangan-jangan saya lupa menuliskan nama saya di bagian akhir telegram. Bisa minta tolong untuk dilihat sebentar, apakah benar demikian?"
Wartita muda itu menarik berkas berisi tanda pengiriman telegram.
"Jam berapa Anda mengirimnya kemarin?" tanyanya.
"Jam enam lebih sedikit."
"Kepada siapa telegram itu dikirimkan?"
Holmes menggigit jarinya dan menoleh ke arahku. "Kata-kata terakhirnya berbunyi 'demi Tuhan', dia berbisik seolah sedang menggumamkan sebuah rahasia besar, "dan saya sangat kuatir karena balasannya tak kunjung tiba."
Wanita muda itu mengambil selembar tanda pengiriman dari tumpukan berkas itu.
"Ini dia. Memang tak ada namanya," katanya, sambil menunjukkannya kepada kami.
"Pantas, tak ada balasan," kata Holmes. "Wah, betapa bodohnya saya ini. Selamat pagi, Nona, dan terima kasih telah membantu saya."
Dia tergelak dan mengusap-usap kedua belah tangannya ketika kami sudah berada di jalan raya lagi.
"Well?" tanyaku.
"Kita mengalami kemajuan, sobatku Watson, ada kemajuan. Aku tadi sudah menyiapkan tujuh jurus untuk dapat melihat telegram itu. Tak kusangka kita sudah berhasil hanya melalui jurus pertama."
"Dan, apa yang kaudapatkan?" .
"Langkah awal bagi penyelidikan kita."
Dipanggilnya sebuah kereta.
"Ke Stasiun King's Cross," katanya.
"Kita mau naik kereta api?"
"Ya. Kurasa kita berdua perlu pergi ke Cambridge. Semua petunjuknya mengarah ke situ."
"Coba katakan padaku," pintaku ketika kami menyusuri Gray's Inn Road, "apa yang kaucurigai sebagai penyebab menghilangnya pemuda itu? Kasus-kasus yang kita tangani sebelumnya biasanya motifnya cukup jelas, tapi kali ini kabur sekali. Dan yang pasti, dia diculik bukan karena ada orang yang mau mencari informasi tentang kekayaan pamannya, kan?"
"Secara jujur, sobatku Watson, kemungkinan itu kecil sekali. Tapi aku sendiri sempat terkejut karena kemungkinan itu ternyata telah menarik perhatian pria tua yang menjengkelkan itu."
"Memang. Alternatif lain apa yang kaumiliki sekarang?"
"Ada beberapa. Kau pun akan setuju kalau kukatakan bahwa mencurigakan sekali musibah ini terjadi tepat pada malam sebelum pertandingan besar itu berlangsung, dan melibatkan pemain yang paling diandalkan tim Cambridge. Bisa jadi ini cuma kebetulan saja, tapi sungguh menarik. Olahraga amatir memang tak boleh dipertaruhkan secara resmi, tapi secara tak resmi banyak penggemar yang bertaruh di luar sana, dan mungkin saja sampai perlu menculik pemain sebagaimana yang dilakukan oleh para bajingan di pacuan kuda. Itu satu kemungkinan. Kemungkinan lain ialah dia diculik demi uang tebusan, sebab bagaimanapun juga dia adalah ahli waris yang sah dari seseorang yang kaya raya, walaupun gaya hidupnya saat ini sangat pelit."
"Kemungkinan ini tak ada sangkut pautnya dengan telegram yang kaubaca tadi."
"Benar, Watson. Tapi, bagaimanapun telegram ini satu-satunya petunjuk yang ada di tangan kita, jadi jangan kita kesampingkan. Kepergian kita ke Cambridge adalah dalam rangka menjajaki untuk apa telegram ini dikirim. Memang jalinan penyelidikan kita masih kabur, tapi aku akan sangat terkejut kalau sampai nanti malam kita masih juga belum mendapatkan kemajuan."
Hari sudah gelap ketika kami tiba di kota kuno tempat universitas terkenal itu berlokasi. Holmes memanggil kereta di stasiun, dan menyuruh kusirnya untuk mengantarkan kami ke alamat Dr. Leslie Armstrong. Beberapa menit kemudian kami berhenti di depan sebuah rumah besar yang megah di daerah jalan protokol yang sangat ramai. Kami dipersilakan masuk, dan setelah menunggu cukup lama, kami dibawa ke sebuah ruang praktek. Dokter yang ingin kami temui sedang duduk di belakang mejanya.
Aku sempat bergumul betapa aku telah lama meninggalkan profesiku sebagai dokter sehingga aku tak kenal dokter yang bernama Leslie Armstrong ini. Sekarang aku baru menyadari bahwa dia bukan hanya salah satu pemimpin fakultas kedokteran di universitas itu, tapi juga seorang pemikir ulung yang menguasai beberapa cabang ilmu pengetahuan, dan namanya sudah kondang di seluruh penjuru Eropa. Kalaupun orang tak tahu tentang prestasinya, dia tetap akan terkesan kalau bertemu dengan dokter yang satu ini—wajahnya persegi lebar, matanya tajam di bawah alis yang lebat, dan rahangnya kokoh bak granit cetakan. Orang ini benar-benar berkarakter kuat, berotak tajam, serius, tenang meyakinkan, hebat—begitulah kesanku terhadap Dr. Leslie Armstrong. Tangannya memegang kartu nama temanku, lalu dia menatap kami. Wajahnya yang cemberut memancarkan rasa kurang senangnya.
"Saya pernah dengar tentang nama Anda, Mr. Sherlock Holmes, dan saya tahu profesi Anda, yang terus terang sama sekali tak saya sukai."
"Kalau demikian halnya, Dokter, berarti Anda berada di pihak semua penjahat yang ada di negara ini," kata temanku dengan tenang.
"Sejauh usaha Anda bertujuan untuk meredam kejahatan, sir, pasti semua anggota masyarakat akan mendukung Anda, walaupun saya yakin bahwa petugas negara sebetulnya sudah cukup untuk mengatasi hal itu. Tapi Anda patut dikritik kalau Anda memangsa rahasia-rahasia pribadi orang, mengungkapkan masalah-masalah keluarga yang semestinya tak perlu diketahui orang lain, dan sering menyita waktu orang-orang yang lebih sibuk dari Anda. Seperti sekarang ini, misalnya, saya seharusnya menyelesaikan tulisan risalah saya dan bukannya malah berbincang-bincang dengan Anda."
"Kami mengerti, Dokter. Namun percakapan Anda dengan kami mungkin saja akan lebih penting artinya dari risalah Anda. Omong-omong, saya ingin memberitahu Anda bahwa apa yang sedang kami lakukan adalah kebalikan dari prasangka Anda terhadap kami, dan bahwa kami sedang berupaya agar publik jangan sampai tahu tentang suatu masalah pribadi yang sebaiknya dirahasiakan. Kalau kepolisian yang menangani kasus ini, justru akan tersebar luas dengan cepat. Anda anggap saja saya ini seorang petualang yang kebetulan melangkah lebih cepat dari pihak kepolisian. Saya datang kemari untuk menanyakan tentang Mr. Godfrey Staunton."
"Apa yang mau Anda tanyakan?"
"Anda kenal dengan dia, kan?"
"Dia teman dekat saya."
"Tahukah Anda bahwa dia telah menghilang?"
"Ah, benarkah?"
Ekspresi wajah dokter yang keras itu tak berubah sedikit pun.
"Dia meninggalkan hotelnya tadi malam. Sejak itu tak ada kabar beritanya."
"Nanti toh dia pasti kembali."
"Besok ada pertandingan rugby antaruniversitas."
"Saya tak bersimpati pada permainan-permainan anak kecil seperti itu. Nasib teman saya inilah yang saya pikirkan, karena saya kenal dia dan saya menyukainya. Sedangkan mengenai pertandingan rugby besok, saya sama sekali tidak peduli."
"Demi simpati Anda kepada teman baik Anda inilah saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Apakah Anda tahu di mana dia berada sekarang?"
"Tentu saja tidak."
"Anda tak menemuinya sejak kemarin?"
"Tidak."
"Apakah Mr. Staunton sehat-sehat saja?"
"Tentu saja."
"Pernahkah dia menderita sakil?"
"Tidak."
Holmes mengeluarkan sehelai kertas di depan mata dokter itu.
"Kalau begitu, tolong jelaskan kuitansi bernilai tiga belas guinea yang diterima Mr. Godfrey Staunton dari Dr. Leslie Armstrong bulan lalu. Saya mendapatkan kuitansi ini di antara surat-suratnya yang berhamburan di meja."
Wajah dokter itu memerah karena marah. "Menurut saya, saya tak punya keharusan untuk menjelaskan apa pun kepada Anda, Mr. Holmes."
Holmes memasukkan kembali lembaran bon itu ke dalam buku catatannya.
"Baiklah, tampaknya Anda lebih suka memberi penjelasan di depan umum. Cepat atau lambat kasus ini pasti sampai ke pengadilan," katanya. "Tadi sudah saya katakan kepada Anda bahwa saya mampu merahasiakan hal-hal yang oleh pihak lain akan disebarluaskan, dan akan lebih bijaksana bila Anda mempercayai saya."
"Saya tak tahu-menahu soal ini."
"Apakah Mr. Staunton menghubungi Anda dari London?"
"Tentu saja tidak."
"Wah, wah! Kantor pos lagi!" Holmes mengeluh dengan jengkel. "Ada telegram sangat penting yang dikirimkan kepada Anda dari London oleh Godfrey Staunton pada jam enam lewat seperempat kemarin malam—telegram ini jelas ada sangkut-pautnya dengan menghilangnya dia—tapi Anda mengaku tak menerimanya. Pasti telah terjadi kesalahan besar. Saya mau ke kantor pos untuk mengajukan keluhan tentang ini."
Dr. Leslie Armstrong melompat dari mejanya, dan wajahnya menjadi merah padam karena amarah yang meluap.
"Silakan keluar dari rumah saya, sir," katanya. "Katakan kepada yang membayar Anda, Lord Mount-James, bahwa saya tak sudi berhubungan dengan dia atau agen-agennya. Cukup, sir, tak perlu ngomong apa-apa lagi!"
Dia membunyikan bel dengan marah.
"John, antarkan orang-orang ini keluar."
Seorang kepala pelayan yang angkuh menggiring kami keluar dari rumah itu dengan kasarnya, dan tak lama kemudian kami sudah berada di jalan raya. Holmes lalu tertawa terbahak-bahak.
"Dr. Leslie Armstrong ini benar-benar penuh energi dan mantap pembawaan dirinya," katanya.
"Kalau bakatnya dimanfaatkan untuk hal-hal negatif, dia cocok sekali menggantikan kedudukan Profesor Moriarty yang termasyhur itu. Lihat, sobatku Watson, betapa malangnya kita, luntang-lantung tanpa teman, di sebuah kota yang tak ramah, yang payahnya tak akan kita tinggalkan sampai kasus kita terselesaikan. Rumah penginapan kecil tepat di seberang rumah Armstrong ini kebetulan sekali sangat menunjang rencana kita. Silakan kauminta satu kamar di bagian depan dan beli kebutuhan kita untuk nanti malam, aku akan mencari beberapa informasi dulu."
Beberapa informasi yang dimaksudkannya ternyata memakan waktu jauh lebih lama dari yang dibayangkan Holmes. Dia baru kembali ke hotel pada hampir jam sembilan malam. Penampilannya kuyu dan pucat, berlumuran debu, serta kelaparan dan kelelahan. Ada makanan dingin yang sudah siap di meja, dan setelah makan dan mengisap pipa, sebagaimana biasanya, dia pun siap untuk merenungkan kasusnya yang berantakan ini. Dia baru bangkit untuk menengok ke bawah lewat jendela ketika didengarnya ada suara kereta mendekat. Kereta berkuda dua itu terlihat dengan jelas di bawah sinar lampu gas di depan pintu rumah Dokter di hadapan kami.
"Kereta itu pergi selama tiga jam," kata Holmes, "tadi berangkat jam setengah tujuh, dan baru kembali sekarang. Jadi kereta itu telah menempuh jarak enam belas atau sembilan belas kilometer, dan itu dilakukannya tiap hari, bahkan kadang-kadang dua kali dalam sehari."
"Bukan hal yang aneh, kan, bagi seorang dokter yang praktek ke luar."
"Tapi Armstrong ini bukan dokter yang buka praktek. Dia itu seorang dosen dan pakar ilmu kedokteran, dan dia tak pernah berminat untuk buka praktek, dengan alasan akan mengganggu pekerjaan menulisnya. Jadi, untuk apa dia sering bepergian jauh seperti ini? Bukankah perjalanan sejauh itu cukup menjemukan? Dan, siapa gerangan yang ditemuinya?"
"Kusirnya..."
"Sobatku Watson, perlukah kauragukan lagi bahwa dialah yang pertama-tama kutanyai? Aku tak tahu apakah dia memang galak atau karena didorong oleh tuannya, tapi yang jelas dia telah tega melepaskan seekor anjing untuk mengusirku. Namun baik anjing maupun manusia semuanya takut pada tongkatku, dan percakapan kami berakhir sampai di situ. Tertutup pula kemungkinan bagiku untuk menanyai pelayan-pelayan lain. Hanya ada satu informasi cukup penting yang kudapatkan dari penduduk sini. Aku bertemu dengannya di halaman depan penginapan ini. Dialah yang menceritakan tentang kebiasaan-kebiasaan dan jadwal kepergian dokter itu setiap hari. Bersamaan dengan itulah, kereta Dokter dibawa ke depan pintu rumahnya, siap untuk berangkat."
"Kau tidak berhasil membuntutinya?'
"Bagus, Watson! Malam ini kau luar biasa. Aku memang bermaksud membuntutinya. Kaulihat, ada toko sepeda di sebelah penginapan ini. Aku berlari ke sana, menyewa sepeda, dan berhasil membuntuti kereta itu sebelum menghilang di kejauhan. Tak lama kemudian aku sudah semakin dekat dengan kereta itu, dan aku sengaja menjaga jarak sekitar seratus meter di belakangnya Aku terus mengikutinya sampai ke luar kota. Ketika kami melaju di jalanan pedesaan, sesuatu yang agak memalukan terjadi. Kereta itu tiba-tiba berhenti, Dokter turun, berjalan dengan cepat mendekatiku yang juga telah menghentikan ayunan sepeda yang kutumpangi. Dengan sengit dia mengatakan bahwa berhubung jalanannya sempit, dan supaya keretanya tidak menghalangi sepedaku, aku dipersilakan lewat dahulu. Kagum aku atas kecerdikannya! Aku langsung melaju melewati keretanya, dan sesampai di jalan raya, aku melanjutkan perjalanan sejauh beberapa kilometer, lalu berhenti di suatu tempat yang cocok untuk menunggu apakah keretanya akan lewat situ juga. Ternyata kereta yang kutunggu-tunggu tak kunjung lewat, jadi jelaslah bahwa kereta itu telah membelok ke salah satu jalan yang tadi kulewati. Aku berbalik, tapi tak menemukannya di mana mana. Dan kini, kereta itu kembali tak lama setelah aku tiba di penginapan. Tentu saja aku tak punya alasan khusus untuk menghubungkan perjalanan Dokter dengan menghilangnya Godfrey Staunton. Aku cuma penasaran karena pribadi Dr. Armstrong ini sangat menarik perhatianku. Tapi setelah aku tahu bahwa dia sangat waspada terhadap kemungkinan adanya orang yang membuntuti kepergiannya, hal ini jadi semakin penting, dan aku takkan puas sebelum berhasil menyelesaikan masalah ini hihgga tuntas."
"Kita bisa membuntutinya besok."
"Bisakah? Kaupikir mudah? Kau tak tahu bagaimana keadaan lingkungan di Cambridgeshire, kan? Tak ada tempat yang bisa dipakai untuk bersembunyi. Jalan yang kulewati tadi datar dan kosong bagaikan telapak tanganmu. Lagi pula, orang yang ingin kita buntuti ini bukan orang bodoh, terbukti tadi! Aku sudah menelegram Overton untuk menanyakan perkembangan-perkembangan yang terjadi di London, dan kalau ada balasan agar dikirimkan ke alamat penginapan ini. Sementara itu, kita hanya bisa mengawasi Dr. Armstrong, yang namanya tercantum sebagai pihak yang dituju oleh telegram dari Staunton itu. Dia pasti tahu pemuda itu berada di mana saat ini—aku berani taruhan—dan kalau dia tahu, salah besar kalau kita sampai tak berhasil mengetahuinya. Sekarang ini, kita harus mengakui bahwa dia berada di atas angin, dan sebagaimana kauketahui, Watson, aku tak pernah membiarkan keadaan seperti itu."
Namun hari berikutnya pun tak membawa kemajuan apa-apa bagi misteri yang sedang kami tangani. Sepucuk surat kami terima setelah makan pagi, yang disodorkan oleh Holmes kepadaku sambil tersenyum simpul. Begini bunyi surat itu: