Di kaki Lawu

390 11 3
                                    

Aku bisa merasakan bagaimana dinginnya tempat ini nanti malam. Mendung di sudut sore itu sudah mulai menebal, matahari pun sudah mulai bersembunyi. Padahal ini masih jam 2 siang.

Di ujung atas sana ada puncak yang akan aku datangi. Terkadang kelihatan, terkadang tertutup awan. Mungkin ini kesempatan terakhirku untuk melihatnya hari ini sebelum tertutup mendung yang akan mebawa hujan. Aku berniat mendakinya sendiri. Ya, melewati perjalanan yang begitu menyenangkan dengan suara-suara hewan yang tak pernah kudengar di kota. Dengan harum bunga edelweis yang tak mungkin kupetik dan kubawa pulang.

Jam tangan sudah menunjukan 2:30 dan aku sudah makan siang. aku berangkat.

Jarak antara Pos keberangkatan dengan pos satu tidaklah jauh. Hanya sedikit gelap karena masih banyak pohon yang tinggi di kanan kiri. Masyarakan juga masih banyak yang berlalu lalang mengunjungi perkebunan mereka.

Di pos satu sudah bertemu dengan beberapa pendaki yang turun. Beberapa pendaki meminta sedikit air minum padaku untuk menghilangkan dahaga mereka. Itu biasa karena memang di atas tidak ada sumber air. Ada sebenarnya, tetapi bagiku memang tidak terlalu bersih untuk di konsumsi.

Sampai di pos dua aku mampir untuk istirahat sebentar, walau semangat masih menggebu, dan tenaga masih kuat. Tetapi istirahat tetap diperlukan untuk menjaga kekuatan dan semangat itu. Disana ada satu gadis yang juga sedang istirahat. Pakaiannya bukan khas pendaki, walau itu tidak memberitahukan kepadaku dia pendaki pemula atau memang sudah berpengalaman.

"Minum mbak?" Sapaku sambil menawarinya air minum.

"Makasih mas, masih ada kok." Sambil dia juga menunjukan botol minumnya, yang entah kenapa aku tadi tidak melihatnya.

"Sudah turun dari atas mbak?"

"Baru mau naik ini mas. Hehe"

"Sendirian?" Dia istirahat sendiri karena memang kupikir dia sudah turun. Jadi bisa di tinggal teman temannya. Karena memang sudah dekat dengan perkampungan.

"Iya mas. Maunya sendiri, tapi karena mau hujan jadi saya pilih buat nunggu pendaki lain aja, cari barengan."

"Oh."

"Boleh barengan sama masnya saja?"

"Hah?" Aku tidak ada masalah sebenarnya, hanya saja niatku untuk menikmati pendakian sendiri jadi terhambat. "Boleh saja" lanjutku.

Berangkat dari pos dua berdua dengannya. Aku masih belm punya hasrat untuk mengajaknya kenalan. Hanya sesekali ngobrol sudah berapa banyak puncak yang di datangi? Sudah berapa perjalanan yang seru seru? Saling berbagi informasi di gunung semeru, dan dia membagi pengalamannya di gunung sumbing. Dan ternyata dia lebih banyak mencapai puncak dibandingkan aku.

Hutan sudah mulai berkurang. Tinggal tersisa pohon mati dan kering disana sini. Mendung semakin gelap walau seharusnya belum mulai gelap. Kami tetap berjalan dengan langkah yang pelan tetapi pasti, karena memang begitulah seharusnya. Tanjakan mulai curam. Dia didepan. Langkahnya mantap tanpa sedikitpun mengeluh. Sepertinya dia memang menikmati perjalanan ini.

Sedikit membuatku heran, jika memang dia berpengalaman mendaki, kenapa dia harus menunggu teman untuk melanjutkan perjalannnya? Bukankah dia sudah terbiasa sendiri. Tapi aku tak berniat menanyakannya. Mungkin karena memang dia takut dengan kemungkinan hujan malam ini.

Hujan mulai datang. Dia mengajak untuk berteduh dulu di pos terdekat. Secara kebetulan ada pos di dekat situ. Walau aku sendiri sudah lupa itu pos yang keberapa. Hujannya lebat. Beberapa pendaki yang tadi di depan kami untuk naik, dan ada beberapa pendaki yang baru turun juga ikut berteduh.

Di tengah tengah kami semua yang kedinginan termasuk dia, dengan cekatan dia mengumpulkan sampah sampah yang berserahkan. Terutama sampah plastik. Di kumpulkannya di satu tempat.

Ini hal yang tidak biasa buatku. Biasanya jika aku berniat untuk membawa sampah turun, aku akan mebersihkan sampah ketika aku turun dari puncak. Ketika naik, aku hanya mengamati, seberapa banyak sampah yang akan ku bawah turun nanti? Atau dimana titik yang ada banyak sekali sampah.

Tapi ternyata dia tidak mengumpulkan sampah untuk dibawa turun. Dia mengumpulkannya di tengah para pendaki berteduh dan mulai membakarnya. "Untuk penghangat saja di tengah hujan. Plastik mudah terbakar, semoga tidak mati tertiup angin." Itu yang dikatakannya pada semua, tetapi akhirnya menatap ke arahku.

Spontan aku pun mendekat, selain mencari penghangat juga agar apinya tidak mati tertiup angin. Obrolan mulai datang dari pendaki lain. Seputar puncak yang eksotis ketika pagi, dan tentu saja para pendaki yang turun selalu bilang bahwa puncak sudah tidak jauh lagi dari pos dimana kami istirahat. Padahal dari pengalamanku sebelumnya, Pos itu belum separuhnya perjalanan kami. Dan memang begitulah pendaki, seolah ada aturan tidak tertulis "jangan patahkan semangat pendaki yang baru naik.".

Hujan yang turun sampai magrib tiba. Langit sudah mulai gelap hujan baru reda. Beberapa pendaki yang turun sudah bergegas. Dan untuk pendaki yang naik sudah mulai persiapan dengan mantel dan anti airnya jika sewaktu waktu hujan datang lagi setidaknya mereka bisa tetap kering sampai tempat berteduh berikutnya. Aku pun sama dan termasuk menyiapkan senter untuk penerang jalan.

Tiga puluh menit berjalan dari pos terkahir kami istirahat. Aku masih berjalan berdua dengan gadis itu. Hujan mulai turun lagi. Mantel segera kusiapkan setidaknya tas dan perlengkapanku tidak boleh basah. Diapun melakukan hal yang sama. Tidak ada tempat berteduh, tidak ada pondok. Aku mencoba untuk tetap berjalan sambil mencari sedikit celah di tebing, mungkin bisa untuk berteduh walau sempit. Dan akhirnya dapat.

Kami masuk dengan tas di masukan terbih dulu. Lalu mantel kami gelar bersama sebagai atap. Di cela tebing itu kami berdua. Seperti sedang berpelukan tapi sebenarnya tidak. saling berhimpit agar kedua badan kami bisa terlindungi dari hujan. Angin lebih kencang lagi, dan kami pun makin kencang memegang mantel yang jadi atap tadi. Makin lebat lagi hujan turun, dan kami semakin saling berhimpit. Karena memang basah dan dingin. Apalagi posisi sudah di ketinggian. Sebelum start naik, di cemoro sewu saja sudah dingin walau tidak hujan. Disini jauh lebih dingin lagi.

Kami saling memegang mantel dan saling berpelukan untuk menghangatkan tubuh masing masing. Saat ini aku tidak bisa berfikir apa apa. Antara aku mengenalnya atau tidak, yang pasti kami memang saling butuh untuk bertahan malam itu. Hingga hujan reda, tetapi angin masih berhembus kencang. Kami masih berhimpitan. Entah mengapa jadi semakin dingin.

"Kita tidak bisa lebih lama bertahan disini. Karena kita sama sama tidak ada tenda. Kita harus lebih cepat untuk bisa naik sampai pondok di puncak, dan berteduh menghangatkan diri disana. Ayo bergegas." Ajakku dengan tegas.

Kami pun segera bersiap. Gerimis masih turun, kabut makin pekat, dan hujan masih bisa sewaktu waktu turun. Sebenarnya jika sendiri aku bisa saja bertahan dengan kondisi demikian, entah kenapa karena aku bersamanya, jadi aku tak bisa berdiam diri dalam kondisi seperti ini.

Sempat beberapa kali kami berhenti dan saling berpelukan, sambil menggosok punggung masing masing. Jaket tebal dan tas yang begitu berat tidak bisa melindungi kami dari dingin waktu itu. Kami berjalan perlahan tapi tidak berhenti kecuali sesaat. Kami harus secepatnya sampai pondok.

Sampai pada di suatu area yang datar, kami kehilangan arah. Tidak ada satupun petunjuk kemana arah ke puncak. 

. . .



Lanjut ke chapter berikutnya.

Senyum Di Puncak LawuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang