SHOURAI CHAPTER 3 (His Arrangement)

474 30 1
                                    

Pagi di rumah kediaman Namikaze kembali diawali dengan teriakan Namikaze Kushina yang kembali sibuk membangunkan putra tunggalnya, Namikaze Naruto. Setelah mandi dan sarapan yang kembali dihiasi omelan panjang-lebar ala Kushina, Naruto akhirnya bisa berangkat kuliah dengan perasaan yang lebih lega. Lega karena akhirnya Hinata tidak memperpanjang masalah mereka di toko milik Uchiha Sasuke kemarin. Tentunya dengan syarat yang sederhana, yaitu harus menjemputnya tepat waktu hari ini.
Sayangnya Naruto kembali terlambat bangun dan mungkin terpaksa mendapat omelan tambahan dari Hinata.
"Yah, apa boleh buat," Naruto memperlebar cengirannya begitu membayangkan wajah Hinata yang tengah mengomelinya, memerah karena menahan emosi. "Akan ku dengarkan dengan senang hati!"
Naruto bersiap menyalakan mesin motornya untuk segera berangkat menuju kediaman Hyuuga. Ia yakin Hinata tengah menunggunya dengan tidak sabaran di sana. Di saat Naruto akan mengenakkan helm merah miliknya, sebuah mobil sport mewah berwarna silver terlihat berhenti tepat di depan rumahnya.
"Naruto ..." dari dalam mobil tersebut terdengar suara seseorang memanggil namanya, membuat Naruto mengalihkan perhatiannya pada mobil tersebut. Begitu kaca mobil sport itu di turunkan, wajah ceria Haruno Sakura langsung menyambutnya dengan hangat. "Mau bolos kuliah bersamaku? Akhir-akhir ini Todai makin membosankan!"
Sesaat Naruto melupakan janjinya pada Hinata. "Boleh! Mau kemana?"
"Bagaimana kalau ke butik milikku?"
.
.
.
"Naruto mana, sih?" Hinata kembali memandangi jam tangannya untuk yang ke-29 kalinya. "Aku kan bisa terlambat."
Hinata berjalan mengelilingi pohon mapple yang tumbuh di halaman depan rumahnya dengan cemas. Sesekali akan kembali melirik jam tangannya lalu mendesah pasrah. "Apa dia melupakan janjinya kemarin?"
Tinn... Tinn... Tinn...
Hinata segera berlari menuju pintu pagar rumahnya, berharap kalau itu adalah Naruto, walau ia tahu bunyi klakson tadi jelas bukan bunyi klakson motor Naruto.
"Hyuuga."
Hinata kembali di kagetkan dengan suara lelaki yang sejak kemarin sudah ia putuskan untuk dihindari dan dijauhi. Ia tidak menyangka kalau putra bungsu Uchiha Fugaku itu nekat mencarinya sampai di kediaman Hyuuga.
"Untuk apa kau datang ke sini?"
Sasuke menyeringai dari dalam mobil miliknya. Kaca mobil yang telah diturunkan membuat Hinata bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas. "Hanya menjemputmu untuk berangkat kuliah bersama."
"Tidak. Terima kasih."
"Kau tidak akan bisa menolakku kali ini," Sasuke melambaikan sebuah majalah yang tepat di halaman utamanya menampilkan gambar dirinya dan Sasuke yang hampir berciuman. Bukan hanya itu saja, di bawah gambar itu juga masih ada sebuah foto yang kembali menampilkan dirinya. Kini dengan Naruto. Dan tengah... berciuman. Hinata merasakan wajahnya merona merah. Entah karena malu atau menahan emosinya.
"K-kenapa fotoku bisa ada di majalah itu?" Hinata berlari mendekati mobil Sasuke dan mencoba merampas majalah itu. Sayangnya, Sasuke lebih cepat menarik majalah tersebut hingga Hinata gagal menggapainya.
"Tentu saja karena berita ini menyangkut diriku, putra bungsu Uchiha Fugaku ..." Sasuke kembali tersenyum sinis. "Dan dirimu, putri sulung dari Miyamoto Hotaru, bukan, maksudku Hyuuga Hotaru."
Hinata terlihat cukup terkejut mendengar kata-kata Sasuke. Darimana dia tahu nama ibu kandungnya?
"Aku punya banyak informan," Sasuke menjawab seakan bisa menebak isi pikiran Hinata saat ini. "Hal seperti ini terlalu mudah untuk diselidiki."
"Lalu apa yang kau inginkan dariku?" Hinata bertanya dengan tubuh yang bergetar, ketakutan. Ia sudah bisa menebak apa yang mungkin diminta oleh pemuda Uchiha itu. Dan Hinata tidak yakin bisa memberikannya.
"Cukup bekerja sama denganku. Dengan begitu aku akan menghentikan pencetakkan majalah ini sekarang juga."
"Bekerja sama?" Hinata menautkan kedua alisnya, tidak mengerti. "Kau mengajakku berbisnis?"
"Kurang lebih begitu," Sasuke kembali menyeringai. "Tapi lebih bersifat pribadi."
"Aku tidak mengerti."
"Naiklah. Kita akan membicarakan hal ini di salah satu restoran milikku."
.
.
.
"Terima kasih, Naruto," Sakura melirik Naruto yang masih sibuk mengagumi berbagai busana hasil desainnya yang di pajang pada etalase depan butiknya. "Aku merasa lebih baik sekarang."
"Benar, kah?" Naruto menampilkan senyumannya yang ceria. "Syukurlah kalau keberadaanku bisa membuatmu lebih baik."
Sakura membalas senyum Naruto dengan senyum yang makin membuat wajahnya terlihat cantik. "Seandainya aku nanti merasa sedih lagi, bisa aku memintamu menemaniku, Naruto?"
"Tentu saja."
"Apa Hinata tidak keberatan nantinya?"
Hinata?
Naruto kembali menoleh ke arah Sakura dengan cepat.
"Hinata, kan pacarmu, Naruto."
Naruto baru mengingat kembali janjinya pada Hinata. Kenapa ia bisa melupakan Hinata jika tengah berada disisi Sakura?
"Maaf, Sakura-chan ..." Naruto terlihat mencari sesuatu di saku jaket dan celana jeans yang ia kenakan. "Boleh aku pinjam ponselmu? Sepertinya ponselku tertinggal di kamarku."
"Untuk apa?" entah mengapa, Sakura mulai merasa kalau Naruto berniat meninggalkannya lagi.
"Aku harus menghubungi Hinata sekarang juga."
Tangan Sakura yang semula tengah menggenggam ponselnya di balik saku rok yang ia pakai, perlahan terlepas. Membiarkan ponsel miliknya tetap tersembunyi di dalam saku rok tersebut. "A-aku juga lupa membawanya."
"Oh, kalau begitu aku cari telepon umum sebentar, ya?"
"T-tunggu!" Sakura memeluk lengan Naruto dengan erat. Dengan gugup, ia menatap Naruto yang memandanginya dengan bingung. "Aku tidak mau kau pergi, walaupun hanya sebentar."
"Tapi aku harus menghubungi Hinata ..."
"Kumohon ..." Sakura mulai menatap Naruto dengan pandangan berkaca-kaca, membuat Naruto tidak tega memandanginya. "Aku tidak ingin sendirian ..."
"Baiklah, " Naruto kembali menuruti permintaan Sakura. "Lagipula aku yakin kalau Hinata tidak akan keberatan kalau aku bersamamu."
.
.
.
Senja kala itu terlihat begitu indah. Suasana pantai yang sepi dan suara halus hembusan angin begitu menenangkan hati sekaligus mengundang berbagai inspirasi. Seharusnya hal ini menguntungkan gadis berambut gelap yang sedari tadi menatap laut di depannya dengan pandangan hampa. Itu jelas akan membantunya mengerjakan naskah novelnya dengan lebih cepat. Sayangnya walau panorama indah di hadapannya terus berusaha menenangkan jiwanya, Hinata tetap tidak bisa menikmati apapun saat ini.
"Ibu ..." Hinata berbisik lirih seraya menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Mencoba menahan isakan kecil yang mungkin terdengar. Kedua matanya terasa panas dan pandangannya mulai mengabur begitu air mata mendesak keluar dan mengaliri pipinya yang bersih. Ia bingung, sekaligus tidak mengerti. Apa maksud kata-kata Sasuke pagi tadi. Ia tidak percaya. Benar-benar tidak percaya. Ibunya tidak mungkin mengatakan hal seperti itu. Hal yang bisa membuat putrinya sendiri menderita.
'Ibumu menyampaikan sebuah pesan sebelum ia meninggal di London. Pesan ini di sampaikan padaku melalui nenekmu, ibu dari ibumu.'
Hinata perlahan terduduk di atas hamparan pasir yang berwarna emas tertimpa sinar matahari yang jingga kekuningan. Kedua tangannya menutupi wajahnya yang kembali di penuhi air mata.
'Ibumu ingin kau menikah denganku. Ia mau hidupmu terlindungi dengan kekayaanku dan kekayaannya yang ia tinggalkan untukmu karena ia tahu, ayahmu yang miskin itu tidak akan mampu menghidupimu dan kakak sepupumu itu lebih lama lagi.'
"Aku... tidak perlu di lindungi dengan kekayaan," Hinata kembali berbisik lirih. "K-kenapa ibu begitu ingin aku bahagia dengan hal tidak berguna seperti itu?"
'Nenekmu akan datang ke Jepang besok. Dia ingin menemuimu dan mengajakmu ke London untuk tinggal bersamanya. Dan jika kau pergi, aku juga akan menyusulmu ke sana.'
'Kenapa kau mau menuruti hal ini dengan begitu mudah? Kau bahkan tidak mencintaiku!'
'Bagaimana mungkin aku bisa menolak? Nenekmu meminta hal ini seraya meneteskan air mata dan bersujud di hadapanku.'
Hinata tidak kuat lagi mendengarkan kata-kata Sasuke. Jadi ia lari dari restoran mewah tersebut menuju pantai ini. Kembali memikirkan ucapan Sasuke yang terlihat begitu serius dan tegas. Ia jadi bimbang antara percaya dan tidak.
Hinata menatap jam tangannya saat ini. Jam 18:01. Naruto masih belum menghubunginya.
Apa kali ini ia harus kembali menunggu pemuda itu? Setelah puluhan kali Naruto mengingkari janji dan membuat hatinya terluka?
"Aku... terlalu mencintainya."
.
.
.
Hari kembali berganti begitu matahari terbit dan bersinar dengan hangat. Hinata yang telah bersiap untuk kembali kuliah setelah kemarin tidak masuk memutuskan untuk menenangkan dirinya dulu dengan tumpukan tugas dari dosen dan naskah novelnya yang belum selesai.
Hinata membuka pintu rumahnya sambil berusaha tersenyum untuk memulai hari ini. Ia memutuskan untuk naik bis karena ia yakin Naruto tidak akan mungkin datang dan menjemputnya kemari.
"Selamat pagi, Hinata!"
Hinata hampir menjatuhkan beberapa buku yang ia pegang saking kagetnya melihat sosok Naruto yang sudah berdiri tegap di depan pintu rumahnya. Naruto sendiri langsung tertawa melihat reaksi Hinata yang menurutnya sangat lucu.
"Aku mengagetkanmu, ya?"
" ... "
Hinata tidak menjawab. Ia lebih memilih merapikan tumpukkan bukunya yang agak berantakkan sebelum berjalan melewati Naruto yang terlihat bingung dengan sikap Hinata.
"Kau marah padaku, ya?"
"Kenapa kau datang kemari?"
"Eh ..." Naruto terlihat bingung menjawab pertanyaan Hinata. "Aku kan sudah janji untuk mengantarmu kuliah pagi ini."
"Aku tidak ingat kau berjanji menjemputku hari ini," Hinata menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Naruto dengan ekspresi yang sulit di mengerti. "Tapi aku ingat kalau kau berjanji menjemputku kemarin. Sayangnya kau melupakan aku yang mungkin tidak memiliki eksistensi di dunia ini."
"Kau bicara apa, sih Hinata?" Naruto mulai tidak menyukai nada bicara Hinata yang terkesan dingin dan memojokkan dirinya. "Kalau kau marah karena hal itu, aku minta maaf!"
"Aku tidak bilang kau harus minta maaf ..."
"Lalu apa?" Naruto menahan lengan Hinata yang tadinya bersiap melangkah pergi. "Aku harus bagaimana agar kau bisa memaafkanku lagi?"
"Aku tidak tahu."
"Hinata ..." Naruto memaksa Hinata untuk menatap matanya, melihat kejujuran dan ketulusannya. Namun Hinata memilih memutuskan kontak mata mereka sebelum hatinya kembali goyah.
"Kenapa kau tidak menepati janjimu kemarin?"
"Sakura-chan... membutuhkanku kemarin."
"Lalu bagaimana denganku?" Hinata kini mulai menatap Naruto seraya menahan kembali kepedihannya. "Apa kau berpikir aku tidak membutuhkanmu kemarin?"
Naruto terlihat tidak bisa berkata apapun dan membiarkan Hinata menumpahkan segela emosinya. Gadis itu tidak berteriak. Ia hanya berbisik lirih dengan wajah memerah menahan kesedihannya.
"Uchiha-san datang menjemputku kemarin."
Naruto merasakan gejolak aneh saat Hinata kembali menyebutkan nama 'Uchiha-san'.
"Dia mengatakan banyak hal padaku. Salah satunya pesan ibuku yang disampaikan nenekku padanya."
Naruto masih mencoba berpikir realistis dan kembali mendengarkan penuturan Hinata.
"Dia bilang ibuku ingin aku menikah dengannya."
Naruto tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ini.
"Dia juga bilang kalau nenekku ingin aku tinggal di London bersamanya dan Sasuke. Mempererat hubungan kami lalu akhirnya menikah ..."
Naruto langsung memeluk tubuh Hinata dengan erat seraya berteriak lantang. "Sudah ku bilang, aku tidak mau!" Hinata belum mau membalas pelukan Naruto. "Kau masih kekasihku dan akan terus begitu sampai aku bilang kita putus!" Hinata berusaha keras untuk tidak kembali meneteskan air matanya.
"Kau egois."
"Apa?"
"Kenapa kau ingin aku tetap berada di sisimu sedangkan hatimu hanya di penuhi Sakura?" Hinata melepas paksa pelukan Naruto pada tubuhnya. "Hubungan ini tidak di dasari dengan cinta. Sama sekali tidak. Jadi seharusnya kita bisa berpisah tanpa harus bertengkar seperti ini."
Naruto menggertakkan giginya menahan luapan perasaaan aneh pada dadanya. "Jadi, kau ingin kita mengakhiri hubungan ini?"
"I-iya."
"Baiklah. Kita akhiri saja. Akhiri saja semuanya!"
-:-
Naruto meninggalkan kediaman Hyuuga seraya mengendarai motornya dengan kecepatan penuh. Wajahnya yang biasa terlihat ceria dan hangat sekarang begitu menyeramkan. Naruto memandangi jalanan di depannya dengan tatapan menusuk. Entah mengapa ia merasa sangat kesal dan marah. Begitu tidak rela dan... menyesal.
Hinata sendiri masih berdiri di tempatnya, belum bergeser sesentipun sejak Naruto meninggalkannya begitu saja. Kini hatinya terasa semakin sakit dan begitu sesak. Ia tidak menyangka kalau Naruto begitu mudah menerima keputusan ini. Walau sebenarnya Hinata sudah bisa menduga kalau Naruto memang tidak pernah memiliki perasaan apapun padanya.
Hinata akhirnya membatalkan rencananya untuk berangkat kuliah pagi ini. Ia sudah menentukan keputusan yang harus ia ambil. Jadi kini ia mencari nama seseorang pada kontak di ponsel miliknya lalu menekan tombol 'call' untuk menyambungkan teleponnya dengan orang tersebut.
"Uchiha-san, bisa kau antarkan aku ke bandara? Aku mau menjemput nenek."
-:-
Flashback
Naruto berusaha keras menyembunyikan sosoknya dari dua orang yang tengah mengobrol di salah satu bangku yang terdapat di halaman samping universitas Enma. Seorang gadis yang daritadi diamati oleh Naruto terlihat tersipu sebelum akhirnya berteriak senang.
"Aku mau jadi pacarmu, Sai!"
Naruto sudah menduga hal ini sebelumnya. Sakura, temannya sejak SMP yang kuliah di universitas Todai ternyata memang memiliki perasaan pada senior sekaligus temannya, Sai yang kuliah di universitas Enma. Seharusnya ia bisa menyiapkan mentalnya jauh sebelum peristiwa ini terjadi di depan matanya. Sayangnya, Naruto masih belum bisa merelakan gadis berambut pink itu bersama pria lain sehingga ia tetap merasakan sakit dan patah hati.
Srekk...
Sebuah suara dari semak-semak di belakangnya, membuat Naruto menoleh dengan cepat. Dari jauh ia bisa menangkap sosok seorang gadis tengah berlari seraya menutupi wajahnya. Naruto langsung menebak kalau gadis itu juga tengah patah hati, seperti dirinya. Mungkin karena gadis itu menyukai Sai. Jadi untuk menghibur gadis itu dan dirinya sendiri, Naruto memutuskan untuk menyusulnya.
Setelah berlari menyusuri halaman samping universitas Enma, Naruto akhirnya menemukan sosok gadis itu yang kini tengah berdiri di bawah pohon mapple seraya terisak lirih.
"Kau habis patah hati, kan?" Naruto bertanya seraya menepuk bahu gadis itu. Tapi nyatanya gadis itu tidak bergeming sedikitpun. Tetap menangis dengan posisi membelakangi Naruto.
"Aku juga habis patah hati," Naruto melanjutkan ucapannya. Masih memegang bahu gadis itu yang bergetar. "Kau dan aku sama-sama habis patah hati. Jadi, bagaimana kalau kita pacaran saja? Saling melengkapi dan menghibur satu sama lainnya."
Gadis itu terlihat sedikit terkejut mendengar tawaran Naruto, tapi akhirnya menganggukkan kepalanya sebelum membalikkan tubuhnya dan menatap Naruto dengan kedua mata yang sembab. "Baiklah. Kita pacaran untuk masa depan kita."
Naruto cukup terkejut mendengar jawaban gadis itu. Ia tidak menyangka kalau tawarannya begitu mudah diterima. Dan yang membuat perasaannya mulai membaik justru tatapan lembut dari kedua mata berwarna unik milik gadis itu.
-:-
"Aku tidak menyangka hubungan kita bisa bertahan sampai satu tahun," Hinata menatap foto Naruto yang tengah merangkul lehernya dengan senyum cerianya yang hangat, Hinata sendiri berusaha menutupi kegugupannya hingga tanpa sadar kedua pipinya kembali merona. Foto itu di ambil saat mereka memutuskan untuk kencan di taman bermain. Hanya berdua. Sebagai sepasang kekasih.
"Sayangnya hubungan kita harus berakhir sampai di sini."

Beside You & HerWhere stories live. Discover now