3. Grams' Wailings

246 15 0
                                    

"John-ku sudah pergi! John-ku sudah pergi—iii!" teriak Grams histeris.

Ibu Tom kewalahan. Mertuanya—atau mantan mertuanya, yang jelas masih berstatus nenek bagi anak-anaknya—mulai sulit diatur sekarang. Wanita tujuh puluh empat tahun itu hidup dalam imajinasinya sendiri, dalam kenangan usangnya bersama John yang telah meninggalkan dunia. Sekarang, Grams meracau lagi.

"Kenapa bukan aku, John.... Kenapa? Aku, si tua renta menyedihkan ini.... Aduh, John. Mamma-mu ini tersiksa sekali tanpamu. Rasanya seperti di neraka!"

"Mamma, mandilah dulu," bujuk ibu Tom lembut. Dicengkeramnya bahu kurus Grams yang gemetaran. "Anda belum mandi dari kemarin sore...."

"Ah! Aku yang memandikanmu waktu itu, John!" celetuk Grams, seolah melupakan kehadiran ibu Tom. "Sudah lama sekali aku tidak memandikanmu, gagak kecilku. Setelah tahun-tahun itu... aku memandikan John-ku saat tubuhnya beralih status menjadi mayat!"

Ibu Tom menyerah. Perilaku mertuanya sudah keterlaluan.

Ditinggalkannya Grams seorang diri di koridor, beranjak ke kamar tidur. Cahaya matahari sore membungkus tubuh Grams yang masih terpaku di depan jendela. Mata wanita itu mengarah jauh ke ufuk barat. Apapun yang diperhatikannya, tak seorang pun tahu. Mungkin dia sedang menunggu detik-detik matahari tenggelam.

Mungkin dia membayangkan matahari itu sebagai peti mati anaknya—sedikit demi sedikit tenggelam di balik permukaan tanah.

"Grams."

Wanita renta itu menoleh.

Tom berdiri di sisi tangga. Dia pucat akibat angin dingin yang melingkupi London. Sehelai jaket tipis membalut tubuhnya yang kurus, melapisi kaus putih kotor yang koyak di ujungnya. Penampilan cucunya itu terlihat sangat menyedihkan.

"Gagak Kecil, kau bisa hipotermia dengan pakaian setipis itu," desah Grams tanpa menoleh. Namun sepasang mata kecilnya melirik sosok Tom dengan lembut.

Tom merinding. Angin yang menerobos masuk jendela dan dinding yang berlubang-lubang mendadak bertambah dingin. Gagak Kecil. Gagak Kecil adalah julukan yang diberikan neneknya pada John karena warna rambutnya yang sekelam bulu gagak. Mungkinkah sang nenek mulai menganggap Tom sebagai John? Warna rambut mereka, 'kan, beda.

"Sudah biasa, Grams," jawab Tom datar. Ia memutuskan untuk tidak mengacuhkan perkataan neneknya. "Grams sendiri bagaimana? Belum mandi, 'kan? Biar Nan yang menyiapkan airnya setelah di—"

"Dingin, John! Dingin!" teriak Grams tiba-tiba. Tubuhnya berbalik menghadap Tom, alisnya mengerut marah. "Kau tidak bisa peduli sedikit saja padaku? Demi apapun, dingin sekali.... Mereka bilang ada jenis neraka yang lebih dingin daripada Antartika. John.... Kalau aku masuk neraka, aku tidak mau masuk ke sana...."

Air mata membanjiri pipi keriput Grams. Tom tercengang.

Wanita itu, entah karena pengaruh bir atau tidak, tiba-tiba berlutut, kemudian menubrukkan dahinya ke lantai. Tom bisa mendengar isakan teredam dari mulut neneknya. "Astaga, Tuhan.... Aku mau bertobat. Tapi aku hanya mau bertobat dengan John! Dia membunuh orang-orang, ya Tuhan! 10 orang!"

"Grams!" desis Tom, kaget. Perkataan neneknya berusan seolah mendorong keluarga Tom ke puncak jurang. "Hati-hati kalau bicara! Nanti ada yang dengar."

Tentu saja. Meskipun Offal Court penuh oleh para pendosa, tetapi mereka hanya menganggap John sebagai pencuri. Profesi kelam John yang lain, yang menuntut pria itu untuk mempelajari cara membunuh seseorang dengan apik, disembunyikan dari siapapun kecuali keluarganya. Kalau ada yang dengar....

Ah, dia punya ide.

Tom menghampiri Grams, memaksa wanita itu berdiri. Dipeluknya tubuh kurus neneknya tanpa pikir panjang. "... Begini saja. Bagaimana kalau kau anggap aku John, kemudian kita sama-sama ke Andrew? Katamu kau mau bertobat. Hm? Bagaimana?"

Tubuh Grams menegang.

"Apa-apaan kau? Kalau aku masuk neraka paling tidak aku bisa bertemu Gagak Kecil-ku," balasnya dingin. Tom terpaku. Grams telah kembali menjadi dirinya yang semula. "Aku tahu apa yang diwasiatkan ayahmu untukmu. Lakukanlah. Lakukan atau kubunuh keluarga kecilmu yang menyedihkan itu—kalau perlu dengan aku di dalamnya. Mengerti?"

Gantian Tom yang gemetar. Neneknya benar-benar sudah keterlaluan.

.

.

"Kenapa Mum tidak bilang?"

Ibu Tom mengurut pelipisnya yang mendadak pusing.

"Kupikir itu tidak penting untukmu. Toh tingkahnya setiap hari selalu begitu... minum-minum terus. Nah, Tom, ini akibatnya kalau kau menenggak bir terlalu banyak dan jadi pengangguran."

Tom mengangguk pelan, menggigit bibir.

Ternyata neneknya memang punya kelainan jiwa. Ibu Tom sendiri yang bilang. Jadi itu sebabnya Grams kadang lembut dan kadang kasar, kadang mengelusnya dan kadang menjitaknya. Setidaknya Tom lega sekarang. Ia kira Grams benar-benar akan membunuh seluruh keluarganya apabila Tom tidak... ah, sudahlah.

Ibu Tom yang kalem berbeda jauh dengan suami dan mertuanya yang temperamental. Nama gadisnya Johanna Morr. Jo bertubuh kurus, dengan wajah lonjong dan mata dalam. Dulu Tom sering bercanda bahwa nama depan ibunya mirip dengan nama depan sang ayah. Saat itu Jo hanya tertawa, dan menjelaskan bahwa pernikahan mereka bukan disebabkan karena kemiripan nama apapun.

Jo adalah manusia aneh di mata Tom. Dia memiliki tiga anak yang sering membuat ulah, tetapi tidak pernah menempeleng satu pun dari mereka. Dia dinikahi kriminal bertangan dingin tetapi tidak pernah sekali pun bertengkar dengan suaminya. Mum terlalu lembut, pikir Tom. Ia kini berkesimpulan bahwa semua ibu adalah manusia ajaib.

"Jangan terlalu pikirkan nenekmu. Dia biar aku yang urus," celetuk Jo. Suaranya tidak terdengar canggung lagi. "Hmm... Tom, kita bicarakan hal lain saja. Kapan kau akan menikah?"

Tch. Mum, kau ini benar-benar manusia atau apa, sih?

"John, 'kan, baru dimakamkan kemarin," sindir Tom jengah. Ia masih tidak nyaman menyebut John sebagai "Dad". "Kenapa harus soal itu, sih? Yang lain saj—"

"Tapi umurmu 20 tahun, Tom," potong ibunya kalem.

"Tapi aku tidak tertarik pada hal seperti itu, Mum."

Jo meliriknya tajam. "Kau tidak tertarik pada wanita?"

Tom mengangkat alis. Ia tidak menjawab.

Sulit memikirkan soal jodoh di tengah berkabung begini. Pemuda itu sampai heran bagaimana bisa ibunya meratapi kepergian John sehari penuh dan keesokan harinya bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa kemarin. Pengontrolan emosi, pikirnya. Mum pintar mengontrol emosi.

"Sewaktu sakit, ayahmu pernah bilang dia ingin punya cucu dari salah satu anak-anaknya," kata Jo lagi, meliriknya penuh arti. Tidak ada kesan menyudutkan dalam lirikan itu. "Kau pasti sudah mendengar soal Bet yang keguguran. Anak malang...."

"Ya. Aku tahu."

"Nah, Say, bukannya ingin menyusahkanmu atau apa. Kita memang—" Jo kehabisan kata untuk beberapa saat, mengedarkan pandangan ke sekeliling apartemennya yang berantakan. "—kurang berkecukupan. Tapi jangan pikirkan kami. Kau harus cari kerja di kota, tinggal di rumahmu sendiri, menghidupi hidupmu sendiri." Kemudian, sambil berbisik, ia menambahkan. "Offal Court tidak bagus buat anak muda sepertimu. Dengar-dengar separuh peminum di lantai bawah punya... uh, kelainan."

Tom menggerenyit.

"Justru karena itu aku harus tetap di sini, 'kan? Bagaimana kalau ada preman yang menggoda Mum? Kalau ada yang merampok rumah ini?" cecar Tom. Namun Jo malah tertawa.

"Memangnya apa yang bisa dirampok di sini? Lagipula, aku dan Grams juga tidak cantik," elaknya. Skor satu kosong bagi Tom. Skakmat.

.

.

catatan: chapter ini adalah terjemahan rasa frustasi saya waktu nemuin kebanyakan cerita the Prince and the Pauper di Wattpad bertema boys love tingkat akut. Waaaaak!

The Prince and the Pauper [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang