s a t u

13.4K 1.3K 378
                                    

"Matahari udah hampir nongol. Shalat subuh dulu, De."

Suara Ferdi lama-kelamaan mengganggu tidur nyenyak Windy. Pelupuk mata yang awalnya tertutup rileks kini semakin mengerut. Keningnya pun mengernyit. Menandakan tak lama lagi cewek itu akan terbangun.

"Udah tau kalo nyepelein sholat itu dosa. Umur lu berapa sih? Lima tahun?"

Aaarrgh!

Ceramah itu lagi. Setiap pagi. Seperti kaset rusak yang benar-benar mengusik pendengaran.

"Aku lagi dapet, Mas," gumam Windy.

Cewek itu menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Membungkus diri. Seperti ulat yang menjadi kepompong. Berdoa agar kakak laki-laki nomor duanya itu segera menjauh setelah mendengar alasan yang dia gumamkan. Namun ternyata, apa yang terjadi selanjutnya tak sesuai harapan. Kakaknya yang berbalut baju koko berserta sarung itu justru bersedekap. Bersandar di bibir pintu.

"Emangnya kalo lagi dapet boleh kesiangan? Harus bilang apa gua sama Mas Ardi kalo lihat lu begini? Apa kata Papa dan Mama kalo anak perempuannya sekarang jadi pemalas?"

Huffft!

Windy benar-benar gerah jika Ferdi mengungkit perihal tanggung jawab sebagai kakak pada saudara tertua. Terlebih lagi jika terkait pada mendiang orang tuanya.

Auto lose.

"Iya, Mas, iyaaa. Aku bangun nih."

Windy menyingkap selimutnya. Bangun dan duduk dengan mata yang masih terasa sangat berat. Mulutnya menguap lebar. Mengangkat kedua tangannya dan meluruskan kaki. Seperti kucing saja. Lalu tangannya mengusap-usap wajah yang agak berminyak, sisa-sisa krim perawatan kulitnya di malam hari.

Ferdi terkekeh sendiri melihat adik perempuannya yang kini telah tumbuh dewasa itu. Tak tega melihat kondisi Windy yang sepertinya sangat kelelahan, dia berkata, "Buruan mandi. Lu nggak usah masak. Pagi ini sarapan bubur Mang Ujang depan komplek sebelah aja."

Windy mengangguk-angguk lemah. Menguap lebar sekali lagi. Kemudian merenggangkan otot bahunya yang terasa kaku.

"Tadi malam tidur jam berapa, De?" tanya Ferdi basa-basi setelah melirik buku-buku tebal dan alat tulis yang berserakan di lantai.

Windy bergumam-gumam sendiri. Mengingat kapan dia menyerah belajar dan memutuskan untuk tidur tadi malam.

"Hmm, jam dua? Atau jam tiga? Lupa. Hari ini ada mid test. Biokimia. Capek hapalin nama-nama enzim nggak jelas gitu, Mas."

Ferdi tersenyum maklum. Ia menegakkan tubuhnya. Menjauh dari pintu dan memasuki kamar Windy. Kemudian duduk di tepian ranjang.

"Jangan dihapal, Win. Dipahami," saran Ferdi. Masuk akal.

Mata pria berumur dua puluh enam tahun itu menyipit. Terdapat kerutan tipis dan lucu pada sudut matanya.

"Ngomong sih gampang! Mas kan pinter! Kita tuh beda. Apa daya otak aku yang cuma punya kapasitas kecil."

Windy mengerucutkan bibir ketika Ferdi mengacak-acak rambut panjangnya. Membuat cewek itu semakin kusut.

Puas dengan karyanya, Ferdian bangkit dan beranjak dari kamar Windy. Namun sebelum keluar, dia berkata, "Mandi gih. Gua ada janji. Nggak boleh telat ke kantor."

Windy memutar bola matanya. Dengan malas, dia pun mengambil remote AC dan mematikan mesin penyejuk ruangan tersebut.

"Eh," Ferdi menoleh ke belakang. "Jangan lupa kasurnya diberesin. Selimutnya dilipat rapiㅡ"

TIKUNGAN BAGUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang