Ia sibuk menggoreng ikan ekor kuning yang telah dibumbui. Saat minyak yang dijerang itu menerima tubuh si ikan, tertuailah letupan. Segera dilindunginya tangan dengan tutupan panci. Karena ikan tidak boleh dibolak-balik terlalu sering agar dagingnya tidak koyak, ia beralih ke bulatan kompor satunya. Di wajan murah buatan supermarket ternama, ditumisnya bawang putih, bawang merah serta potongan cabai, sebelum disiram sedikit air, diberi penyedap dan segepok daun kangkung siap dilayukan. Harga cabai dan bawang yang terus meroket membuat ia mengeluh, membuat keluarganya juga mengeluh karena bumbu dapur yang digunakan menyusut dalam setiap porsi hidangan.
Namanya Siti Hartati Winarto, kerap dipanggil Bu Siti. Berjilbab. Berkacamata. Kerutan tipis sudah muncul di kulitnya yang sewarna kopi susu. Profesinya sebagai apoteker telah lama ia tinggalkan ketika menikah dengan suaminya, Joko Winarto. Nama yang mirip-mirip dengan Gubernur DKI Jakarta itu seringkali dijadikan bahan senda gurau suaminya, baik di kantor imigrasi tempatnya bekerja maupun di meja makan mereka. Suaminya ramah, senang melontarkan guyonan, juga dekat dengan anak-anak mereka, Reno dan Reni.
Hanya satu kali anak gadis mereka, Reni, dibuat menangis oleh keputusan suaminya, yakni ketika ia menyuruhnya membuang kucing yang ia pungut. Bukan tanpa alasan, sebab Bu Siti memang alergi terhadap kucing. Iba melihat anaknya begitu terpukul, Bu Siti meminta maaf. Reni pun maklum, dibantu oleh Reno yang dengan berat hati menaruh kucing berbulu putih kecoklatan itu ke dalam kardus dan ditelantarkannya di dekat sebuah kampus, berharap ada mahasiswa yang tergugah melihat mata abu-abu polos anak kucing yang kecil dan kurus tersebut.
“Ibu, Reno pergi kerja dulu,” di ambang pintu, putra sulungnya sedang memakai jaket tebal. Tidak lupa sebuah helm sudah tertenteng di sebelah tangan. Motornya terparkir menanti majikannya bersiap-siap.
“Hati-hati ya. Ndak makan dulu?” Reno meraih dan mencium punggung tangan ibunya.
“Ndak popo, Bu, Reno makan di kafe aja. Sekarang buat pegawai dapat jatah makan pagi dan makan siang. Kebijakan baru, Bu,” cengirnya.
“Oh ya? Wah, bagus itu. Bapakmu belum siap?”
“Lho? Tadi udah kok? Pak! Pak, jadi Reno anter sampai depan kantor ndak, Pak?” sambil mencari ayahnya, Reno masuk lagi ke bagian dalam rumah. Ditemukannya sang ayah sedang nyemil tahu goreng dan menyeruput kopi hitam, dengan santai membuka warta kota pagi itu. “Walah si Bapak. Ini sudah jam berapa toh, Pak, ayo agak diburu dikit. Renonya bisa telat ini, Pak,” protes anaknya.
“Iyo, iyo. Kamu ini ndak sabaran sekali. Sebentar, Bapak isep dikit lagi kopi ini...”
“Hiih si Bapak! Anaknya telat nanti itu, Pak!” Bu Siti pun harus turun tangan mendorong suaminya untuk naik ke motor putra mereka dan berangkat kerja.
**
Kondisi tubuh Bu Siti tergolong lemah. Dilahirkan dengan penyakit jantung turunan ibu dan asma turunan ayah, membuatnya rentan terhadap penyakit. Capai sedikit, ia bisa sulit bernafas. Untunglah jantungnya masih baik-baik saja jika menilik diagnosa dokter satu bulan lalu. Hari ini adalah hari check up rutin yang sudah dijadwalkan sebelumnya.
Terkadang Bu Siti merasa tidak enak pada suaminya yang pegawai negeri dan putranya yang pramusaji kafe. Uang keluarga habis hampir separuhnya pada biaya perawatan Bu Siti, sisanya dibagi antara pembelian sembako, membayar tagihan listrik, air, telepon, dan uang kuliah Reni. Sampai-sampai ponsel yang dipakai Reni terpaksa diikat karet gelang agar tetap menyala.
Bu Siti menghela nafas. Pemeriksaan dokter berlangsung seperti biasa. Jantungnya tidak ada masalah, namun ada sedikit keanehan di ritmenya. Dokter akan menganalisa lebih lanjut. Sementara itu, Bu Siti dilarang mengangkat beban berat, bekerja terlalu letih dan tetap menggunakan inhalernya apabila asmanya kambuh lagi. Cemas menggelitik, membuatnya kontan berdoa semoga ritme ganjil itu bukan apa-apa.