Falling Leaves Part II

1.3K 73 3
                                    


(PART II)

"Dia sama seperti Cody Banks, tapi tanpa selera humor". Yulla Atha menatap cowok tampan berwajah innocent itu. "Cody tanpa selera humor, berarti maksudmu...dia berbahaya?". Cowok itu tersenyum. "Yeah, so danger you know, seperti Cody, tapi berotak Kudou, bahkan sama misterius dengan Sherlock, tapi bukankah dia seperti malaikat?. Bahkan di hatimu yang paling dalam, kamu mengakui bahwa dia bukan cowok sembarangan bukan?".

Atha tahu, Aid memang berbahaya, dingin dan misterius, bahkan saudaranya pun sering terkecoh olehnya. Tapi cinta berkata lain.

Aidan...Aidan dan Aidan. Apa dan siapa dia. Entah kapan Atha berhasil menemukan kunci hatinya, apalagi berbagai kerumitan masa lalu membuat segalanya bertambah rumit. Dia harus berjuang, atau akan kehilangan selamanya. Bukan saja harga diri yang dipertaruhkan, tapi nyawa juga tak cukup untuk membuat seorang Aid menghargainya. Akankah dia tetap berjalan di semak berduri atau menyerah?. Kisah ini belum berakhir, atau bahkan takkan pernah berakhir. ]

Falling Leaves

Wanita itu setengah kalap, bayi yang ada dalam gendongannya memang diam bahkan tersenyum, seolah-olah tak tahu bahaya yang sedang mengancamnya, di belakang dua orang pria muda mengejarnya. "Berhenti", teriak pria yang berambut jabrik. Pria itu menodongkan pistolnya, tangannya gemetar dan wajahnya sangat tegang. "Jangan!. Nanti bayi itu yang kena", teriak pria yang berpenampilan rapi, rambutnya yang jabrik penuh peluh, keringat dingin, bagaimanapun kelengahannya lah yang membuat bayi kecil itu sekarang terancam bahaya.

"Sialan!. Harusnya aku nggak lalai!". "Sudahlah, ayo kita kejar saja perempuan gila itu, tak ada gunanya mengeluh sekarang". Kedua pria itu tetap berlari, tapi pria yang berrambut jabrik berhenti sejenak, menatap papan nama di depannya. "Sialan, kenapa...kenapa ini terjadi, seandainya aku tak pernah kemari, di tempat ini semua berawal, aku tak mau di tempat ini pula semua harus berakhir". "Sudahlah, sekarang yang kita bisa lakukan hanyalah berusaha, ayo!".

Mereka tergesa menelusuri lorong demi lorong. «Lihat itu Fae ! », pria berambut jabrik itu menatap arah yang ditunjuk temannya. "Alex! Itu lab Kimia...cepatlah, jangan-jangan...", pria Fae diikuti temannya bernama Alex, segera menuju lab. Benar saja, wanita itu tengah membawa bayi kecil itu ke pojok, Fae yang tahu bahan apa saja yang tersimpan di lemari pojok itu langsung pucat. "Tina, jangan, kumohon, akan kulakukan apapun, tapi lepaskan dia, dia nggak tahu apa-apa, please, hukum saja aku tapi jangan sentuh dia sedikitpun. Seolah tahu bahaya yang mengancam, bayi itu mulai menangis. "Memohonlah pada Tuhan, Fae".

"Kumohon, lepaskan dia, akan kulakukan apapun untukmu", pria itu berlutut. "Fae sayang, aku tahu, semua yang kau lakukan itu bukan untukku, tapi untuk bocah kotor ini, darahnya kotor, kau tahu?. Aku harus melenyapkannya!", wanita bernama Tina itu membuka lemari dan meraih salah satu botol. "Kau tahu Fae, kunci lab milik kita ini ternyata membawa keberuntungan untukku", Tina terkikik. Dia meletakkan bayi itu di meja lab dan membuka tutup botol. "Asam kuat, ya Tuhan, sedikit saja terpercik, bayi itu...", Alex menatap Fae. "Kumohon, kumohon, akan kulakukan apapun", kata Fae. "Benarkah?", wanita itu menyeringai. "Setelah semua penghianatan yang kau lakukan, Fae sayang, aku takkan tertipu lagi", wanita itu semakin histeris. "Semua sudah terjadi, kamu harus merelakanku, aku tak pernah mencintaimu, kamu tahu itu!", Fae menggertakkan gerahamnya. "Ya, gara-gara bocah berdarah kotor ini, kamu melupakan aku, menghianatiku", Tina meletakkan botol tepat di atas perut bayi itu.

"Jangan!", seorang gadis menyeruak masuk. "Destin, kenapa kamu kemari?", Alex mengenali adik perempuannya. "Untuk Fae, kalian perlu polisi dan aku datang bersama mereka, puluhan lagi mengepung sekolah ini", Destin mengalihkan pandangannya kepada Tina. "Ayolah Tina, lepaskan dia, kita barter gimana, seperti dulu, serahkan anak itu, kau boleh memiliki Fae", Tina memandang bingung. "Nah, Fae akan berjalan ke arahmu, aku akan mengambil bayi itu, bukankah adil?. Kau setuju kan Fae?", Destin memberi isyarat pada Fae. "Benar, aku juga tak menginginkan bayi berdarah kotor itu, ayo Tina..sa..sayang, kita pergi dan meninggalkanya di sini, kita akan bahagia", Fae memandang yakin ke arah Tina. Wanita itu ragu-ragu dan menimbang botol di tangannya, akhirnya dia setuju untuk maju. Fae pun ikut maju, setelah pada jarak aman dari bayi itu, Fae menembak botol di tangan Tina. Wanita itu menjerit kesakitan, tangannya melepuh, Fae segera maju dan memegangi Tina sementara Destin mengambil bayi yang tengah menangis.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang