03. Percaya atau Tidak

50 1 1
                                    

Lagi-lagi Ellena menguap dengan cara yang tidak anggun, padahal sekarang adalah jam pelajaran pertama. Otaknya seperti di selimuti awan hitam, ada petir yang menyambar, lantas terbakar. Rasa malas dan mengantuk sangat mendominasi hampir setiap pagi di hari-hari sekolah gadis itu. Di tambah lagi, kali ini ia merengut saat perut mungilnya berbunyi.

"Mi.." ia merengek pada teman sebangkunya yang memiliki sifat sangat berbeda dengan dirinya.

"Mimi.." panggilnya lagi, tapi Mimi masih fokus mencatat sesuatu yang tertulis menggunakan spidol hitam di papan tulis di depan kelas.

"Mimi, gue doain budeg beneran,"

"Ish, apaan sih El? Ganggu aja!" balas Mimi nyalang. Tampang Elle berubah memelas seketika.

"Mi, gue lapeer. Ga sempet sarapan tadii.."

"Ya, terus?"

Elle mencibir, "Ck, ga peka," ujarnya membanting pena pelan.

"Elle, bisa ga sih lo sehari aja gitu nyatet apa yang Bu Karina tulis di depan? Buku lo sampe awet, ga ada satupun coretan tintanya. Ntar kalo di suruh ngumpulin buku catatan aja lo kalang kabut minjem catatan gue," Mimi mengomel sembari terus menatap papan tulis dan buku catatannya secara bergantian.

"Gimana gue bisa nyatet segitu banyak? Gue lemes Mi, ga ada asupan dari pagi. Kapan sih keluar main?"

Seumur-umur, pertanyaan paling legendaris dan sering Mimi dengar dari mulut Ellena adalah, 'kapan waktunya keluar main'. Boro-boro Elle mengangkat tangan dan bertanya perihal materi pelajaran.

"Sabar. Bentaran lagi bunyi bel. Kasian juga gue liat lo, perut lo kaya orkestra gitu, kkkk..." kikik Mimi. Elle merasa itu bukanlah kalimat yang mengandung saran atas masalahnya. Keroncongan.

Hingga tiba saat yang paling di tunggu, bel pertanda istirahat berbunyi dan membuka kunci telinga Elle yang bebal. Seperti biasa, buku catatan Bahasa Indonesia miliknya masih putih bersih tanpa noda. Mimi menggeleng-gelengkan kepalanya ketika tampak sahabatnya itu berlari cepat keluar kelas.

"Buset, itu anak udah nge gas aja," ia tertawa geli.

Di kantin, tanpa memperdulikan keramaian yang biasanya membuatnya risih, Ellena melesat mencari kursi kosong. Setelah memesan makanan dan duduk beberapa saat barulah Mimi menyusul sembari memasang raut kesal.

"Kalo udah masalah makanan lo lupa dunia ya, sampe gue lo tinggalin," ia bersungut.

"Muehehe, lo tau lah gue gimana. Ntar kalo udah kenyang gue normal lagi kok," balas Elle menunjukkan barisan gigi-gigi rapinya.

"Kapan sih, lo bisa normal?"

Sendok di tangan Elle hampir saja melayang,  tetapi ia urung sebab nasi goreng pesanannya tiba dengan tampilan yang membuat matanya on. Lantas Mimi cuma diam, celingak-celinguk saat menyadari ada yang kurang.

"Lah, nasi goreng punya gue mana?"

Masih berusaha mengunyah nasi gorengnya, Elle menjawab dengan polos. "Pesen sendiri sana,"

"Dasar kelabang,"

Awalnya Elle menikmati makanannya dengan tenang, tapi tatapan aneh dari beberapa orang di dekatnya cukup membuat tanda tanya bertengger di kepala cewek itu. Kakak kelas melihatnya dengan tatapan sengit. Sedangkan murid seangkatan memberikan tatapan sinis. Dan yang paling menyebalkan itu, adek kelas yang memberi tatapan heran. Elle pengen nyembur mereka sampai nasi di mulutnya berlarian, tapi sayang. Nasi gorengnya 'kan bayar.

"Akhirnya lo dateng juga," ucap Elle menyambut Mimi.

"Kenapa lo? Baru inget sama gue?" balas Mimi sengit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bitter & SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang