2. Sisterly Love is(n't) Always Genuine

371 15 3
                                    

Sementara itu, di kota yang sama, di bumi yang sama, dan di naungan langit yang sama, seorang pemuda lain sedang meringkuk di kamarnya.

Rambut cokelat kayunya yang biasanya rapi kini acak-acakan, sementara ia bergelung di atas kasur dengan tangan memeluk dada. Wajahnya memucat. Rasa sakit tak tertahankan itu muncul lagi—rasa sakit yang perlahan-lahan merenggut usia mudanya.

Pemuda itu terbatuk beberapa kali. Ia buru-buru menyambar tisu dari meja samping tempat tidurnya dan mengeluarkan dahaknya di sana. Tisu itu kini ternoda warna kuning dan merah. Dilemparnya tisu itu ke tempat sampah, kemudian mengambil tisu lain untuk mengelap sisa-sisa dahak di bibirnya. Aktivitas itu berulang hingga beberapa kali.

Hal ini selalu terjadi setiap pagi. Setiap saat, malah. Mengurung diri di kamarnya dan mengurusi dirinya sendiri, memeluk dadanya yang sakit, memegangi kepalanya yang berat, dan mengeluarkan dahak yang seolah tidak ada habisnya. Dirabanya suhu dahinya. Panas. Aneh, karena selama ini ia justru menggigil.

Samar-samar, ia teringat perkataan sang dokter padanya.

“... Ampicilin 250 sampai 500 miligram 4 kali sehari, atau....”

Ia dengar, ampicilin biasa digunakan untuk mengobati salmonella atau gonorrhea. Yang benar saja....

“... Co-trimoxazole 960 miligram setiap 12 jam sekali....”

Ia mengambil yang ini, tetapi sepertinya benda itu malah memengaruhi kejiwaannya. Baru-baru ini ia melihat ayahnya memiliki telinga gajah dan belalai gajah ketika pria itu mengunjunginya. Selain itu, ia jadi lebih cepat lelah dan sulit tidur malam (di saat sang dokter justru menekankan tidur malam yang cukup untuknya. Ironis). Baginya, hidup adalah serangkaian esai membosankan yang harus dikerjakan sebelum bisa pulang.

Dokter bilang, itu hanya efek samping pengobatan. Pemuda itu justru harus bersyukur karena efeknya tidak merambat ke kesehatan fisik seperti alergi, hepatitis, atau gagal ginjal. Padahal, apa yang harus disyukuri? Dokter lugu itu tidak tahu betapa tertekannya sang pemuda dalam menjalani serentetan pengobatan ini. Bayangkan saja. Nyeri ini, nyeri itu, minum obat ini, telan obat itu....

Setidaknya ia punya diri sendiri. Setidaknya ia tidak mencemarkan nama baik ayahnya.

Tok tok tok.

“Ed?”

Seseorang memanggilnya. Seseorang itu juga telah mengetuk-ngetuk pintu dengan ritme anggun dan sopan, tidak seperti ketukan ayahnya yang keras dan terburu-buru. “Ini Jane. Boleh aku masuk? Eh... kau sudah bangun?”

Seperti yang ia duga. Jane. Saudara jauh Ed yang lebih dekat dengannya daripada kakak-kakak tirinya sendiri. Ya, nama pemuda itu adalah Ed dan dia punya kakak-kakak tiri—persis Cinderella—tetapi kita tidak akan membahas masalah itu sekarang.

Ed terbatuk-batuk. Sembari menarik tisu dari kotaknya, dan menyeka cairan yang tersisa di bibirnya, ia berteriak. “Masuk!”

Pintu ruangan terbuka secelah. Jane menyelip di antara rekahan pintu, diikuti oleh seorang wanita lain.

Mary.

Ed menelan ludah. Mary adalah kakak tirinya, lebih pantas disebut bibi daripada kakak. Wajahnya sudah berkerut-kerut di usianya yang kepala empat. Rambut cokelat ikal pendeknya ditata dengan gaya kuno, diselipkan di balik bando berhias berlian asli. Pakaiannya elegan dan modis, khas selera warga London saat ini—tetapi bahkan kemeja ketat warna khaki dan pantalon lurus yang dikenakannya tidak bisa menyembunyikan aura kaku khas wanita dewasa yang dimilikinya. Sulit dipercaya bahwa Mary memiliki kekerabatan dengannya.

The Prince and the Pauper [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang