Tinggi peti mati ketika sedang diletakkan secara horizontal adalah mencapai pinggang Laylaa, membuat gadis itu tidak dapat melihat dengan jelas dari posisinya saat ini. Merasa tidak puas karena tidak bisa mengamati dengan jelas, Laylaa menumpukan tangannya dan melompat masuk ke dalam peti hanya untuk dapat melihat dari dekat.
Tampan. Laylaa langsung memutuskan setelah meneliti wajah lelaki di depannya. Ah, tidak ... keindahan seperti ini lebih tepat jika dikatakan rupawan.
Tanpa memedulikan situasi atau bahaya, Laylaa dengan seenaknya memposisikan dirinya duduk dengan nyaman di atas perut sosok yang dia anggap sebagai mayat itu, sebelum kemudian kembali memperhatikan.
Wajah sosok itu terpahat bagus, seolah diukir dengan ketelitian dan kasih sayang. Ciri-cirinya menunjukkan ketampanan dari seorang lelaki dewasa yang sering Laylaa lihat pada lukisan-lukisan era abad tujuh belas atau delapan belas yang orang-orang katakan sebagai sosok penguasa hasil dari imaginasi mereka.
Alis mata tebal dengan tulang pipi yang tinggi membuat sosok itu terlihat bengis dan kejam. Bentuk hidungnya mancung dan memiliki tulang lurus nyaris kaku. Bulu matanya tebal dan panjang hingga membuat Laylaa iri. Sayang sekali kelopak matanya tertutup, karena Laylaa penasaran akan warna bola matanya. Apakah akan berwana terang, atau sehitam rambutnya?
"Hmm ... wajah ini memang benar-benar pesta untuk mata."
Kulit lelaki ini berwarna putih, atau lebih tepatnya pucat. Mirip seperti warna mayat yang terdapat di lemari pendingin rumah sakit. Namun, warna putih itu entah bagaimana tampak tidak mati, sebaliknya, itu terlihat menarik karena bibirnya yang tipis sewarna dengan mawar merah.
Setetes darah ... di tengah hamparan salju.
Laylaa mendadak memikirkan kalimat puitis itu karena keindahan di depan matanya. Gadis itu mentertawakan kekonyolannya, hampir melupakan keadaannya yang saat ini sedang terpisah dari teman-temannya. Menurut Laylaa, satu-satunya hal yang mengganggu di wajah itu adalah bayangan ungu samar di bawah matanya, yang sebenarnya juga mengingatkan Laylaa jika sosok ini adalah orang mati.
"Sayang sekali," gumam Laylaa. "Betapa menyenangkannya jika dapat melihat sosok indah seperti ini bergerak dan bernapas."
Laylaa kemudian menunduk, menatap ke arah tangan sang lelaki yang terlipat rapi di atas dadanya. Ia mengusap cincin bertahtakan batu rubi di telunjuk kanan lelaki itu sebelum sebuah senyuman usil terlukis pada wajahnya. Laylaa meraih tangan kanan lelaki di depannya, kemudian membungkuk dan mengecup punggung tangan yang terasa dingin pada bibirnya itu.
"Berdansa denganku, wahai Pangeran?"
Laylaa beradegan selayaknya para bangsawan yang hendak mengajak seorang gadis berdansa di pesta-pesta debut atau perayaan kalangan atas pada abad lampau. Namun dia pasti akan menjadi putri bangsawan yang memalukan karena dengan berani mengajak seorang lelaki berdansa lebih dulu.
Gadis itu tiba-tiba terkekeh geli sambil kembali meletakkan tangan sang lelaki ke tempatnya semula, hingga dia akhirnya menyadari jika tubuh itu sama sekali tidak kaku selayaknya orang yang telah mati. Mata Laylaa melirik kembali ke arah wajah sosok itu, menatap lekat di sana.
Kira-kira sudah berapa lama lelaki ini meninggal? Jika dilihat dari bangunan kastel, ini tidak berasal dari abad tujuh belas atau delapan belas. Laylaa menduga jika lelaki ini mungkin berasal dari abad yang jauh lebih lama. Tapi, mengapa mayat ini tidak membusuk? Atau setidaknya mengeriput seperti mumi-mumi yang pernah dia lihat.
"Apakah mereka menemukan metode pengawetan mayat yang sudah sangat maju?" Laylaa bertanya penasaran.
Membungkukkan tubuhnya pada wajah lelaki yang masih tetap menjadi alas duduknya itu, Laylaa menghirup udara sejenak dan terkejut ketika menyadari jika aroma harum yang sebelumnya dirinya hirup ternyata berasal dari tubuh tak bernyawa di bawahnya ini.
