Bab V : Si Penentu Masa Depan

106 7 27
                                    

******

Mereka berdua mulai bergerak, berlari mencari Syifa yang pergi tanpa sebuah perasaan pasti.

"K-Kira-kira akan ada dimana dia, kak?"

Tanya Lucky terengah-engah nafasnya.

"Aku berani bertaruh, dia pasti ada di kamarnya, karena ga ada lagi tempat dia berlindung selain disana, kalau aku salah, aku traktir kamu makan di warteg sepuasnya."

"Sangat meyakinkan, Oke."

Pemimpin lari, Lutfi, ditarik lengan kanannya dari belakang, itu membuatnya sedikit terkejut, meski begitu larinya tidak terhenti karena itu.

"Heh?!!"

"... ... ... ... Teleport!!"

Lucky berteriak, secara cepat mengangkat lengan kirinya ke depan dan membuka telapak tangannya. Karena ulahnya, muncullah sebuah portal yang wujudnya sama dengan kekuatan sebelumnya, Arts Dimension, hanya saja yang ini lebih kecil.

"Ayo masuklah, kak."

Lucky memaksa Lutfi untuk masuk ke sana, masuk ke lubang yang tidak jelas statusnya, itu berada di hadapannya, tinggal dia melompat untuk masuk dan memproses kekuatan rekannya, tapi Lutfi malah melakukan pengereman penuh dan berhenti.

"Ini bukannya A.. Ar.. apalah Dimension itu?"

"ARTS... KAK!!!"

"Ah iya itu."

"B-Bukan, Arts Dimension itu untuk berpindah dimensi, tapi kalau Teleport hanya berpindah tempat dengan jarak max 10 kilometer."

"Hm... mencurigakan."

Setelah pemberian info singkat tadi, mereka bersama masuk, berpindah tempat menggunakan sebuah kekuatan bernama 'Teleport' sembari terus saling berpegangan tangan.

Lalu dalam sekejap saja, mereka sudah sampai di depan pintu rumah orang tua angkat Lutfi itu.

"Oke sampai!"

"Tahu gini kenapa tadi harus lari dulu."

Pltakk!! //Agh...

Kening Lucky disentil dengan kerasnya, bekasnya menjadi berwarna kemerahan, itu membuat ekspresi wajahnya sedikit sebal.

"A-Aku lupa kalau aku ternyata bisa teleportasi."

"Ya ampun."

"Baiklah, ayo, kak."

"Sip!" Lutfi menganggukkan kepalanya.

Sadar terhadap pintu yang sama sekali tidak terkunci, merekapun berlari dan secara cepat memasuki rumah. Namun meskipun begitu, mereka tetap menjaga hentakan langkah kaki supaya tidak terdengar oleh Syifa. Tepat pada saat mereka sampai di depan kamar Syifa, mereka mendengar suara rintihan dari dalam kamar itu.

"K-Kak Lutfi... sungguh seram, suaranya bikin merinding."

"Sshh... diamlah, itu cuma suara Syifa, kamu sadar kan?"

Lutfi memaksanya diam, jari telunjuk yang tegak dia letakan di depan mulutnya, memberi isyarat untuk tidak membuat kebisingan.

"Iya, t-tapi tetap saja, dan lagian kenapa harus diam-diam dan tanpa cahaya kaya gini? setidaknya kasih pandanganku penerangan sedikit saja."

Nada bicaranya menjadi berbisik, menuruti apa kata Lutfi sebelumnya.

"Hohh, nih!"

"Agh!! Terlalu terang!!"

Lutfi menyorotkan lampu senter dari kamera ponselnya tepat ke depan wajah rekannya. Itu hanya berlangsung beberapa detik saja.

"Sudahlah, kita ga perlu penerangan, kita bisa gelap-gelapan saja sebentar, lagi pula ga akan ada yang terjadi kok, dan ga akan ada hantu juga."

Partner | The Release of Shadow ImagineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang