My lolita love

3.3K 185 18
                                    

(Part I :Codename: Gunslinger)

Jendra mengumpat pelan saat sebuah sepeda motor melesat hampir menyerempet mobil sport silver metaliknya. Apa pengendara sialan itu nggak tahu ini jalan perumahan, bukan jalan raya?. Kalau sedikit saja mobil yang dibelinya susah payah dengan keringatnya sendiri dan dimodifikasi Excel, temannya di MIT yang ahli mesin, sampai terserempet motor sialan itu, dia bertekad akan mengejar pemiliknya sampai ke ujung dunia.

Dengan malas dibelokkannya pelan mobil itu sambil melirik sekilas catatan yang digenggamnya, kalau nggak salah rumah nomor 22...yups...itu dia...Jl. Earthalliance no. 22. Jendra mengklakson keras membuat satpam yang tengah tidur melompat dari kursinya.

Jendra memasuki gerbang besar itu dan terkejut mendapati motor yang berpapasan dengannya tampak angkuh terparkir di halaman, kalau menuruti emosinya, hampir ditabraknya motor balap berwarna biru terang bernomor 46...wah, pemiliknya pasti penggemar fanatik Valentino Rossi. Dasar bocah!. Rutuk Jendra dalam hati. "Hendak bertemu siapa tuan?", seorang wanita separuh baya yang tengah menyiram tanaman menghampirinya yang tengah meneliti catatan di tangannya. "Benar ini rumah tuan Arya Sanjaya?. Saya Jendra Rahadewa, yang akan menyewa kamar, kost...".

Wanita itu memperkenalkan dirinya. "Saya Bu Ranti, yang mengurus rumah ini, memang ada beberapa kamar yang disewakan,tuan juga sudah menelpon saya, apakah anda putra tuan Mahendra?. Tadi tuan telpon ada salah seorang putra rekannya yang akan menyewa tempat ini...". "Benar, ayah saya yang merekomendasikan tempat ini, bisa saya bertemu nyonya rumah, kemudian melihat-lihat kamar yang akan saya tempati?". Bu Ranti tersenyum. "Maaf, tuan dan nyonya sedang keluar negeri, jadi putri tunggal mereka, non Tasya yang mengurusnya, mohon anda menunggu sebentar dan saya akan memanggilnya". Bu Ranti memasuki pintu rumah yang sedikit terbuka.

Jendra mendudukkan tubuh jangkungnya di kursi yang empuk di ruang tunggu, rumah ini sangat besar, kawasan elite, penataannya pun indah, suasananya yang sepi menjamin ketenangannya, apalagi sebagai seorang arsitek dia butuh ketenangan yang lebih, saat dilihatnya motor balap itu, Jendra sedikit gusar, mungkin itu motor pacar si pemilik rumah, siapa namanya tadi..Tania? Tasya?. Tapi tempat ini sangat strategis, dekat dengan Westside University, kampus dimana dia akan mengajar. Sedikit tersenyum dia membayangkan ketidaksetujuan ayahnya. "Kamu bisa bekerja di kantor papa, Jendra, untuk apa mengajar di Westside?". "Jendra sudah besar pa, Jendra ingin memiliki kemampuan sendiri untuk hidup, selama ini Jendra sudah banyak dibantu papa, semuanya papa yang mengurus, kali ini Jendra yang akan mengatur hidup Jendra, bekerja dan memiliki uang yang Jendra hasilkan sendiri, please, papa ngertiin Jendra...ini jalan hidup Jendra". Mahendra hanya menghela nafas, putra bungsunya sudah dewasa sekarang, bukan bocah kecil yang cengeng dan penakut itu, wajah kanak-kanaknya sudah menjelma, bermetamorfosis menjadi lelaki dewasa dan sama angkuh dengan dirinya, Mahendra seperti melihat dirinya waktu muda di cermin. "Baiklah, tapi saat papa butuh bantuanmu, kau harus mau meluangkan waktumu, kau tahu, rencana papa sebenarnya ingin kau bekerja di sini, jadi setiap hari kau bisa pulang dan menemani kami, mamamu sangat membutuhkan kehadiranmu, seharusnya kau diam di rumah dan carilah seorang istri yang baik, kau ini anak bungsu...setelah jauh-jauh kuliah di Amerika, masa kau tega meninggalkan mamamu dan bekerja di kota yang jauh?". Jendra tertawa. "Please...Jendra bukan anak kecil lagi pa...tapi Jendra sama sekali tak bisa berpikir untuk menikah".

Lamunannya buyar saat melihat bu Ranti datang bersama seorang pemuda berkaus oblong, berjacket distro hitam dan celana gombrongnya yang longgar menyapu lantai. Mana Tasya...kenapa cowoknya yang datang?. Tapi saat pemuda itu mendekat dan Jendra jelas-jelas melihat wajah cemberut yang malas-malasan di balik topi kumal itu, dia merasa bingung, cowok itu berwajah manis. "Kamu yang akan menyewa kamar?", suaranya seperti anak perempuan. "Yup's". Pemuda itu memandang Jendra sejenak. "Coba kulihat KTP kamu...". Jendra mengambil dompetnya di saku dan mengangsurkan KTPnya. Bocah berandalan itu melihatnya sejenak lalu mengangguk pada Bu Ranti. "Benar dia orangnya bu, baiklah, ayo kita lihat kamarmu...". Busyet! Kurangajar banget nih bocah, manggil aku-kamu seenaknya, paling tidak harusnya dia manggil Bang, Mas, Kak, apa nggak diajari sopan santun?.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang