SHOURAI CHAPTER 4 ( I Love You)

448 29 3
                                    

Di usianya yang ke-60 tahun, wanita asal London yang memiliki darah Jepang dalam tubuhnya tersebut masih tetap terlihat anggun dan rupawan. Rambutnya yang panjang dengan warna pirang yang mencolok di sanggul rapi dan kedua bola matanya yang violet terus menatap ke depan dengan dagu yang terangkat. Langkahnya tenang penuh wibawa. Dan kharismanya sungguh luar biasa. Bibir tipisnya yang tersapu lipstik dengan warna merah pekat membentuk sebuah senyuman penuh misteri saat seorang gadis yang memiliki ciri fisik hampir sama dengannya muncul dengan wajah di penuhi ekspresi cemas dan ketakutan berlebihan.
"S-selamat datang."
Senyum di wajah wanita itu kian menipis, terganti dengan seringai kecil yang cukup singkat. "Hyuuga Hinata?"
"Y-ya..." Hinata, gadis itu akhirnya memberanikan diri menatap wanita cantik di hadapannya. "...Obaasan."
.
.
.
"Naruto?"
"..."
Sakura menautkan kedua alisnya, heran dengan sikap aneh Naruto beberapa menit ini. Ia cukup senang saat tadi Naruto menelepon dan mengajaknya ke sebuah kafe kecil untuk sarapan. Tapi melihat Naruto yang sedari tadi tidak merespon satupun kata-katanya, ia mulai merasa cukup jengah. "Kau kenapa, sih?"
"..."
Masih seperti tadi. Diam, melamun. Dengan pandangan kosong.
"Kalau kau tidak mau bicara, aku akan pergi!"
Naruto sontak menahan lengan Sakura yang akan beranjak pergi dengan erat. Pandangannya kian menggelap. "Kumohon, duduklah. Aku... ingin bicara sesuatu."
Sakura akhirnya kembali duduk di kursinya. Suasana kafe yang saat itu masih cukup sepi membuat suasana di sana cukup mendukung Naruto untuk mengatakan sesuatu.
"Aku memutuskan hubunganku dengan Hinata."
Sakura kini bingung harus merespon seperti apa. Di satu sisi ia ingin merasa sedih dan memarahi Naruto karena memutuskan gadis baik seperti Hinata. Tapi di sisi lain, ia justru merasa sangat... senang?
"Baka! Kenapa kau memutuskan hubungan kalian? Hinata itu gadis yang baik!"
"Karena itu. Dia terlalu baik untukku."
"Kau juga baik untuknya..." Sakura mengepalkan tangannya yang berada di bawah meja. "Kalian berdua sama-sama orang yang terlalu baik."
"Tidak. Aku sama sekali bukan orang yang baik."
"Apa maksudmu, Naruto?" Sakura memberanikan diri menyentuh tangan Naruto yang berada di atas meja.
"Aku sangat... egois."
.
.
.
Sasuke membiarkan Hinata bersandar pada dadanya yang bidang. Kedua lengan kekarnya ingin merengkuh tubuh mungil gadis itu, tapi sikap arogannya kembali menghalangi. Selain itu ia tidak memiliki alasan khusus untuk menghibur gadis itu. Tidak. Karena ia tidak mencintai gadis berambut gelap itu. Setidaknya belum untuk saat ini.
"Sudah puas? Kau membuat kemejaku basah."
"..."
"Ck, cepat lepas!"
Hinata mencengkram kemeja Sasuke dan mengadahkan wajahnya yang sembab. Kedua matanya memerah dengan air mata yang masih tetap mengalir di kedua pipinya. Tatapannya sendu. Dan Sasuke tahu kalau gadis di hadapannya itu tengah merindukan 'mantan kekasihnya'. Sangat. Tapi Sasuke harus berusaha untuk tidak peduli.
Hinata kembali menatap kedua mata hitam pekat milik Sasuke. Mengunci pandangan mereka untuk beberapa saat.
Dan saat itu Sasuke merasa perasaanya bergejolak. Aneh. Dan... tidak biasa.
"Kau..." Hinata berkata dengan suara serak. "Ikutlah denganku ke London."
Sasuke kembali membeku di bawah tatapan penuh duka milik Hinata. Gadis itu berusaha tegar. Setelah beberapa menit berbincang dengan sang nenek, Hinata akhirnya memutuskan untuk mengambil sebuah keputusan yang harus ia jalani. Mungkin itu demi ibunya, ayahnya, sepupunya, atau... dirinya sendiri.
"Jika kau pergi, aku juga akan pergi."
Itu rencananya. Gadis di hadapannya adalah tambang emasnya.
"Setelah itu, kau harus menikah denganku."
Harus...
"Ya, akan ku lakukan."
Hinata akhirnya melepas cengkramannya pada kemeja Sasuke, lalu mengambil jarak beberapa meter. Kedua matanya melirik ke arah sebuah bingkai foto dimana wajah manis sang ibu terpajang dengan sangat indah.
"Aku akan bersiap-siap. Kita langsung berangkat besok."
"Tapi nenekmu baru datang tadi pagi."
"Aku tidak peduli," baru kali ini Sasuke mendengar nada dingin meluncur dengan mulus dari bibir mungil Hinata.
Sasuke diam dan menunggu Hinata keluar dari ruangan yang tadi mereka kunjungi bersama. Kamar ibu Hinata saat masih remaja dulu, salah satu ruangan dari kediaman besar keluarga Miyamoto di Jepang. Rumah besar bak istana yang selalu sepi dan membosankan.
"Bagaimana? Dia setuju?"
Sasuke yang sedari tadi menatap pantulan wajahnya pada cermin yang terdapat di meja rias langsung menoleh ke arah pintu. "Ya, dia setuju."
"Bagus!" wanita cantik yang berdiri di depan pintu itu mengatupkan kedua tangannya seraya tersenyum lebar. "Aku senang semuanya berjalan lancar. Dengan begini pewaris harta keluarga Miyamoto sudah ditetapkan," wanita itu melangkah mendekati Sasuke. Long dress coklat pucatnya berayun perlahan mengikuti gerakan kaki-kaki rampingnya. "Kau pasti senang mendapatkan gadis terkaya di dunia seperti Hinata, kan, Sasuke?"
Sasuke terdiam cukup lama sebelum akhirnya menyeringai. Seringai khas Uchiha. "Tentu saja, Shion-sama."
.
.
.
"Aku merasa sangat egois, tapi tidak tahu harus melakukan apa," Naruto membalas sentuhan tangan Sakura lalu meremas tangan mungil itu perlahan. "Aku... benar-benar merasa bodoh."
"Aku masih belum mengerti," Sakura mencoba memahami kata-kata Naruto, tapi tetap tidak menangkap maksud sesungguhnya. "Maksudmu apa Naruto? Kau bilang kau egois? Tapi, kenapa?"
"Aku..." Naruto menahan kata-katanya. Tepat saat ia akan melanjutkan ucapannya, ponselnya bergetar pelan di atas meja.
"Maaf..." Naruto berkata lirih seraya mengambil ponsel miliknya. Sakura hanya mengangguk.
From: Hyuuga Hinata
Aku akan berangkat besok pagi. Jadi, jangan mencariku lagi.
P. S : I Love You...
Naruto hampir menghancurkan ponsel miliknya dengan genggaman tangannya yang terlalu kuat. Sakura yang menatapnya entah mengapa menjadi gelisah.
"Dari siapa?"
"Hinata," Naruto langsung menjawab, membuat jantung milik Sakura seakan berhenti berdetak. Hening untuk beberapa saat sebelum akhirnya Naruto menatap Sakura dengan tatapan yang serius.
"I Love You."
Sakura kaget bukan main. Apa maksudnya ini? Apa yang terjadi?
"Naruto, kau bercanda?" Sakura berusaha bersikap normal, walau sebenarnya jantungnya mulai berdetak tidak karuan.
"Tidak. Aku sungguh-sungguh mencintaimu."
Sakura tidak tahu harus menjawab apa, sedangkan Naruto memilih diam, menunggu respon Sakura. Di dalam suasana yang hening itu, sinar matahari pagi menerobos masuk dari balik kaca jendela dan memantul di layar ponsel milik Naruto. Memperjelas isi dari pesan yang tadi dikirimkan Hinata untuk Naruto. Pesan terakhir sebelum akhirnya mereka benar-benar akan berpisah.
I Love You...
Katakan itu pada Sakura, jika kau benar-benar bukan lelaki yang pengecut.
-:-
Di tempat lain, Hinata menatap layar ponselnya dengan ekspresi yang sulit di tebak. Raut wajahnya kaku dengan air mata yang masih tetap mengalir.
"Aku sangat mencintaimu... Naruto."
.
.
.
Hari kembali berganti dengan cepat. Di bawah sinar terik matahari pagi itu, terlihat sesosok pemuda tampan yang terkenal dengan senyum cerahnya yang menawan. Tapi sayangnya, pagi itu pemuda dengan marga Namikaze tersebut sedang tidak mengumbar senyumnya seperti biasa. Ia justru tengah bersungut kesal seraya berlari secepat yang ia bisa. Peristiwa yang langka mengingat Naruto biasanya selalu terlihat mengendarai motor kesayangannya jika mau pergi ke manapun. Suasana pagi yang mulai dipadati berbagai kendaraan tidak membuatnya menyerah. Justru membuatnya semakin bersemangat. Sebuah senyum penuh harapan perlahan terukir manis di wajahnya. Beberapa siswi SMA yang rencananya akan berangkat sekolah terpaksa menghentikan langkah mereka hanya untuk mengagumi sosok menawan Naruto yang selalu bersinar itu.
"Sial! Aku lupa kalau ada jam kuliah pagi ini!" Naruto mulai berteriak panik. "Arghh, masa bodoh! Toh, biasanya aku membolos juga."
Naruto mempercepat larinya saat gedung yang ia tuju mulai terlihat di ujung jalan. Pandangannya kembali bersinar terang membuat warna biru yang terpantul di sana terlihat semakin indah seakan mengalahkan birunya langit diatas sana. Senyum cerahnya mulai terbentuk dan tangannya terkepal erat. "Kau tidak boleh pergi sebelum pamit padaku!"
.
.
.
Hinata menarik koper coklat miliknya seraya berjalan dengan langkah yang di seret. Terlihat ragu untuk pergi walau sudah ada tekad di dalam hatinya. Pandangannya mulai gelisah saat seorang petugas menanyakan tiketnya dengan senyumnya yang ramah.
"Boleh saya periksa dulu tiket Anda, nona?"
Hinata mengangguk perlahan lalu mulai menyerahkan tiketnya dengan tangan bergetar.
"Maaf," petugas bandara itu mulai terlihat kesal. "Bisa Anda lepaskan tiketnya? Saya harus memeriksanya."
"Hinata, lepaskan tiketnya!"
Hinata terpaksa melepaskan tiketnya begitu mendengar bentakkan dari neneknya. Tanpa ia sadari, sesosok pemuda tampan dengan rambut pirangnya yang cukup menarik perhatian melintas di belakangnya dengan langkah terburu-buru.
"Ayo, Hinata."
Hinata yang tadinya ingin menoleh ke belakang akhirnya mengurungkan niatnya. Tepat saat ia akan duduk di ruang tunggu, sebuah suara dari speaker bandara terdengar nyaring memekakkan telinga.
"Perhatian! Bagi para penumpang pesawat- hei! Apa yang Anda lakukan?"
KRINGGGGGG...
Suara nyaring mikrofon yang terdengar lewat speaker kembali membuat telinga para calon penumpang pesawat di ruang tunggu tempat Hinata berada tuli untuk beberapa saat.
"HYUUGA HINATA! KAU TIDAK BOLEH PERGI SEBELUM PAMIT PADAKU!"
Hinata hampir terjungkal dari kursinya saat mendengar suara cempreng khas Naruto. Bahkan Sasuke yang duduk tepat di samping Hinata hampir memuntahkan teh yang ia minum. Beberapa orang terlihat tertawa geli, berbeda dengan Hinata yang raut wajahnya semakin sendu dengan warna mata yang perlahan menggelap. Shion yang melihat hal itu akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakkan secepatnya.
"Sasuke, cepat bawa Hinata ke pesawat."
Sasuke hanya mengangguk, lalu menarik lengan Hinata untuk segera beranjak dari kursi.
"Ayo."
Hinata menggigit bibir bawahnya, menahan isakan lirih yang mungkin terdengar. Suara-suara berisik Naruto masih menggema nyaring dari speaker dan Hinata selalu berusaha untuk kembali menulikan telinganya sejenak. Sayangnya, usaha itu kembali gagal. Atau harus dikatakan, selalu gagal. Hinata menutup kedua matanya, kembali memantapkan hatinya lalu mulai mengetik sesuatu di ponselnya.
Aku akan segera pergi. Jadi, tetaplah tersenyum dan bahagia bersamanya.
Setelah pesan itu terkirim, Hinata mulai melangkah bersama Sasuke dengan pandangan lurus ke depan.
Ya, demi kehidupannya yang akan datang kelak.
"HINATA! AKU MAU KAU JADI KEKASIHKU LAGI!"
Sayangnya saat Naruto mengatakan hal itu, Hinata telah berada di dalam pesawat. Menutup mata, dengan headset di kedua telinganya.
.
.
.
~Beberapa tahun kemudian~
-:-
"Wah, ini yang namanya Jepang, ya, Mom?"
"Ya, indah, kan?"
"Indah banget! Tokyo tower ini hebat!"
"Di sana itu universitas Mommy dulu," wanita berambut gelap itu menunjuk sebuah gedung universitas yang terletak di sebelah utara Tokyo tower.
"Universitas Enma itu, ya?"
"Iya."
"Aku ingin ke sana, deh!"
"Nanti saja, ya. Saat ini kita tidak boleh jalan-jalan tanpa persetujuan Daddy."
"Ughh..."
Wanita cantik itu tertawa. Di cubitnya kedua pipi anak lelaki berusia lima tahun itu dengan gemas. Lalu di kecupnya keningnya dengan sayang.
"Jangan ngambek, dong, Obito."
-:-
"Payah sekali kalian! Masa' menangkap pencuri amatir begitu saja tidak bisa?"
"M-maafkan kami, Inspektur! Para pencuri itu sepertinya memiliki hubungan dengan para pejabat dari dinas pertahanan negara. Makanya kami..."
"Tch!" pria yang memiliki mata berwarna biru cerah itu mendecih kesal seraya membuang muka ke arah kaca jendela yang menghadirkan pemandangan padat khas kota Tokyo. Setelah berpikir untuk beberapa saat, pria itu akhirnya melemparkan sebuah dokumen pada salah satu anak buahnya.
"Segera buat surat perintah penangkapan. Aku akan segera menangkap para pejabat brengsek itu."
"Baik, Inspektur Namikaze!"
"Satu lagi, cepat hubungi para polisi dari divisi anti huru-hara dan divisi penjinak bom. Ada laporan teror bom dari beberapa warga di prefektur Nagano."
"Baik, akan segera kami kerjakan!"
.
.
.
..::To Be Continued::..
-:-

Beside You & HerWhere stories live. Discover now