Mungkin gadis ini titisan dewi penolong. Atau mungkin hanya kebetulan saja ada orang yang membutuhkan bantuan dan sang gadis kebetulan sedang berada di dekat orang itu, walau hanya sekadar untuk memberi jawaban atas pertanyaan mengenai di mana letak jalan anu, di mana letak gedung ini, dan sebagainya. Kalau mungkin pertanyaannya tidak bisa dijawab, sang gadis akan menjawab, "Oh, maaf, saya kurang tahu juga...," dan melontarkan senyum sopan, berharap agar orang yang bertanya itu akan menemukan orang yang bisa menjawab pertanyaannya dengan lebih baik.
"Maaf, Mbak..."
Gadis itu, Mita, seperti biasanya ketika ada yang menyapa dirinya, menoleh ke arah sumber suara. Ia mendapati 'aura mau bertanya' dari orang itu—seorang gadis yang ditaksirnya tak jauh usianya dari usia Mita sendiri.
"Ya?"
"Kereta ke arah Kalibata... di jalur sini, kan, ya?"
Oh, pertanyaan yang jawabannya sudah khatam oleh Mita.
"Iya, benar, kok," jawabnya dengan senyum manis. Tapi Mita tak berniat untuk memperpanjang perbincangan, karena memang tidak ada topik yang sengaja ia angkat untuk orang yang baru ia temui. Namun biasanya, di saat seperti ini, justru orang lain itulah yang akan mengangkat topik pembicaraan pada Mita—
"Mbak mau ke arah Kota juga?"
—seperti itu.
Mita pun kembali menatap gadis tadi. "Iya," jawabnya singkat, masih dengan senyumnya. Mita sebenarnya bukan orang yang sulit berkomunikasi, hanya saja kalau memang tidak ada perlunya, ia tidak akan sengaja juga menciptakan topik untuk menemaninya membunuh waktu sementara menunggu kereta datang.
Tanpa ditanya, gadis asing itu berkata, "Saya baru dua kali naik kereta, makanya saya masih belum hapal rutenya..." Dan tanpa diminta, gadis itu menjelaskan ke mana ia hendak pergi. "Saya mau ke kampus..."
Mita, yang merasa kalau ia tidak menanggapi orang itu akan membuatnya jadi kurang sopan, mencoba bertanya, "Oh, kampusnya di mana?"
Tampaknya gadis itu senang karena ia tidak akan menunggu kereta datang dengan cemas. Gadis itu pun menyebutkan nama salah satu universitas swasta di Jakarta. Mita angguk kepala mendengar jawaban itu. Dan ketika Mita ditanya balik, ia menyebutkan nama salah satu universitas negeri yang sebenarnya dekat dari sini.
"Lho, memangnya biasanya naik apa ke kampus, kok baru dua kali naik kereta?"
"Naik angkot." Gadis itu menambahkan angkot mana saja yang dinaikinya, dan itu sekaligus menjelaskan di mana rumahnya berada.
Ke sekian kali Mita merespon dengan angguk kepala dan gumaman.
"Iyalah, naik kereta enak, kok. Lebih murah, lagi," Mita menyebutkan kelebihan transportasi umum favoritnya. Walau mungkin kalau pas keretanya tersedia tapi kau belum sampai ke peron, dan ketika kau sampai ke peron keretanya sudah berangkat itu membuatmu sebal, tetap saja moda transportasi umum inilah yang paling ia andalkan untuk bepergian jauh, apalagi untuk ke pusat kota yang jalanannya tidak bisa ditebak kapan macetnya.
"Iya, Kak," tanggap gadis yang akhirnya diketahui bernama Sisi itu—'Kak' karena Sisi lebih muda daripada Mita—kemudian menambahkan, "murah banget ya, dibanding kalau mesti naik angkot, sambung-sambung gitu... Apalagi kalau satu angkot bayarnya tiga ribu. Bisa enam ribu sendiri, padahal naik kereta cuma bayar tiga ribunya aja. Sama-sama rute berangkat, lagi."
Mita tersenyum. Ia memang tidak bisa dibilang fanatik kereta, tapi siapa yang tidak senang kala ada masyarakat yang memuji transportasi negerinya. "Kalau kamu bakal sering naik kereta, mending beli kartu permanennya aja, nggak usah repot-repot antre di loket tiap hari!"
"Oh, ada, ya?"
Mita pun menunjukkan kartu permanen miliknya yang berwarna hitam dengan nuansa oranye. Sisi melihat kartu itu, terlihat sangat tertarik.
"Ini kayak kartu Timezone gitu, bisa diisi ulang. Saldo minimal di dalam kartunya tujuh ribu lima ratus." Terdengar seperti SPG? Begitulah kalau Mita mempromosikan sesuatu yang disukainya. Pun ia dapat membandingkan kartu permanen dengan kartu berjaminan biasa yang berwarna putih, berbagai keuntungannya—wah, mungkin dia harusnya kuliah di jurusan Komunikasi, kali, ya. Lalu bekerja sebagai humas di PT KAI.
Perbincangan bergulir terus hingga kereta datang, dan dalam perjalanan menuju stasiun tujuan masing-masing. Macam-macam hal yang mereka ceritakan, bahkan jumlah kakak dan adik masing-masing serta apa profesi mereka. Namun laju kereta yang konstan dan dengan kecepatan tinggi, waktu yang dapat mereka gunakan untuk berbincang tidak banyak. Sisi turun lebih dulu, tak lupa pamit pada Mita sebelum keluar dari gerbong.
***
Stasiun yang dituju Mita tinggal satu stasiun lagi. Ponsel pintar putih gadis itu terus berdering singkat sejak tadi, pertanda ada yang meminta kabar darinya. Gadis itu hanya menahan diri agar senyumnya tidak mengembang terlalu lebar, malu kalau di tempat umum seperti ini terlihat senyum-senyum sendiri. Maka berhasil-tidak-berhasil Mita menahan diri, sambil berharap tidak ada yang sedang memperhatikan dirinya menatap layar ponsel membaca pesan yang datang.
Kereta pun tiba di stasiun tujuan Mita. Gadis itu berdiri dekat pintu, jadi ketika pintu terbuka, ia langsung melompat ke peron. Matanya langsung mencari-cari sosok yang menunggu dirinya di stasiun itu. Ta-daaah, itu dia orangnya. Kelihatannya sedang khusyuk menatap layar ponselnya sendiri.
Mita sedikit mengendap mendekati orang yang menunggunya. Ketika sudah dekat, pundak orang itu dijawilnya.
"Eh," orang itu mengangkat dagunya untuk menatap siapa yang menyentuh pundaknya barusan.
"Maaf ya, aku lama." Mita merasa tidak enak pada orang itu—pacarnya. Ia tahu, melontarkan alasan seperti apa pun, terlambat tetaplah terlambat, maka Mita tidak berusaha untuk mencari alasan mengapa ia terlambat sampai sana. Lelaki itu pun tampak tidak ingin membahas keterlambatan Mita, karena sekarang sudah berada di hadapannya.
"Dah, yuk, jalan." Keenan—nama lelaki itu—bangkit dari bangku peron dan melangkah ke arah luar stasiun, diikuti oleh Mita. Obrolan pun berlangsung seru. Mulai dari hal-hal biasa sampai ke hal yang mungkin orang-orang awam tidak mengerti apa yang mereka perbincangkan.
***
Minggu malam dihiasi oleh suara kendaraan bermotor yang memenuhi jalanan ibukota. Mita sedang dalam perjalanan pulang setelah berjalan-jalan dengan Keenan. Tapi ia sudah tidak bersama pacarnya itu, karena arah pulang mereka berlawanan sekali, jadi keduanya pulang masing-masing dengan kendaraan umum yang berbeda. Menurut kalian ini aneh? Tapi bagi mereka ini biasa, kok.
Tiga stasiun menjelang stasiun tujuan Mita, seorang ibu-ibu bertanya padanya.
"Dek, stasiun Citayam masih jauh, ya?"
Spontan Mita ingat untuk mengecek kembali ia sudah sampai stasiun mana. Ia mengenali daerah yang sedang dilewati oleh kereta ini, lantas menghitung sambil mengacungkan jari berapa stasiun lagi yang dimaksud oleh ibu-ibu itu.
"Masih lima stasiun lagi, Bu," jawab Mita. Sang ibu mengucapkan terima kasih, kali in percakapan tidak berlanjut. Mungkin para penumpang ini sudah letih setelah seharian beraktivitas. Mita pun merasa matanya mulai berat. Ia sudah mengurutkan apa saja yang akan ia lakukan ketika sampai di rumah.
Menunggu malam meliputinya dalam tenang hingga pagi kembali menjelang.