1. A Death Wish

1.1K 31 3
                                    

Udara pagi Pudding Lane masih menebarkan bau hujan. Jalanan yang lembab dan berbau daun busuk memenuhi pandangannya. Langit mendung, semendung hati pemuda itu pagi ini. Matahari yang biasanya bersinar kini bersembunyi di balik awan-awan. Berpuluh-puluh kendaraan silih-berganti melewatinya—menyemburkan asap buang, debu jalanan, dan kemuakan ke segala arah.

Tangannya memilin-milin kertas lusuh itu tanpa sadar. Selarik pesan yang tertulis di dalamnya mulai pudar oleh keringat. Semakin ia mengingat pesan tersebut, semakin memuncaklah rasa kesalnya, dan pilinannya bertambah keras. Pemuda itu menatap jalanan beraspal di depannya dengan hampa.

Bunuh H.T. demi ayahmu yang sekarat ini.

Ia membayangkan kata-kata itu mengambang di sebuah lautan yang dingin, terombang-ambing oleh arus. Ia membayangkan kata-kata itu satu persatu tenggelam dimakan ombak, sehingga ia tidak perlu mengingatnya lagi. Ia membayangkan kata-kata itu tidak terucap dari bibir John sebelum dia meninggal, sehingga ia tidak perlu merasa berkewajiban memenuhinya. Ia setengah berharap tombol ‘undo’ benar-benar ada dalam kehidupan nyata.

Pemuda itu meremas kertas tersebut untuk yang terakhir kalinya sebelum membuangnya ke pinggir jalan.

Matanya yang sayu dan memar-memar kini berair di sudut-sudutnya. Air matanya mengalir; sebulir cairan asin itu merembes ke dalam luka di pipinya, menimbulkan sengatan rasa sakit yang tiba-tiba. Ia tidak menangis karena John. Ia tidak menangis karena siapapun. Ia justru malu karena tiba-tiba menangis tanpa sebab, sehingga pemuda itu buru-buru membelakangi jalan, menyeka air matanya yang berhamburan.

Dengan tangan basah, diacak-acaknya rambut cokelat kayunya sambil menggerutu kesal.

Dialah Tom Canty, anak seorang mantan pembunuh bayaran. Dialah Tom Canty, bocah ingusan yang tinggal di sudut kumuh Offal Court dengan seorang ibu, seorang nenek, dan dua orang kakak perempuannya. Dialah Tom Canty, pemuda yang sekalipun tidak pernah merasakan bilah pisau atau gagang revolver di tangannya—kecuali karena terpaksa. Dialah Tom Canty, orang yang melabeli dirinya sendiri dengan....

... pengecut.

Tom mengibas-ngibaskan tangannya, beranjak bangkit dari lantai aspal. Ditatapnya kertas lusuh yang telah dibuangnya tersebut. Tulisan di atasnya telah memudar karena genangan air, tetapi Tom masih bisa membaca kata-kata terkutuk itu dengan jelas.

Bunuh H.T., dan bungkam E.T. Ambil apa yang seharusnya menjadi milik kita.

“Tidak mau,” Tom menggeleng pelan. Ia berbicara sendiri. “Kau saja sendiri, John. Keluar dari liang lahatmu dan bunuh sendiri dia.”

Dengan langkah yang nyaris seperti mimpi, pemuda itu kembali ke apartemen bobroknya.

 .

.

Lantai satu Offal Court penuh oleh para pemabuk, pelacur, penjudi, dan pencopet. Teriakan dan suara gelas pecah menjadi musik kesehariannya. Dua perempuan berbaju minim melewatinya sambil mengerlingkan mata ke arahnya, yang tidak dilirik sama sekali oleh Tom. Perempuan-perempuan itu bukan urusannya. Tom hanya ingin menemui keluarganya.

Setelah mendorong seorang pria mabuk dari pinggiran tangga, Tom menaiki tangga menuju ke atas—setengah menahan napas oleh aroma air seni dan alkohol yang menusuk. Ia heran, mengapa orang-orang kumuh Offal Court tergila-gila dengan mabuk. Mungkin mereka hanya ingin nge-fly. Kabur dari dunia ini dan segala permasalahannya dengan sebotol anggur murah. Ia memutuskan untuk melupakan mereka dan kembali pada kegiatannya semula—memikirkan cara untuk menyapa keluarganya yang baru dirundung duka.

Keluarga “besar” Tom tinggal di lantai tiga. Ia harus naik-turun dengan tangga karena lift kotor di ujung ruangan sering rusak. Lantai dua hanya berupa koridor membosankan berisi lima pintu unit rumah—sebagiannya kosong—dan satu toilet umum. Ada jendela kecil di ujungnya, yang biasa digunakan para penghuni apartemen untuk merokok. Jendela itu tidak menyuguhkan pemandangan apa-apa selain langit mendung London yang sudah sangat dihafalnya.

Tom mendaki tangga lagi, lambat laun mulai mencium bau pancake gosong.

Di lantai tiga, dan di pintu ketiga dari kiri, ia melihat ibunya, terduduk di pinggiran kasur keras sambil mengelap hidungnya. Dia habis menangis. Ibunya masih memakai gaun hitam lusuh yang dikenakannya sewaktu pemakaman ayahnya, yang itu berarti kemarin sore. Rambut cokelatnya diikat asal-asalan; wajahnya memerah karena alergi air mata. Wanita itu mendongak dan begitu mendapati Tom di ambang pintu, bibirnya mengulas senyum tipis.

“Masih ada roti jatahmu di meja. Makanlah,” kata sang ibu lembut.

Tom membalas senyum ibunya, merasa nelangsa. Di meja makan yang sempit itu hanya ada sepiring roti tawar murah dan segelas kecil bir. Ibunya hanya seorang peminta-minta; terkadang Tom didaulat menjadi penggantinya saat kondisi sang ibu sedang kurang enak. Gaji seorang peminta-minta tidaklah seberapa di kota ini.

Meskipun ayahnya seorang pembunuh bayaran, dia tidak pernah membagikan hasil bayaran pada keluarganya. Mungkin takut memberi makan mereka dengan uang haram, entahlah. Satu-satunya yang pernah dibagi sang ayah adalah sejumlah uang hasil copetan—50 pounds, lumayan untuk membeli makanan untuk beberapa hari. Setelah itu, Mum, Tom, dan dua kakaknya—Bet dan Nan—harus menghidupi diri tanpa berharap sepeser pun dari John.

“Mum saja. Belum makan dari kemarin, ‘kan?” tolak Tom halus.

Ibunya menggeleng, hendak memaksa putranya untuk makan—sebelum Tom menyelanya.

“Bet dan Nan ke mana? Grams...?”

“Sudah pergi lagi. Nenekmu masih di makam Dad. Biarkan saja dia.”

Semenjak John sakit-sakitan, ibunya berhenti minum minuman keras, dan mulai menjadi sosok ibu yang sesungguhnya bagi putranya yang sekarat. Grams adalah orang yang paling meratapi kepergian John. Tak ayal, ia telah kehilangan seorang anak sekaligus teman mabuknya karena kematian. Masih segar dalam ingatan Tom bagaimana mereka dulu menyumpahi satu sama lain—“kuharap kau membusuk di neraka, John sayang!”

Hanya ibu, Bet dan Nan-lah orang “waras” di keluarga Tom. Terutama ibunya, yang—Tom bersumpah—akan ia lindungi sampai mati dengan darahnya dan darah orang lain kalau perlu, Ibunya-lah yang menamengi Tom dari hajaran sang ayah ketika hasil mengemisnya tidak seberapa. Dan juga dari Grams, kalau mabuknya sudah kelewat parah. Di usianya yang ke-74, Grams masih enerjik dalam urusan memukul.

“Apa isi surat ayahmu, Thomas?” tanya ibunya tiba-tiba. Suaranya terdengar seperti orang yang akan dihukum mati.

Tom terkesiap.

“Eh... Ini....” Ia ingin berbohong tiba-tiba. Benaknya sibuk menyusun kalimat. “Semacam permintaan maaf,” atau “hanya pesan untuk menjaga Mum dan kakak-kakakku”. Namun wajah Father Andrew, pendeta tua dari masa kecilnya, berkelebat. Jangan berbohong, hati kecilnya bilang. Tapi, masa' aku terang-terangan bilang kalau....

“Tidak bisa bilang. Eh... perintah untuk melakukan sesuatu, tapi aku janji ini tidak akan menyusahkan keluarga kita. John—maksudku Dad bilang hanya boleh diceritakan setelah kulakukan,” katanya akhirnya.

Sedikit mencurigakan, tetapi boleh lah. Toh ibunya tidak memicingkan mata seperti yang orang curiga sering lakukan, melainkan hanya menatapnya dengan hampa. Tom menghela napas. 

Menjaga rahasia itu seperti mengalungkan sebongkah batu besar di dadamu, dan saat rahasia itu diceritakan pada orang lain, batu itu... menyusut.

“Hh. Apapun itu, jangan susahkan keluargamu. Aku menaruh janji padamu,” komentar Mum tegas. Tom terkesiap untuk yang kedua kalinya.

Batu yang dikalungkan ke dadanya kembali bertambah berat.

The Prince and the Pauper [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang