SHOURAI CHAPTER 6 (This Feeling Only For You)

386 15 0
                                    


"Tidak mungkin," ucapan itu menggema. Dengan kedua bahu yang menegang kuat, Namikaze Naruto menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Dia bukan putra Hinata?"
Jaksa Hyuuga itu menutup kedua matanya. Menghirup sejenak udara diantara atmosfer gelap yang sangat suram. "Ku kira kau sudah menyelidikinya," dan dua buah mata beriris lavender itu muncul kembali. "Bukankah kau adalah seorang Inspektur?"
"Ini bukan waktu yang tepat untuk memancing emosiku," Kedua mata Naruto berkilat sesaat. "Neji."
"Ini balasan yang setimpal," Hyuuga Neji akhirnya beranjak dari sofa di ruangan itu. Dengan pembawaannya yang tenang, ekspresinya berhasil ditutupi dengan sempurna. "Ya, kan, Inspektur Namikaze?"
Genggaman tangan itu menguat diikuti senyuman hambar di wajah Naruto. "Lalu, kenapa kau memberitahuku tentang hal ini?" Naruto mengangkat wajahnya. Menatap langsung wajah tanpa ekspresi Hyuuga Neji. "Apa kau ingin aku berharap lebih pada Hinata? Apa kau ingin aku merasakan hal yang sama seperti yang di alami Hinata?"
"Tidak," Neji berbalik dan melangkah menuju pintu. Punggung tegapnya terasa sepi dan kosong. "Kalau aku tidak ingat bagaimana dia begitu mencintaimu, aku mungkin sudah membunuhmu."
"Hinata, dia..." Naruto membelalak kaget. "... Mencintaiku?"
Neji tersenyum meremehkan begitu mendengar kata-kata Naruto. "Sudah sejak delapan belas tahun yang lalu."
Bersalah. Lagi-lagi perasaan bersalah itu menyelimuti hatinya dan menghujamnya tanpa ampun.
.
.
.
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
...::Shourai::...
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Story: Yuiki Nagi-chan
Warning: AU. OoC. TYPO. Bad for EYD & Language. NaruHina rules.
-:-
.:NaruHina Ever After:.
-6-
~This Feeling Only for You~
.
.
.
Kantor Kepolisian pusat di Tokyo malam itu kedatangan seorang tamu yang cukup terkenal di seluruh Jepang. Jaksa Hyuuga Neji, seorang pria berumur tiga puluh tahun yang telah berhasil membongkar ratusan kasus penyelundupan berbagai senjata api dan bahan peledak berbahaya juga aksi terorisme dan korupsi di kalangan pejabat yang melanda negara Jepang saat itu. Dan merupakan suatu kehormatan menerima pria tersebut sebagai seorang tamu.
"Apa yang kau inginkan?"
Hyuuga Neji menyunggingkan seulas senyum angkuh. "Ada yang perlu kita bicarakan, Inspektur Namikaze."
.
.
.
Kedua mata itu kembali meneteskan air mata. Tubuhnya terlihat begitu rapuh dengan leher terbalut syal warna kuning pudar. Di balik syal itu terajut sebuah nama. Namikaze Naruto.
Ya, seharusnya syal ini telah lama ia berikan pada pemuda berambut pirang itu. Tapi lagi-lagi kenyataan menyadarkannya.
Namikaze Naruto tidak pernah mencintainya.
Sakit, tapi itulah kenyataan.
Ia menatap sosok mungil Obito yang terbalut berbagai peralatan medis. Nafasnya sesak tidak beraturan dengan keringat dingin yang terus mengalir deras di keningnya. Sebagai ibu, ia tentu merasa sangat khawatir.
Sebagai seorang ibu, walaupun ibu angkat...
Hinata menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Mencoba menghilangkan ingatan peristiwa di malam itu. Waktu dimana Obito di serahkan padanya sekaligus saat dimana ibunya itu meninggal.
Karin, asisten Sasuke sekaligus wanita malang yang menjadi sasaran emosi sesaat pemuda Uchiha itu.
Hinata kembali memejamkan mata. Karena itu semua, rencana pernikahannya hancur, neneknya terkena serangan jantung, dan kehidupannya berlimpah harta tapi begitu berantakkan.
Apa itu merupakan suatu keberuntungan?
Sungguh, Hinata tidak mengerti harus bagaimana lagi.
.
.
.
Jam praktek malam itu telah selesai. Dokter Haruno itu pun bergegas kembali ke rumah dan beristirahat sebelum kembali membuka praktek di hari libur besok. Kedua matanya nampak sayu karena kelelahan. Beberapa jam memeriksa laporan medis dan mendiagnosa penyakit pasien ternyata membutuhkan tenaga yang tidak sedikit.
Lorong rumah sakit saat itu terlihat lenggang mengingat sekarang sudah tengah malam. Banyak pasien yang telah beristirahat dan beberapa perawat yang bekerja pada sift malam. Saat mata emeraldnya bertemu dengan sebuah ruangan bertuliskan ICU, sebuah informasi langsung menyergap pikirannya.
Uchiha Obito tengah di rawat di ruang ICU sejak jam 7 malam tadi.
Sakura mengetahuinya dari beberapa perawat yang bekerja bersama dokter Sizune untuk memeriksa keadaannya. Gagal ginjal dan jantung menjadi penyakit yang menyebabkan rentan dan sensitifnya tubuh Uchiha Obito itu.
Sakura mendengar suara gesekan kursi dari dalam ruangan. Begitu ia melihat dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, sosok Hinata yang masih terjaga dengan kantung mata di bawah iris ungu matanya langsung terlihat kontras dengan kulit pucatnya.
Bodoh. Sakura membatin. Untuk apa wanita itu menjaga dan merawat anak lelaki yang bukan anak kandungnya. Tidakkah ia tahu kalau ciri fisiknya sama sekali tidak menurun pada sosok mungil Obito?
"Karin..."
Suara Hinata mengalun pelan. Suasana yang sepi memudahkan Sakura untuk ikut mendengarnya.
"... Kumohon, memohonlah pada Kami-sama agar putramu ini tidak Ia ambil."
Sakura tercengang. Hinata... Dia tahu kalau Obito bukanlah putranya? Lalu siapa itu Karin? Ibu Obito, kah? Lantas, mengapa wanita itu masih merawatnya? Seberapa bodoh wanita itu sebenarnya, Sakura tetap tidak mengerti. Hyuuga Hinata, dia memang wanita yang susah di tebak.
Sesaat kemudian ponsel Sakura bergetar. Berkat mode silent yang telah ia aktifkan sebelumnya, tidak ada kebisingan dari nada pesan yang terdengar.
From: Naruto
Aku akan ke rumah sakit. Apa kau masih di sana?
Senyum Sakura merekah begitu membaca isi sms itu. Apa Naruto berniat menjemputnya? Di tengah malam ini? Jika benar, berarti masih ada harapan besar untuk mengharapkan cinta itu kembali.
Setelah membalas pesan Naruto, Sakura tidak lagi memperdulikan penghuni ruangan ICU itu, ia terus melangkah menuju halaman depan rumah sakit. Siap menunggu Naruto yang datang untuk menjemputnya.
.
.
.
Tengah malam ini cuaca begitu mengigit tulang. Berbekal selembar sweater tipis dan syal orange muda favoritnya, Naruto melajukan mobil miliknya menuju rumah sakit. Sebelumnya ia telah mengirim pesan pada Sakura untuk menanyakan apakah dokter anak itu masih ada di sana atau tidak. Dan begitu Sakura menjawab iya, Naruto langsung melajukan kendaraannya dengan senyum merekah. Ia butuh Sakura untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan bahwa kini hatinya hanya untuk wanita itu.
Naruto tidak peduli, apakah Hinata telah berpindah ke lain hati atau sangat membencinya. Yang pasti, selama tidak adanya ikatan pernikahan yang membentang di hadapan Hinata. Naruto tidak akan pernah mau menyerah.
Ia tidak ingin kejadian di masa lalu terulang. Kejadian dimana ia menyia-nyiakan perasaan cinta Hinata yang begitu tulus.
Karena itulah saat ini ia tidak memperdulikan dinginnya cuaca ataupun rasa kantuk yang menyerang. Semua itu tidaklah sebanding dengan penantian dan pengorbanan Hinata saat itu...
Tidak sebanding...
Dengan cepat, mobil miliknya menukik tajam melewati jalanan beraspal di keheningan malam.
.
.
.
"Aku, tidak bisa Naruto," Sakura langsung menolak tawaran Naruto mentah-mentah. Hancur sudah harapan yang ia bangun beberapa menit yang lalu. Ia tidak menyangka kalau ternyata Naruto mengetahui keberadaan Hinata dan Obito di rumah sakit ini. Suasana kafetaria rumah sakit yang sepi membuat mereka berdua bebas berbicara secara pribadi.
"Penjelasanmu berarti banyak, Sakura," Naruto masih berusaha membujuknya. "Tidakkah kau ingin membantu mengembalikan hubunganku dengan Hinata?"
Tidak. Tentu saja tidak.
Seandainya Sakura bisa berkata demikian...
"Aku tetap tidak bisa, Naruto," Sakura mencengkram erat rok putih miliknya. Nada suaranya begitu datar. "Lagipula aku tidak memiliki hubungan apapun dalam ikatan kalian berdua.
"Tapi, Sakura..."
"Lagipula kenapa kau masih mengharapkannya?" Sakura menggigit bibirnya menahan isak tangis. Naruto sendiri cukup kaget melihat hal itu. Perlahan air mata mengaliri wajah cantik Sakura hingga menghancurkan seluruh pertahanannya.
"Kenapa kau masih mengharapkan wanita bodoh itu!" Sakura meninggikan volume suaranya. "Wanita yang bahkan mau merawat anak haram hasil hubungan gelap antara suaminya sendiri dengan wanita lain!"
Naruto tercengang. Ia tidak menyangka Sakura bisa berkata seperti itu.
"Kenapa kau tidak melirikku yang selalu berada di sampingmu?" suara itu semakin parau dan penuh kesedihan. "Kenapa cintamu padaku tidak bisa kembali lagi? Kenapa Naruto?"
"Sakura..." Naruto menegaskan ucapannya. "Kenapa kau bisa tahu kalau Obito bukan putra Hinata?"
Deg!
Sakura mengeratkan genggaman tangannya.
"Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?"
"Untuk apa ku beritahu padamu?" Sakura tertawa hambar. "Agar kau bisa kembali padanya dan meninggalkanku? Tidak! Aku tidak akan pernah melakukannya!"
"Sakura!"
"Kau bisa marah padaku! Kau bisa membenciku sekarang!"
"Sakura!"
Grekkk...
Sakura beranjak dari kursinya dan menarik kerah baju Naruto dengan paksa. Dengan kasar di ciumnya bibir pria itu seraya terus mengeluarkan air mata. Di sela-sela ciumannya Sakura berujar lirih. "Kembalilah padaku..."
Plakkk!
Naruto menetralkan nafasnya yang tidak beraturan seraya mencoba menahan luapan emosinya. Setelah menampar Sakura sepelan yang ia bisa, Naruto segera meraih bahu mungil Sakura dan mencengkramnya agar wanita itu dapat mendengarkan kata-katanya tanpa racauan seperti tadi.
"Dengarkan aku Sakura. Hinata bukanlah wanita kotor dan bodoh seperti yang kau pikirkan sebelumnya," mata itu berkilat. "Dia tidak pernah menikahi Uchiha Sasuke, bahkan untuk menciumnya sekalipun!"
Tubuh Sakura merosot turun. Seakan tulang yang menopang tubuhnya hilang tak bersisa.
"Kumohon, jangan ganggu hubunganku dengannya."
.
.
.
Jika tahu hal ini akan terjadi, Hinata akan memilih tetap menemani Obito dan tidak memperdulikan betapa lapar dan lemahnya tubuhnya. Ia memang merindukan sosok itu, tapi keadaannya yang sekarang benar-benar tidak mendukungnya untuk merengkuh tubuh tinggi tegap sosok itu.
"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku selalu menunggu dan mencintaimu, Hyuuga Hinata!"
Hinata terpaku dan membeku. Ia belum mau membalas pelukan Naruto. Di lorong rumah sakit itu, tepat di depan ruang ICU, Naruto datang dan langsung menyerbunya dengan sebuah pelukan yang telah lama ia rindukan.
Sungguh, ini pilihan terberat.
"Kini aku seorang Uchiha, Naruto," suara itu mengalun rendah. Walau tahu itu sebuah kebohongan, tetap terselip rasa sakit di sudut ruang hatinya.
"Aku tahu segalanya. Semua rahasiamu. Semua hal yang kau sembunyikan dariku. Bahkan perasaan cintamu yang tidak berubah untukku. Sekarang aku tahu mengapa dulu keputusan untuk membiarkanmu pergi terasa begitu berat dan menyesakkan. Aku menyadari semuanya."
Hinata memang terkejut. Tapi ia berusaha mengendalikan itu semua.
"Terlambat. Semua sudah terlambat."
"Kenapa kau berkata seperti itu, Hinata?" Naruto memaksa wanita itu agar mau menatap wajahnya. Suaranya penuh kekecewaan. "Apalagi yang menghalangi hubungan ini?"
Hinata tidak kuat lagi menahan gejolak ini. Air matanya mengalir deras dan dengan seluruh tenaganya yang lemah, ia memukul dada Naruto. "Dasar bodoh..."
Naruto diam menerima. Ia merasa tidak berhak untuk melarang. Ia memang pantas mendapatkannya.
"Aku sudah memiliki Obito sebagai anakku. Putra angkatku. Apapun kata orang dia tetaplah..."
Naruto menghentikan semuanya dengan sebuah ciuman penuh kerinduan, berharap dengan itu semua kata-kata dapat tersampaikan dengan mudah. Hinata berontak. Tapi berkat sebuah bisikan lirih Naruto di telinganya, semua aksi itu teredam begitu saja.
"Jika seperti itu, aku juga akan menganggap Obito sebagai putraku. Dan kita akan hidup sebagai sebuah keluarga."
Haruskah? Haruskah ia mengakui perasaannya kini

Beside You & HerWhere stories live. Discover now