Bukankah seharusnya mayat beraroma seperti mayat? Jika tidak berbau busuk, maka seharusnya beraroma zat pengawet seperti di rumah sakit. Tapi ini, bagaimana mungkin aroma lelaki ini begitu lezat?
Laylaa memakukan tatapannya pada wajah itu sekali lagi, dan tanpa sengaja matanya menatap ke arah bibir berwarna merah yang begitu menggoda.
Apakah lelaki ini akan terbangun jika aku menciumnya?
Bukankah di dalam sebuah dongeng pernah ada adegan seperti itu? Siapa tahu saja lelaki ini juga akan terbangun setelah dicium. Seperti Aurora yang membuka matanya setelah dicium sang pangeran tampan, atau Snow White yang kembali hidup setelah mendapatkan ciuman cinta sejatinya.
Apakah aku harus melakukannya?
Jangtung Laylaa yang berdentam nyaring ternyata telah memberikan jawaban lebih dulu. Menyuruhnya untuk melakukan hal yang barusan terlintas di pikirannya. Bukan karena mungkin saja hal itu dapat terjadi, melainkan karena dirinya ingin mencoba mencium lelaki itu.
Bagaimana rasanya mencium mayat yang tampan? Laylaa bertanya-tanya dalam hati.
Jika saat ini ada orang lain yang mendengar pikiran Laylaa, mereka pasti tanpa keraguan mengatakan jika gadis ini memang sudah gila dan menyarankannya untuk segera memeriksakan diri. Namun untuk Laylaa sendiri, jika dia ingin menolak pemikiran itu pun, apalah daya ketika ternyata jantungnya memiliki kehendak berbeda seolah ada pemilik selain dirinya.
Wajah Laylaa semakin mendekat ke arah wajah sosok itu, dia berhenti sejenak ketika ujung hidungnya menyentung ujung hidung sang lelaki. Sesaat Laylaa kembali bimbang, apakah dirinya boleh melakukannya? Apakah ini dapat dikatakan mengambil kesempatan dengan sengaja? Mencuri ciuman?
Sisi dirinya yang masih waras tentu saja secara terang-terangan menolak dan mencegah Laylaa agar tidak melakukannya. Karena demi Tuhan, ini sesuatu yang aneh! Namun bagian dirinya yang lain—sisi yang sepertinya jauh lebih dominan—menghasut Laylaa untuk melakukannya. Bahkan suara sialan itu mengatakan jika tidak ada salahnya Laylaa mencoba. Orang yang akan dia cium juga tidak akan tahu.
Laylaa mendengus sebelum berkata, "Lelaki tampan sialan," Ia mencolek hidung lelaki itu dengan genit."kenapa kau harus terlihat begitu menawan dan menggoda? Siapa yang ingin kau rayu dengan wajahmu itu, hmm? Penunggu rumah ini?" Laylaa berbicara tepat di depan bibir sang lelaki, dengan kedua tangannya yang kini bertumpu pada dada sosok itu.
Posisi itu terlalu provokatif. Dari sudut mana pun orang melihat, Laylaa akan dipandang sebagai penyerang. Tapi satu-satunya yang ada dalam pikiran Laylaa saat ini adalah; kalau sudah dalam keadaan seperti ini, maka tidak seharusnya dilakukan setengah-setengah, bukan?
Jadi ....
Otak Laylaa baru saja memikirkan bagaimana seharusnya dirinya bertindak, namun ternyata tubuhnya sudah lebih dulu bergerak.
Ya, Laylaa mencium lelaki itu. Tepat di bibirnya yang sedari awal memang sudah membuat Laylaa tergoda untuk mencicipinya. Sensasi dingin yang Laylaa dapatkan dari bibir itu ternyata terasa menyenangkan, membuatnya lupa jika saat ini yang tengah diciumnya itu adalah mayat.
Di sudut yang gelap, beberapa sosok tampak berdiri kaku di balik bayangan. Mereka saling pandang, sementara yang lain masih terpaku ke arah Laylaa yang berada di dalam peti mati.
Salah seorang dari mereka tiba-tiba membuka mulutnya dan berkata dengan geraman, "Gadis ini terlalu berani." Ia tersenyum jahat, menatap marah pada Laylaa yang telah berani mencium lelaki di dalam peti mati itu.
●●●
Skia
(22 Iulie 2016)
Revisi (10 Ianuarie 2018)
KAMU SEDANG MEMBACA
Va in Soarta ✓ [TERBIT]
FantasyVA IN SOARTA (DIHAPUS!) Namanya Laylaa, seorang gadis cantik yang memiliki hobi tidak biasa. Penyuka hal baru, pemburu bahaya dan pecandu adrenalin. Bagi Laylaa, hidup tidak seharusnya hanya dilalui dengan jalan biasa saja. Ada begitu banyak hal ya...