Lembar 2

100 0 0
                                    

     Mungkin disini, aku dikenal sebagai anak yang lebay dan judes. Yah, apapun presepsi mereka, I don’t care, yeah this is me. Inilah aku, Vola yang tidak terlalu cantik, tubuh yang biasa, dan kepintaran yang mungkin biasa juga. Tapi, jangan remehkan ciptaanNya yang sempurna ini.

“ Mau curhat? Mau cerita? Atau mau dongeng?” berulang kali aku mendengar kata ejekan itu dari bibirnya.

“ Ihh... Apaan sih, gak usah ngejek terus bisa gak?” bentakku kepadanya, Langit, cowok bertubuh kecil tapi berbanding terbalik dengan suaranya yang besar dan berat itu.

     Hari ini, Rabu. Bahasa Daerah, Langit duduk tepat di belakangku bersama Dino. Sedangkan aku duduk bersama Sasi. Aku sudah bosan dengan ejekan konyolnya itu. Tapi sebenarnya, aku tidak sungguh-sungguh marah. Hanya untuk bercanda dan membuatnya sedikit kapok. Dengan cepat aku mengambil stiponya, dan kubuka tutupnya, tapi tutup itu tiba-tiba meluncur cepat dan hilang entah kemana.

     Ia pun membalasku, pensilku yang jadi sasaran. Mengambil pensil itu dan menyimpannya. Kami terus saja perang mulut.

“ Lho tutup stiponya hilang. “ ucapku.

“ Gimana sih kamu, pokoknya harus ketemu. “ balasnya sengit.

“ Ronde sebelas, haha. “ kata Sasi dan Dino hampir bersamaan.

“ Tapikan udah hilang Langit. “ kataku tak berdosa

“ Makanya dong, jangan suka jail. “ bentaknya.

“ Ronde dua belas. “ sela Dino

“ Maaf. “ ujarku memelas.

     Langit marah padaku. Dia sama sekali tak mau memandang ku. Aku hanya tertunduk merasa bersalah. Pensilku masih saja dibawanya. Kurasa kali ini dia benar-benar marah padaku. Wajahnya ditekuk, kusut,  jelek sekali. Bagaimana ini ? Aku bingung, bagaimana bisa aku membuat seorang cowok marah. Hatiku sangat sakit. Takut, perasaan yang pertama kali muncul dalam hatiku. Takut jika ini akan membawa dampak buruk bagiku kedepannya. 

      Brakk... suara mejaku yang di pukul Langit. Mengembalikan pensil biruku.

“ Mulai sekarang jangan pernah ngomong ke aku lagi.” Ucapnya lirih, hampir berbisik.

     Inilah awal cerita kami. Yang selanjutnya tak akan pernah bisa kalian tebak. Liku-liku kehidupan di kelas kami ini. Yang akan penuh dengan kejutan. Ya, penuh kejutan.

~next story~

     Sudah sebulan Langit marah padaku. Wajahnya selalu cemberut saat bertemu denganku. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya untukku. Sepi, seperti ada yang hilang. Sosok teman yang biasanya tak seperti ini, berubah drastis menjadi pribadi lain yang amat sangat dingin bahkan bisa disebut beku kelakuannya padaku. Aku heran, kenapa sampai segitunya dia marah padaku? Padahal, hanya karena masalah sepele yang bagi sebagian orang dianggap sangat “tidak penting”.

     Dibalik semua rasa cemas dan gelisahku, ada sebungkus kecil permen manis yang hadir dalam kerumitan masalah ini. Tampan, mata sipit, rambut lurus cepak, tinggi, kulit sawo matang, dan wajah yang lembut. Siapa lagi kalau bukan Farim namanya. Entah kenapa, sejak pertama melihatnya aku sudah merasa ada yang lain pada dirinya. Sejauh ini perasaanku pada Farim hanya sebatas kagum, ya kagum, kagum pada ketampanannya, kagum pada kebaikannya, kagum pada tatapan hangat matanya, kagum pada kesopanannya, kagum pada tingkah lakunya, kagum pada senyuman manisnya, kagum pada sifatnya, dan terlebih kagum pada semua yang ada dalam dirinya.

     Hampir saja aku melupakan Langit. Apalah artinya, dia tetap saja membatu. Bibirnya seakan terkunci, seperti direkatkan oleh satu kaleng lem paling lengket sehingga tak akan mungkin baginya untuk membuka bibir meski hanya sepersekian milimeter padaku. Yah, hanya bisa diam dan menunggu adanya keajaiban dari Yang Kuasa, yang bisa membukakan pintu hatinya yang berlapis baja. Biarlah pasti datang waktunya nanti.

~next story~

 “ Kamu suka Farim kan “ tanya Ferlyn padaku pagi itu.

“ Hah, enggak kok. Aku suka sama anak lain di kelas ini. “ dustaku, mengelak.

“ Beneran ??? Siapa? Kasih tau dong La. “ pintanya.

“ Emm... tapi janji ya gak akan bilang siapa-siapa? “ balasku.

“ Iya aku janji. Suer deh. “ ujarnya meyakinkan.

“ Sebenarnya yang aku suka di kelas ini itu bukan Farim tapi Langit. “ duaarr !!! Aku bohong !!!

     Mungkin kata-kataku itu akan tetap terngiang dan mengembara dalam  telinga Ferlyn. Aku menyesal telah menjadikan Langit obyek pelarian ku. Jujur, aku benar-benar  tak ada rasa sedikitpun terhadapnya. Yang aku katakan pada Ferlyn hari itu merupakan suatu kebohongan. Ya kebohongan, fiksi.

     Boleh saja kalian mengatakanku jahat, munafik, pengecut atau apalah itu. Tapi, aku adalah Vola, dengan segala kekurangan dan kejahatannya. Tapi perlu kalian tau, aku bukan orang jahat. Aku bukan orang yang akan menjadikan orang lain sebagai sasaran dari masalahku. Tapi kenapa semua itu tak berlaku bagi Langit. Why God ???

 ~bersambung~

Hate or Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang