d u a

8.6K 1.1K 290
                                    

Hujan.

Langit memandikan bumi. Membasahi permukaan wajahnya yang sudah terlalu lama terbakar.

Seorang gadis berseragam putih abu-abu dengan rambut dikepang sebanyak dua puluh satu ikatan itu berdiri bosan. Wajah manisnya tertekuk. Pertanda suasana hatinya yang tak terlalu baik.

Windiana menunggu abang keduanya yang tak kunjung tiba. Sudah hampir dua puluh menit ia duduk di halte yang tak jauh dari kampus barunya, tempat dimana dia akan menuntut ilmu dan meraih gelar sarjana.

Jam tangan sudah menunjukkan pukul enam lewat dua belas menit namun mobil yang biasa digunakan oleh Ferdi masih tak terlihat. Sialnya lagi, pakaian yang Windy kenakan basah. Langit sempat menyiramnya tanpa kompromi. Dingin dan lembab sudah pasti menyerbu perawakan kurusnya. Hari pun kelabu pekat. Matahari tak sudi untuk repot-repot mengeringkan pakaian dan rambut Windy. Sungguh keras sekali cerita hari ini untuknya.

Putri bungsu almarhum Bapak Soehendra itu mengeluh. Menggerutu karena abangnya yang masih terjebak macet kota Jakarta. Sedangkan teman-teman sesama peserta Ospek yang lain telah mangkir. Menghilang ke tujuan masing-masing. Menyisakan dirinya sendirian.

Saat Windy memutuskan untuk membunuh waktu dengan mengaduk-aduk aplikasi yang ada pada ponsel, tanpa sepengetahuannya, datang dua orang laki-laki. Bergaya urakan. Seperti preman, dengan tato-tato di tubuh mereka. Ataukah memang mereka adalah orang-orang yang dia sangkakan?

"Cewek, sendirian aja?" tegur salah satunya.

Windy mengutuk kondisinya petang itu. Petaka. Dua laki-laki bermata bajingan itu menatap pakaian dan tubuhnya yang kuyup.

"Kita temenin aja yuk, Neng?" Yang lain ikut menggoda. "Biar asyik."

Windy menggeleng cepat. Dia memindahkan tas ransel yang berada di punggung ke pangkuannya. Menutup sebagian tubuh dan dadanya. Kemudian berdiri cepat, bermaksud untuk meninggalkan orang-orang kurang ajar dan halte sepi itu.

Namun ketika dia hendak melangkahkan kakinya, Windy dan dua orang itu dikejutkan oleh bunyi klakson yang nyaring. Suara bising yang tiba-tiba menginterupsi itu berasal dari sebuah mobil SUV berwarna putih.

Bukan, itu bukanlah mobil Ferdi. Windy tahu dan hafal benar mobil pribadi ataupun mobil kantor yang sering abangnya gunakan. Dan benar saja, ketika pintu mobil itu terbuka, orang yang menginterupsi aksi kabur Windiana bukanlah Ferdianㅡabangnya.

Cowok itu mengenakan kaos hitam polos agak kebesaran untuk tubuh kurusnya, celana dan sepatu basket itu membelah hujan. Berlari ringan ke arah halte. Menghampiri Windy dan dua penganggu itu.

"Lu ngapain nunggu di sini?! Gua cariin dari tadi!!" teriak cowok itu dengan nada seakan ia sedang marah besar.

Windy bingung setengah mampus. Apa-apaan cowok ini?! Baru saja ia diganggu preman, sekarang datang cowok asing ini. Tiba-tiba datang dan marah-marah padanya. Kenal saja tidak.

Dan Windy pun tersadar saat tangannya ditarik oleh cowok itu. Ah, apakah dia mencoba menyelamatkan Windy dari gangguan dua berandalan tadi? Jadi, Windy putuskan untuk diam saja dan membiarkan dirinya ditarik menjauh dari halte tersebut.

Cowok itu membawanya berjalan ke arah mobil SUV tadi dengan terburu-buru. Di bawah tirai hujan ia berkata, "Lu kenapa di sana sendirian? Bahaya!" Cowok itu membukakan pintu mobilnya untuk Windy, tak peduli hujan lebat ikut membuatnya kuyup. "Kampus udah sepi. Kenapa nggak cepat pulang? Malah duduk di situ!"

TIKUNGAN BAGUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang