Dia duduk di dekat jendela, bagian non-smoking area, tidak terlalu sudut juga karena ada sekitar dua meja dengan empat tempat duduk yang ada di belakangnya. Tempatnya strategis kalau bisa dibilang begitu. Pemandangan dari luar—dimana banyak orang yang tengah berlalu-lalang di sekitar kafe—dapat terlihat dari tempat duduknya.
Sintia duduk terpekur, telapak tangannya menjadi penyangga dagunya. Iris hitamnya memandang tak jemu pada mereka yang berjalan, berlari ataupun berdiri di sisi kafe hanya untuk mendapatkan tempat berteduh dari hujan yang tiba-tiba saja turun.
Sudah berapa lama dia duduk di sini? Hujan sudah turun semenjak lima menit yang lalu. Matahari sudah tenggelam sejam yang lalu. Café au Lait yang dipesannya sudah habis sejak tadi, begitupun dengan cheese cake yang kini tinggal remah-remahnya saja di atas piring kecil yang tergeletak manis di dekat cangkir kosongnya. Manik hitamnya menatap keluar jendela. Atau mungkin tepatnya seperti menatap keluar jendela. Karena pada dasarnya, di kaca jendela yang terlindung dari matahari itu, Sintia bisa melihat seseorang yang tengah membersihkan meja di seberang mejanya dengan cekatan.
Itu—objek pengamatannya.
Rasanya lucu sebenarnya. Karena dia ingat pernah membaca komik pendek mengenai gadis dengan dua cangkir cappucinonya. Datang disetiap hari selasa dan mengenakan pita kuning serta duduk di meja dekat jendela. Sepanjang dia berada di kafe tersebut, gadis itu hanya memandang keluar jendela. Pada akhirnya, gadis itu ternyata menatap ke jendela hanya untuk melihat seorang pramusajinya yang ditaksir. Pita kuning digunakan karena pemuda itu pernah mengatakan soal betapa cantiknya seorang perempuan dengan pita kuningnya di suatu film. Dan dua cangkir itu untuk dinikmatinya bersama pramusaji yang tidak sadar bahwa dia tengah mengumpulkan keberanian untuk menikmati cangkir kedua bersamanya.
Lalu semua itu seperti terjadi padanya. Jika dulu dia mengatakan konyol pada cerita roman macam begitu, kini Sintia sudah bisa merasa malu. Karena dia sendiri kini tengah mengalaminya.
Di sana—ada seorang pemuda yang tengah bekerja dengan giat sebagai pramusaji. Namanya Reno. Dia adalah pramusaji di tempat ini. Dan Sintia sudah melakukan rutinitas anehnya ini semenjak beberapa bulan yang lalu.
Pertemuan pertama mereka terjadi di hari hujan. Waktu itu Sintia baru saja menerima kabar kalau dirinya tidak lulus di perguruan tinggi pilihan pertamanya. Dengan hati yang sedih, gadis itu lalu berjalan tak tentu arah. Hingga bertemulah dia dengan kafe ini. Selama lima hari berturut-turut dirinya tenggelam dalam keputusasaan. Setiap hari mengunjungi kafe ini hanya untuk merenung. Hingga akhirnya di hari kelima dia mendapatkan keajaiban. Jika tadinya dia masuk dengan kondisi hati yang kalut, maka ketika dia keluar dari kafe ini untuk yang pertama kalinya, hatinya lega. Dia bisa tersenyum setelah lama berpikir bahwa dunianya sudah berakhir.
Semua itu hanya karena sebuah sapaan lembut dan tulisan tangan di sebuah serbet yang diberikan oleh pramusaji yang melayaninya. Lama terdiam di tempat itu hanya dengan memesan sebuah café au Lait sepertinya mengundang rasa penasaran. Mungkin itu karena itulah Reno membawakan sebuah cheese cake yang tidak pernah dipesannya. Lalu ada sebuah serbet dengan gambar yang mirip dengannya dan catatan kecil di sampingnya ‘semoga sebuah sajian kecil ini bisa membuat yang menikmatinya bersedia memberikan sebuah senyuman’ yang menemani kue keju gratisannya.
Iya, Sintia tahu kesannya rada gombal. Tapi apalah daya jika hati tengah gundah gulana dan seseorang bersedia memberikan pencerahan? Spontan saja hari itu dia tersenyum untuk pertama kalinya. Maniknya mencari pramusaji yang kemudian tersenyum padanya ketika dia menyadari Sintia tengah melihatnya. Lalu semenjak itu, Reno selalu di pikirannya.
Namun, karena pilihan keduanya ternyata berhasil, maka Sintia resmi menjadi gadis sibuk yang mengawali aktivitas kuliahnya. Waktunya habis dengan berjuta kegiatan. Hingga akhirnya dia sempat berhenti berkunjung.
Ketika kuliahnya sudah mulai stabil dan segalanya sudah bisa ditangani, gadis itu kembali ke kafe ini. Dengan harapan penuh di hatinya untuk bisa bertemu Reno.
“Kakak udah mau pulang?” telepon genggamnya sudah menempel di telinganya, gadis itu tahu sudah waktunya dia meninggalkan tempat ini. Baterainya sudah penuh. Dia sudah bisa beraktivitas dengan kenangan cukup mengenai Reno selama seminggu ke depan. “Iya, tunggu di stasiun kalau begitu, Sintia juga sudah mau pulang.”
Lalu begitu, gadis itu menutup telepon dan bersiap-siap. Pembayaran lalu dilakukannya dengan meminta bill dan menyerahkan sejumlah uang yang kemudian kembali dengan sebuah data transaksi dan kembalian. Setelah beterima kasih, gadis itu berjalan menuju stasiun kereta tempatnya janjian dengan kakaknya.
“Kamu dari mana memangnya?” tanya Keenan—kakaknya yang pulang setelah kencan sehari dengan pacarnya.
“Kafe yang pernah kutunjukkan itu lho,” jawab Sintia sekenanya.
“Setiap hari minggu?” gadis itu mengangguk. Keenan hanya mengangguk, tidak melanjutkan percakapan. Mungkin terlalu capek, atau mungkin lebih memilih untuk memikirkan gadis yang baru saja ditemuinya tadi.
“Kak Mita apa kabar?”
“Hm? Dia baik, tadi titip salam untukmu,” Keenan tersenyum. Aura cinta ya.
“Nanti bilang aku titip salam juga. Kangen, lain kali jalan bareng. Jangan berdua mulu,” dimajukannya bibirnya tanda tengah mengambek. Biar dia sudah jadi mahasiswi juga, Sintia tetap manja. Akrab dengan kakaknya dan pacar kakaknya.
“Iya, iya.” Acakan di rambutnya membuat gadis itu mengeluarkan protes kecil yang kemudian hanya ditanggapi dengan tawa oleh Keenan.
Mereka masih di tempat itu, menunggu datangnya kereta yang akan membawa mereka pulang ke rumah. Setiap minggu rutinitas ini seperti kewajiban. Sintia selalu menunggu kakaknya selesai sembari menikmati kebersamaannya dengan Reno meski tidak sama seperti kakaknya dengan Mita. Tapi paling tidak, dia punya kesempatan untuk berada di ruangan yang sama dengan pemuda itu.
Konyol. Tapi cinta itu memang konyol. Toh, selama masih bisa berkonyol ria, Sintia tidak akan merasa rugi.
“Itu apa?” Keenan menunjuk sebuah kertas yang dipegang Sintia dari tadi.
“Ini? Oh, ini Bill. Tadi lupa dibawa-bawa terus,” ujarnya sembari mengangkat tinggi dan memperlihatkannya pada Keenan. Pemuda itu mengkerutkan keningnya.
“Ada tulisan tangan,” ujar Keenan.
“Hah?” dengan segera Sintia memperhatikan kertas yang ada di tangannya. Membalikkan data transaksi untuk mendapati sebuah nomor dan nama.
Reno, +6285-xxxx-xxxx
“Siapa Reno?”
Keenan bertanya pada gadis kecilnya. Sayang si gadis sudah melayang entah kemana. Bisu akan sekitarnya. Bahkan mungkin sebentar lagi akan menampar pipinya sendiri untuk memastikan bahwa dirinya tidaklah sedang bermimpi.