Lembar 3

71 1 0
                                    

     Hari ini, hari Rabu. Sudah hampir 2 bulan setelah kejadian itu. Mungkin kalian pikir aku dan Langit telah kembali seperti dulu, kembali tertawa bersama, berdiskusi bersama saat kelompok tetap pelajaran Ekonomi, dan semua hal yang biasa dilakukan remaja yang mencerminkan kerukunan pertemanan mereka. Tapi kenyataannya, aku dan dia belum juga baikan. Dia masih saja diam, diam dan diam. Entah kenapa, aku tak bisa menganggap hal ini biasa. Aku merasa sangat terbebani. Belum lagi dengan berita bohong yang satu per satu teman sekelasku mengetahuinya. Ya, sebuah hoax yang aku sendiri pembuatnya. Kalian pasti berpikir betapa bodohnya aku. Ya benar, aku memang bodoh, Vola bodoh yang seringkali berbuat gegabah tanpa memikirkan bagaimana dampak dari apa yang ia lakukan.

     Plaakk... suara sepatu kaki kananku yang meloncat dengan cepat saat terantuk sebuah benda berbungkus kain hitam, kaos kaki putih dan sepatu sekolah itu. Deggg.... jantungku berdebar sangat cepat, seperti ada yang berontak ingin keluar. Dia... itu tadi dia, ya, dia Langit. Yang dengan sengaja mengarahkan kaki kananya itu saat aku lewat tepat di sampingnya. Rasanya, seperti meneguk setetes air dingin di tengah padang pasir. Sungguh, aku bahagia, benar-benar bahagia. Kalian bisa bayangkan rasanya, jika seseorang yang terlihat sangat membenci kalian dan tak ingin melihat kalian tiba-tiba menganggap kalian ada. Bayangkan !!!

     Kurasakan pipiku merona merah. Aku coba sembunyikan rasa bahagia dan berusaha agar tidak salah tingkah menghadapinya.

    “Apaan sih ? “ kataku pura-pura jutek.

     Dia hanya diam, bibirnya dikuncir. Lucu sekali, imut. Ada apa ini? Lucu? Imut? Haduh, jangan deh. Seharian, setiap aku lewat didekatnya, dia selalu saja menjegal atau memukulku. Memang sakit, tapi aku pikir ini adalah awal yang baik. Mungkin saja hatinya sedikit demi sedikit meleleh kembali.

~next story~

     Mendung, tetap di hari yang sama. Dua jam pelajaran terakhir. Suasana hening saat Bu Nini, guru PLH ku menjelaskan tentang air di depan kelas. Dua detik kemudian, suasana riuh. Kami diberi tugas oleh beliau.seperti biasa aku tak pernah serius dalam mengerjakan. Ya, tentu saja aku ngobrol tak jelas dengan sahabatku, Flora. Dia, salah satu cewek yang pertama aku kenal di sekolah ini dan menjadi satu-satunya dari tiga cewek lain yang berhasil lolos masuk sekolah best of the best ini.

     “La, rambutmu lucu. “ teriak Ridwan, cowok gendut,  pendek dan ber-baby faced yang biasa kupanggil “Bapak” itu dari bangku di belakangku.

     “ Masa sih? Perasaan biasa aja deh. “ balasku.

     “ Macak dukun.” Suara yang tak asing. Benar !!! itu... Langit !!!

~bersambung~

Hate or Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang