Aku berlari dengan cukup kencang, menerobos angin musim gugur yang mulai menusuk tulang. Tujuanku kini hanya berlari. Berlari ke tempat yang sepi dimana tidak ada seorangpun yang bisa melihatku saat ini. Tapi nyatanya aku berlari tidak lebih jauh dari seekor siput air. Tetap masih di kawasan Universitan Enma. Dan masih tetap menangis...
"Kau habis patah hati, kan?"
Seseorang datang dan menepuk bahuku dengan lembut. Tapi aku sama sekali tidak berniat menggubrisnya. Tetap berdiri di bawah pohon maple dengan kedua tangan menutupi wajahku yang penuh air mata.
"Aku juga habis patah hati," aku bisa merasakan kalau tubuh orang itu juga bergetar karena tangannya sedari tadi belum beranjak dari bahuku. Mungkin dia juga sedih dan merasakan... sakit.
"Kau dan aku sama-sama habis patah hati. Jadi, bagaimana kalau kita pacaran saja? Saling melengkapi dan menghibur satu sama lainnya."
Aku merasa itu adalah tawaran terbodoh yang pernah ku dengar. Dan aku yang menyetujuinya mungkin lebih bodoh lagi.
"Baiklah. Kita pacaran untuk masa depan kita."
.
.
.
"Ada apa?" Hinata mengerutkan alisnya saat tiba-tiba Naruto menghampirinya dan menatap langsung wajahnya. Beberapa mahasiswa yang belum keluar dari kelas itupun menyempatkan diri menonton keromantisan pasangan yang menurut banyak mahasiswi paling harmonis di universitas Enma tersebut.
Cengiran Naruto bertambah lebar saat Hinata mulai ketakutan dengan jarak wajah Naruto yang makin mendekati wajahnya. "A-ada apa, sih?"
"Ternyata benar kata Kiba. Kalau diperhatikan lebih teliti, kau memang imut Hinata."
Blush!
Hinata tidak bisa lagi menahan rona merah di wajahnya. Entah apa maksud Naruto mengatakan hal itu padanya, yang pasti Hinata tidak akan mau lagi membayarkan hutang Naruto pada Pak Teuchi, pemilik kedai ramen langganan kekasihnya itu.
"Hari ini aku tidak bisa membayar hutangmu, Naruto," akhirnya Hinata menarik kesimpulan kalau Naruto sedang lapar dan ingin makan ramen. "Dan tolong jangan ganggu aku sekarang. Aku benar-benar dikejar deadline," keluh Hinata. Gadis Jepang tulen itu memang seorang novelis yang karyanya cukup digemari oleh remaja-remaja sekarang. Sayangnya, Hyuuga Hinata sang novelis yang dikenal penggemarnya berbeda 360 derajat dengan Hyuuga Hinata, mahasiswi yang kuliah di universitas Enma.
"Kenapa kau malah bilang begitu, sih?" Naruto pura-pura merajuk. "Aku malah ingin mentraktirmu makan di restoran Perancis."
"Eh?" Hinata menghentikan kegiatannya yang sedari tadi berusaha fokus mengetik naskah novelnya. "Tumben. Memangnya ada apa?"
"Ikut saja," cengiran Naruto kembali menghiasi wajahnya dengan sempurna.
"Awas kalau nanti aku yang bayar," Hinata mengancam seraya memasang wajah murka yang di buat-buat.
"Itu tidak akan terjadi, kok!"
.
.
.
Hinata sudah menduga kalau hal ini akan terjadi. Hal buruk yang membuatnya selalu jengah karena harus melihat ekspresi ceria Naruto yang terlalu dibuat-buat. Ia tahu pemuda itu ingin menangis saat ini, hal itu terbukti dengan menguatnya genggaman tangan Naruto pada tangan mungil Hinata. Masalah lainnya, kedua orang yang-tidak-tahu-diri di hadapannya dan Naruto kini masih betah berbasa-basi ria.
"Tanganku sakit, Baka ..." bisik Hinata geram. Naruto melirik Hinata dari sudut matanya. Kedua mata biru cerah itu mengiba.
"Sebentar saja ... sampai aku merasa tenang."
Entah kenapa Hinata jadi tidak tega.
"Jadi, itu pacarmu, Naruto?" gadis cantik dengan rambut pink yang dikuncir satu itu tersenyum menggoda pada Naruto. "Cantik. Kau pintar memilih pacar ternyata."
"Ya, boleh juga," kini lelaki berkulit pucat yang duduk di samping gadis berambut pink itu menyahut seraya tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Salam kenal, Hyuuga-san."
Hinata mengangguk formal sambil berusaha melengkungkan bibirnya, mencoba membentuk sebuah senyuman. Sayangnya itu malah membuat ekspresi Hinata terasa semakin kaku.
"Tidak usah tegang, Hinata," sepasang emerald itu menatap Hinata dengan ramah. "Kami teman Naruto, berarti juga temanmu, kan?"
Hinata mencoba kembali tersenyum. Sayangnya usaha itu kembali gagal total.
"Ahaha... pacarku ini memang agak kikuk!" Naruto tertawa seraya menepuk punggung Hinata keras-keras.
Hinata menggeram marah. "Apa yang kau lakukan, Baka!" Hinata berbisik penuh nada ancaman. Naruto kembali nyengir ke arah Sakura dan Sai lalu memeluk pinggang Hinata se-erat mungkin. "Please, bantu aku ..." Naruto balas berbisik.
Hinata terpaksa membiarkan Naruto terus berceloteh dengan topeng kebahagiaannya itu. Jika tahu kedatangannya ke restoran Perancis ini hanya untuk membantu Naruto bersandiwara di depan Sakura, orang yang sangat dicintai Naruto, sudah pasti Hinata bakal menolaknya mentah-mentah.
Tapi yang lebih menusuk perasaannya adalah ekspresi Naruto yang serba palsu. Senyumannya, tawanya, raut wajahnya. Semuanya hanya sandiwara. Akting untuk menyembunyikan betapa hancur perasaannya saat ini. Dan entah mengapa Hinata ikut merasakan hal yang sama.
"N-Naruto-kun ..." Hinata terpaksa ikut andil dalam sandiwara ini. "P-pulang, yuk ..."
"Eh? Sekarang?" Hinata mengangguk seriang mungkin sedang Naruto sendiri mengirim sinyal lewat kedua matanya.
'Apa maksudmu, sih?'
'Aku tidak tahan lagi! Pulang sekarang, atau kita putus!'
Naruto terpaksa menuruti keinginan Hinata. "Eh, aku dan Hinata pulang duluan, ya? Soalnya sudah ada rencana lain sore ini."
"Lho, kok cepat banget?" Sakura terlihat tidak rela tapi akhirnya tersenyum. "Ya, sudah. Hati-hati, ya? Kapan-kapan kita reunian lagi berempat."
"Pasti!" sahut Naruto penuh semangat. Setelah itu Naruto pergi dengan di seret paksa oleh Hinata menuju tempat parkir.
"Aku benar-benar tidak mengerti," Hinata berkata lirih. Kini mereka berdua sudah berada di samping motor merah milik Naruto. "Kalau mau bertemu mereka, seharusnya kau tidak perlu mengajakku. Dan lagi, kau seharusnya menyiapkan mentalmu. Aku jengah melihat ekspresi palsumu itu."
Naruto terdiam dengan kunci motor di tangan kanannya. Ia tahu, mungkin ini terlalu egois. Tapi sayang hatinya terlalu bersikeras untuk mengajaknya bertemu Sakura. Orang yang selalu ia cintai.
"Oh ya, jangan lagi mengiba padaku," Naruto mengerutkan keningnya saat melihat Hinata yang membelakangi dirinya. "Itu membuat hatiku terasa... aneh."
"Memangnya aku tadi mengiba, ya?" Naruto bertanya dengan polos membuat Hinata tertawa geli mendengarnya.
"Baka," Hinata mencubit pelan lengan kekar Naruto. "Kau itu terlalu naif."
"Naif?"
"Sudahlah. Cepat antar aku pulang."
.
.
.
Hinata's Pov
Aku mengeratkan pelukanku pada tubuhnya dan menyandarkan kepalaku pada punggungnya yang hangat. Dulu, saat masih SD, Naruto adalah teman sekelasku yang tubuhnya paling pendek. Entah sejak kapan tubuh pendek itu meninggi hingga merubah sosoknya yang terlihat bodoh menjadi pria hangat yang penuh kharisma.
Motor merah yang kami naiki bergerak dengan kecepatan stabil, tapi aku tetap tidak ingin melepas pelukanku pada tubuh tegapnya. Aku menyukai bau tubuhnya yang maskulin dan rambut pirangnya yang terlihat bergerak indah tertiup angin. Dan aku iri pada Sakura, gadis yang sejak dulu selalu memenuhi hatinya. Hanya dia. Dan sama sekali tidak ada ruang kosong lagi untukku.
"Kau kenapa Hinata? Kedinginan?"
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Mungkin dia heran kenapa aku begitu erat memeluk tubuhnya saat ini.
Seandainya dia tahu kalau aku menerima tawarannya untuk berpacaran karena aku cinta padanya, mungkin semua ini hanya akan jadi impianku saja.
Mungkin ini egois. Tapi aku akan berusaha untuk menunggu lagi.
"N-Naruto-kun ..."
"Hah? Kau memanggilku apa?"
"Tidak. Bukan apa-apa."
Bahkan sampai sekarang aku masih takut memanggilnya 'Naruto-kun'.
"Oh ya, Hinata! Kudengar dari beberapa mahasiswa, kau dulu katanya sangat pemalu dan gagap saat bicara?"
Kenapa dia malah mengungkit hal itu?
"M-memangnya kalau benar, kenapa?" tanpa sadar aku kembali tergagap karena malu. Padahal sejak dulu aku berusaha menghilangkan kebiasaan ini agar bisa dekat dengan Naruto. Ini konyol.
"Ternyata memang benar," Naruto tertawa. Sayang aku tidak bisa melihat ekspresinya saat ini. "Tapi menurutku, mau tegas atau pemalu, kau tetap manis Hinata."
Aku tidak mengerti. Untuk apa lagi dia mengatakan hal seperti itu. Membuatku terlalu berharap lebih padanya.
"Gombal."
"Gombal?"
Tuh, dia bahkan tidak sadar kalau kata-katanya tadi lebih mirip gombalan.
"Hal yang ku katakan tadi, kan kenyataan. Kenapa kau bilang aku gombal?"
Aku semakin menenggelamkan wajahku pada punggungnya yang dilapisi jaket orange-hitam favoritnya. Mencoba menyembunyikan rona merah yang muncul di kedua pipiku. "Sudahlah, lupakan saja."
"Maaf, aku lupa berterima kasih padamu."
"Untuk apa?"
"Tadi, saat di restoran ..."
Aku tersenyum. Tapi entah mengapa perasaanku terasa hampa. Kosong. Semuanya terlalu menyakitkan.
"Itukan sudah kewajibanku sebagai pacarmu."
Dan Naruto kembali tertawa.
"Ah, ya. Itu alasan kita untuk saling mengikat hubungan."
Benar. Tidak ada cinta dalam hubungan ini. Semuanya hanya kepura-puraan yang terlalu dipaksakan.
End of Hinata's Pov
-:-
"Kyaaaa, coba lihat lelaki itu! Dia tampan banget!"
"Style-nya juga bagus!"
"Eh, bukannya dia itu putra bungsu Uchiha Fugaku?"
"Apa? Uchiha Fugaku?"
"Kyaaaa, tampan dan elit!"
"Berarti dia salah satu pewaris Uchiha Corp, kan?"
"Tentu saja! Dia kan si jenius dari keluarga Uchiha yang merupakan bangsawan terkaya di Jepang."
"Aku ingin jadi pacarnya!"
"Jangan mimpi, deh!"
Suasana universitas Enma kala itu terlihat lebih ramai dan berisik daripada biasanya. Beberapa mahasiswi yang tidak mendapat jam kuliah pagi terdengar makin menggila dengan suara mereka yang saling bersahut-sahutan. Semua kebisingan itu terhenti sejenak saat seorang gadis menerobos jalur karpet merah sang bungsu Uchiha yang tengah berjalan dengan arogansinya yang tinggi menuju gedung utama universitas Enma.
Gadis itu awalnya berjalan dengan tergesa-gesa, tapi di detik ke-25 ia mempercepat langkahnya hingga akhirnya berlari. Berlari, tanpa melihat siapa yang ada di dihadapannya hingga peristiwa memalukan itu terjadi.
"Apa yang kau lakukan?" suara itu mengalun halus dengan dingin dan intonasi yang datar. Uchiha itu tidak terjatuh, tapi gadis dengan kedua mata yang unik itu terpaksa merelakan ponsel kesukaannya hancur karena terlepas dari tangannya saat menabrak pemuda itu.
Ponsel itu jatuh. Hancur. Hinata tidak mempermasalahkan harganya, tapi ia menyesali kecerobohannya karena ponsel itu adalah hadiah ulang tahun dari ayahnya. Banyak kenangan dalam ponsel itu yang berhasil membuat Hinata ingin menangis saking merasa bersalahnya.
"P-ponselku ..." Hinata meratapi rongsokan yang tadinya adalah ponselnya. Kedua matanya berlinang air mata dan Uchiha tampan di hadapannya membeku.
Yang salah gadis itu, kan? Kenapa peristiwa ini terjadi seakan-akan ialah sang penjahatnya?
"Berhentilah menangis. Kau membuatku malu."
Hinata tetap menangis seraya memeluk rongsokan ponselnya dengan erat. Semua orang yang tadi menyambut Sasuke dengan rasa bahagia kini mulai saling berbisik satu sama lainnya.
"Bangunlah! Aku akan mengganti ponselmu dengan yang lebih mahal."
Gagal. Hinata masih tetap menangis. Kini tubuhnya bahkan bergetar hebat.
"Akan ku perbaiki sampai kembali seperti semula."
Hinata mendongak, menatap pemuda tampan itu dengan kedua matanya yang terlihat berkaca-kaca. "B-benarkah?"
"Ya."
"T-terima k-kasih!" Hinata mengucapkan terima kasih dengan gagap dan wajah yang memerah karena tangisan tadi. Ia merasa bersyukur karena foto Hanabi, adik perempuan kesayangannya yang sudah lama meninggalkan dunia akhirnya bisa selamat dan ia bisa menatapnya kembali nanti. Foto itu adalah foto terakhir Hanabi yang masih selamat di galeri ponselnya setelah ayahnya membakar habis foto Hanabi yang ada di dalam rumah.
Sasuke, pemuda Uchiha yang arogan itu terpaksa menerima rongsokan ponsel Hinata dengan berat hati. Ia berusaha sabar untuk menjaga imej dan popularitasnya di universitas barunya ini.
"Ah, maaf! Aku ada janji dengan kekasihku. Sekali lagi terima kasih, Uchiha-san."
Dan Hinata pergi, meninggalkan Sasuke yang mengumpat kesal atas kejadian barusan.
-:-
Universitas Enma bukanlah universitas terbaik di Jepang. Tentu saja ia kalah dari Todai yang mematok standar nilai yang tinggi untuk para mahasiswanya. Alumninya biasa-biasa saja. Tidak ada yang menarik dari universitas itu. Seharusnya, begitu tapi semua pendapat barusan terhapus sudah setelah Uchiha Sasuke masuk ke sana sebagai orang paling berperan dalam perekonomian Jepang.
Hinata segera keluar dari kelasnya setelah jam kuliahnya berakhir untuk hari ini. Ia harus segera menuju halaman belakang universitasnya untuk kembali melanjutkan naskah novelnya yang tertunda sekaligus menunggu Naruto untuk kembali pulang bersama. Ia dan Naruto memang mengambil jurusan yang berbeda, tapi tetap menyempatkan diri untuk terus bersama walaupun ikatan mereka tidak didasari dengan cinta.
Suara beberap burung yang berkicau merdu dan desiran angin musim semi yang membawa wangi bunga Sakura membuat Hinata di serang kantuk luar biasa. Hinata baru ingat bahwa tadi malam ia kembali lembur untuk menyelesaikan bab ke-5 dari novel yang baru dirilisnya. Dan saat kedua matanya hampir tertutup rapat, Naruto datang dan menghancurkann ketenangan di sana.
"Sudah lama menungguku, ya?"
Hinata hanya mengangguk walau sebetulnya ia belum terlalu lama menunggu Naruto lalu mengangkat kedua tangannya keatas, berniat merenggangkan tubuhnya yang sempat kaku. "Ayo pulang."
Naruto mengangguk seraya memainkan kunci motornya pada jari telunjuknya. Hinata mengikuti dengan pandangan yang sayu. Kantuk kembali menyerangnya.
Mereka memutari universitas Enma untuk menghampiri tempat parkir yang ada di halaman depan universitas. Saat Naruto bersiap untuk menyalakan motor kesayangannya itu, Sakura muncul dan langsung memeluknya dengan tangisan yang memilukan.
"N-Naruto!" isaknya parau. "Sai berselingkuh dengan Ino di belakangku!"
Detik itu juga kantuk Hinata hilang dalam sekejap.
"Tenanglah Sakura-chan."
Dan Naruto membalas pelukan gadis cantik itu seraya mengelus puncak kepalanya dengan lembut. "Ayo, kita jalan-jalan sebentar."
Sakura hanya mengangguk patuh. Naruto menolehkan kepalanya pada Hinata yang masih terdiam di tempatnya. "Maaf, Hinata. Aku tidak bisa mengantarmu pulang hari ini."
"T-tidak apa-apa."
Bohong. Hinata merasakan kalau hatinya kembali terasa kosong dan perih.
"Syukurlah. Kalau begitu aku dan Sakura-chan akan pergi sebentar. Setelah sampai di rumah aku akan meneleponmu."
Hinata hanya mengangguk lemah.
Dan mereka pergi. Hinata tahu ia tidak akan bisa melakukan apapun. Karena itu ia memilih untuk melepaskan pemuda itu bersama gadis yang memang ia cintai.
"Sekarang ... bagaimana caraku pulang?"
"Hyuuga, ponselmu sudah ku perbaiki."
Pemuda Uchiha itu kembali muncul di depan Hinata dengan wajahnya yang tanpa ekspresi.
"Cepat masuk ke mobilku. Kita akan segera mengambilnya di toko tempatku memperbaiki ponselmu."