4. Unexpected Encounter

268 18 8
                                    

Keesokan harinya, pagi hari.

Beberapa jam yang panjang telah berlalu sejak Jane meninggalkan dirinya. Pamit kuliah, katanya.

Aku juga mau kuliah, pikir Ed dongkol. Entah sudah berapa lama ia "izin" dari Oxford. Selama itu pula lah ia diharapkan bisa mengejar ketertinggalannya dengan belajar secara otodidak, lewat guru privat, dan segudang program lainnya karena sang ayah sudah mempersiapkannya menjadi penerus perusahaan keluarga. Mungkin suatu saat ayahnya akan sadar bahwa putranya bukan orang yang pantas untuk itu. Mungkin suatu saat ayahnya akan membuka mata dan, hei, Ed hanya seorang pemuda penyakitan; jangankan menjalankan bisnis, untuk tertawa pun susah.

Ed kini tengah berdiri di pinggiran kasur. Mulut-hidungnya ditutupi selembar surgical mask.

Ia tidak mengantongi banyak barang untuk ekspedisi kabur hari ini. Sebuah ponsel, sebotol hand sanitizer, cadangan masker, dan dompet berisi segepok uang. Ia juga menyampirkan topi bisbol murahan di atas kepalanya. Topi itu dibelinya waktu umur 17 tahun, di saat ia masih rajin bermain bisbol dan menonton pertandingan bisbol di sekolahnya. Sekarang topi itu membuatnya terlihat seperti... yah, anak 17 tahun.

Saat Ed sedang bersusah payah meraih sepatu dari bawah rak, tangannya—yang bertumpu pada dinding di depannya—tanpa sengaja menekan tombol bel pemanggil pelayan di dekatnya.

Sial.

Pemuda itu urung mengambil sepatunya dan buru-buru menyambar papan "Jangan Ganggu Sang Pangeran" dari dalam lemari pakaian. Papan itu buatannya sendiri saat berumur 9 tahun, dari potongan karton tebal dan coretan-coretan spidol. Ia biasa menggantungkannya saat akan tidur atau ketika tidak ingin diganggu. Papan itu ternyata masih lumayan berguna sampai sekarang.

Secepat kilat, digantungkannya papan konyol itu di paku yang tertancap di depan pintu kamarnya. Ed kembali menutup pintu, menguncinya dari dalam. Selesai. Yang tinggal ia lakukan adalah....

Mengambil sepatu, memakainya asal-asalan, membuka jendela kamarnya, menuruni teralis yang tersampir di pinggiran jendela hingga kakinya menapak tanah dan memanjat tembok tebal di belakang rumahnya dengan sisa-sisa tenaga yang tersisa

Ed membuka maskernya sesaat setelah ia berhasil keluar dari kungkungan mansion Tudor, menghirup napas sebanyak-banyaknya. Kelelahan. Ia memasang kembali masker itu, kemudian berlari. Berlari sejauh mungkin.

.

.

"Tapi saya bisa dipercaya, kok! B-begini, saya benar-benar butuh pekerjaan dari Anda. Saya bisa... err... mengepel, menyapu, apa saja. Saya tidak akan dekat-dekat mesin kasir, janji!"

Pria lima puluh tahunan pemilik usaha permen itu menatapnya garang. Alisnya yang putih mengerut kesal. Pria itu mengingatkan Tom akan sinterklas—ikon gendut lucu yang sering dilihatnya di sampul kartu ucapan Natal dengan janggut putih dan kereta rusanya. Bedanya, sinterklas yang satu ini jauh lebih menyeramkan.

"Bukannya kamu pencopet yang minggu lalu dicari-cari polisi itu?" tanya si sinterklas penuh selidik. Tom memucat. "Berani juga keliaran di sini. Kau bisa kulaporkan sekarang juga, tahu."

"Sekarang saya butuh pekerjaan yang benar!" Tom mengelak dengan gemas. Sinterklas itu tercenung. "Percaya, deh, Tuan, saya bukan pencopet lagi. Saya mau memulai hidup yang baru."

Tom sadar seberapa klisenya kalimat yang baru saja dilontarkannya. Ia juga sadar bahaya yang mengancamnya seandainya si sinterklas benar-benar melaporkannya ke polisi. Masalahnya adalah ia butuh pekerjaan apapun sekarang juga, demi menyenangkan ibunya. Tom bahkan rela menjadi tukang sapu jalanan asalkan bisa digaji tetap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 13, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Prince and the Pauper [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang