Sungai

4.6K 192 13
                                    

Ada suatu masa ketika Saraswati di antara Yamuna dan Sutlej mulai mengering. Sungai yang mengalir selama berabad-abad ini semakin sekarat. Air sungai Saraswati semakin dangkal, perlahan-lahan berubah menjadi lumpur yang pekat.

Berita ini kemudian didengar oleh Gangga, saudari Saraswati yang tinggal di wilayah Hindustan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berita ini kemudian didengar oleh Gangga, saudari Saraswati yang tinggal di wilayah Hindustan. Dengan khawatir, Gangga mengunjungi Saraswati ke barat Rajashtan. Gangga ingin melihat keadaan saudarinya itu, sembari menceritakan kegundahan yang akhir-akhir ini mengusiknya.

Baru saja, Dewa Wisnu memanggil Gangga. Mengisyaratkan akan lahirnya Sri Krisna. Seorang manusia yang memiliki kesaktian dan kebijaksanaan dewata. Sri Krisna akan datang membawa penghukuman dalam sebuah perang besar. Perang yang lebih besar dari perang Rama melawan Rahwana di Alengka.

"Dewa Dharma, Dewa Bayu, Dewa Indra, Dewa kembar Aswin telah menyatakan bersedia mengutus putra-putra terbaik mereka," kata Dewa Wisnu, "Dewa Surya sedang mempertimbangkan. Namun kurasa, dia akan bergabung, mau tidak mau. Mungkin, ini akan menjadi akhir dari satu masa."

Penghukuman besar di akhir masa. Itu adalah kata-kata lain dari kiamat.

Kata kiamat sudah membuat Gangga merinding. Apa yang membuat para dewa memutuskan ini adalah akhir masa? Sebenarnya, Gangga tak sanggup harus menjadi bagian dari perang yang akan membawa semesta dalam kehancuran. Namun kewajiban mau tak mau membuat Gangga patuh. Kegundahan antara kewajiban dan rasa kasihan masih mengusik hati Gangga, hingga dia merasa amat bersedih.

 Kegundahan antara kewajiban dan rasa kasihan masih mengusik hati Gangga, hingga dia merasa amat bersedih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah memberi salam, Gangga memandang Saraswati yang kini mulai lelah hingga terlihat tua. Itu adalah keadaan yang sama ketika para dewa akan mangkat lalu kembali ke Sang Pencipta.

"Kakak," Gangga berkata sambil menahan tangis, "Mengapa kakak memutuskan akan pergi sekarang?"

"Adikku," jawab Saraswati, "Aku telah menjalankan beberapa masa di sini. Telah banyak kusaksikan kisah-kisah kehidupan. Demikian juga, telah banyak kularungkan jiwa-jiwa mereka yang abunya dituangkan ke atas sungaiku."

Saraswati mendesah. Ingat beberapa bencana dan peperangan yang timbul lalu menghilang. Tahun demi tahun berlalu. Dari ribuan menjadi ratusan, demikian usia manusia semakin pendek. Sama seperti pengetahuan mereka yang mendangkal... Saraswati tahu, kini adalah batas akhirnya. Beberapa kali, dia melihat para dewa berkumpul di Indraloka. Tak mungkin ada keramaian seperti itu, jika tidak ada sebuah rencana besar terhadap semesta.

"Aku baru diminta untuk menjelma sebagai manusia, Kak," Gangga akhirnya menceritakan kekhawatirannya, "Delapan Wasu telah dikutuk oleh Resi Washita. Mereka meminta tolong, agar aku bersedia melahirkan mereka, lalu membebaskan mereka di atas sungaiku."

"Jadi... sudah dimulai?" tanpa sadar, Saraswati menyuarakan kekhawatirannya.

Gangga mengangkat kepala, merasa sangat terkejut. Namun alih-alih gelisah, Saraswati memunculkan sebuah sitar di tangannya. Dia merentangkan senar, lalu mulai memainkan sebuah lagu:

Dunia digerakkan oleh hukum-hukum yang disepakati.

Seperti kehidupan yang terus berputar, diakhiri dengan kematian,

Lalu terjadi kelahiran kembali.

Demikianlah semua terus berputar, bagaikan sebuah roda kereta...

"Hatiku sakit jika ada kehancuran di dunia manusia." Gangga menyentuh dadanya, akhirnya tak tahan menyampaikan semua keresahannya.

"Perasaanku sama sekali tidak tenang. Bencana, peperangan... apakah ini layak sebagai hukuman?"

"Hukuman?" alis Saraswati mengernyit, "Tidak, adikku. Para dewa taat kepada hukum para dewa. Manusia mematuhi hukum manusia. Akan tetapi, yang paling memiliki kekuatan, adalah hukum sebab akibat. Hukum karma."

Gangga menghela napas berat. Terakhir kali perang besar di Alengka, mereka sudah melihat banyak kematian. Asap api pembakaran memenuhi langit. Burung pemakan bangkai menebar bau darah di mana-mana.

Saraswati menggerakkan senar sitarnya membentuk nada-nada sendu, "Kira-kira, perang apa yang akan terjadi?" dia berkata, sambil menahan keresahannya sendiri.

"Ini adalah perang mahadashyat. Perang paling menyedihkan sepanjang sejarah," Gangga merintih, "Putra-putra dewa akan turun. Para saudara membunuh saudara-saudaranya sendiri. Sementara seorang raja akan terus menerus diuji. Kebencian dan dendam terus dibalas. Seolah-olah itu adalah perayaan atas kemarahan. Dan dalam semua kekacauan itu... banyak bramahstra akan diturunkan. Bisa dibayangkan jika semua brahmastra itu beradu kesaktian."

Dewi Saraswati terdiam sejenak. Apa yang dikatakan Gangga saat itu mengusik hatinya. Astra-astra illahi berkekuatan tertinggi itu sangat berpotensi menghancurkan semesta.

"Siapa saja putra-putra dewa yang bergabung?"

"Dewa Dharma, Dewa Bayu, Dewa Indra, Dewa kembar Aswin..." Gangga menghapus setitik air matanya.

"Dewa Indra," desah Saraswati. Takut akan efek perang. Apa yang terjadi pada sebuah perang jika yang terlibat adalah dewa perang itu sendiri? Dan hal ini masih ditambah dengan adanya Brahmastra.

Beberapa saat, Saraswati berpikir. Hingga dia teringat satu nama dewa yang belum disebutkan.

"Aku tidak mendengar nama Dewa Surya."

"Dewa Surya masih resah karena masalah ini, Kakak," jawab Gangga, "Aku sempat mengunjungi beliau. Sama sepertiku, dia juga merasa semua ini terlalu kejam."

Saraswati memejamkan mata sambil terus memetik sitarnya. Merenung atas skenario perang mahadashyat yang melibatkan putra-putra dewa.

Sebenarnya, apa yang membuat para dewa sepakat untuk menurunkan kembali hukuman berupa perang? Renung Dewi Saraswati. Apakah karena perang sepuluh kerajaan? Atau sistem masyarakat sendiri yang semakin melenceng dari kebenaran?

"Kakak, apakah kali ini, kita hanya akan berdiam diri?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Gangga, Saraswati malah terus memainkan dawai sitarnya. Irama-irama sitarnya mengalun lebih indah dari sebelumnya. Kebijaksanaannya sebagai pelindung ilmu pengetahuan dan seni mengalir dalam tiap nada. Sementara kasih sayangnya menjelma dalam tiap kata dalam syair yang kemudian dia ucapkan.

Api hanya bisa dipadamkan dengan air.

Demikian juga kemarahan,

Hanya bisa dilembutkan dengan kasih.

Demikianlah kuberikan kekuatanku... dalam sebuah nyanyian.

Legenda Negeri Bharata [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang