Chapter 2. Awal dari masalah

44 1 0
                                    

Kulangkahkan kakiku menuju rumah Rin, sesuai dengan janji yang kusepakati dengan Rin dan Jo. Hari ini kami akn melaksanakan raid party bersama beberapa player lainnya yang telah dihubungi oleh Jo.

Kuakui kami bertiga bukanlah pemain yang tergolong 'wah' dengan kemampuan 'wow' tapi hanya sekedar pemain yang mampu bertahan, itu saja.

Setelah sampai didepan rumah Rin, aku langsung disambut oleh senyum hangat orang tua Rin yang sedang duduk-duduk diteras rumah mereka.

"Malam tante, oom" ucapku menyapa kedua orang tua Rin -alias calon mertua.

"Mari masuk nak Iqbal." ucap om Baskoro, ayah Rin. Pria paruh baya itu tetap terlihat gagah meski kerutan di dahinya menunjukkan bahwa beliau tak lagi muda.

"Mesra amat malam ini om." gurauku setelah dipersilahkan duduk oleh mereka.

Mendengar gurauanku, tante Mirnapun berkata "Kami juga pernah muda dulu."

Tak lama Rin pun keluar dengan dandanannya yang minimalis, kaus tangan panjang berwarna putih dengan gambar hello kitty dan celana jeans hitam, serasi dengan sepatu kets dengan warna yang senada. Rambut hitamnya dibiarkan lepas tergerai.

Aku memang tak terlalu menyukai gadis yang berdandan berlebihan. Bedak yang tebal, lipstik yang berwarna menyala, pakaian yang seperti kurang bahan , tak lebih baik dari seorang gelandangan menurutku.

Setelah berbasa-basi alakadarnya dengan orang tua Rin, kami pun beranjak pergi menuju tempat yang selalu kami datangi tiap malam minggu seperti ini, yaitu warnet.

#####

Seperti biasa, remaja itu selalu fokus jika berhadapan dengan layar monitor. Sepertinya jika bom atom meledak disampingnya, ia tidak akan menyadarinya.

"Serius amat Jo?"

"Eh, udah dateng nih pasangan an- aw aw...."

Jo tak sempat meneruskan kata-katanya karena Rin dengan cepat menjewer telinga remaja yang telah kami kenal sejak 3 tahun lalu.

"Daripada lo yang ngarepin cinta Irine yang ga akan terjadi." Rin dengan mata melotot menatap remaja itu seraya menghidupkan komputer yang kami sewa.

Setelah login berhasil, kami pun memulai perburuan kami.

####

Kurenggangkan tubuhku, setelah beberapa jam aku tak bergerak didepan layar monitorku. Sama halnya dengan Jo, jika urusan game, aku selalu serius dan bahkan tak bergerak sedikitpun.

"Udah jam sebelas, bentar lagi aku pulang ya." ujar Rin sembari melirik jam ditangannya.

Aku hanya mengangguk, karena sebelum berangkat kami telah berjanji bahwa akan pulang sebelum tengah malam. Walau sebenarnya tak terlalu dipermasalahkan oleh orang tua Rin, karena mereka telah mengenal aku dan keluargaku.

"Jadi pengen deh masuk ke dunia Vrathea." celetukku seketika.

Rin dan Jo yang duduk disampingku hanya menatap seolah aku sedang bermimpi.

"Emang kenapa? Kok ngeliatinnya gitu amat? Cuma berhayal aja kok, tapi kalau bisa kenapa enggak?" ucapku karena sedikit risih juga jika diperhatikan seperti itu.

"Jangan aneh deh, ini kan cuma game," sanggah Rin yang disetujui oleh Jo "jadi nggak mungkin kan bisa masuk kesana." lanjutnya.

"Iya iya, gitu aja marah, jadi nggak pulang?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Rin hanya menjawab dengan anggukan kepala lalu ia mematikan komputernya "Aku pulang ya Jo."

"Thanks ya udah dibayarin." jawab Jo.

"Minta ama dia tuh yang baru gajian." tunjuk Rin kearahku.

Aku hanya bisa menghela nafas, karena sudah kebiasaan Jo setiap kali aku menerima gaji, walau tak ditawarkan ia akan selalu berterima kasih seolah ia telah ditraktir.

Setelah membayar billing milik Rin, aku pun pergi mengantar Rin pulang, "Titip kompi gue Jo, ntar balik lagi" teriakku sebelum keluar dari ruangan ini.

Setelah menantar Rin pulang ke rumahnya, aku pun kembali ke warnet untuk melanjutkan permainan yang tertunda. Seperti biasa, aku dan Jo akan selalu betah duduk berjam-jam didepan monitor.

Tak terasa waktu berlalu, dan sekarang sudah menunjukkan pukul 06:30 pagi. Aku dan Jo pun pulang, kami berpisah dipersimpangan jalan karena rumah kami berbeda arah.

Ketika sampai didepan rumah, aku merasa ada yang janggal. Tak biasanya rumah sepi seperti ini, keluargaku pasti selalu berkumpul dirumah karena hari ini adalah hari libur. Kalau pun mereka pergi tak mungkin tak ada yang meninggalkan pesan.

Setelah masuk dan memeriksa seisi rumah, aku tetap tak menemukan siapapun dirumah. Adik, kakak, dan kedua orang tuaku juga tak tampak satupun. Tiba-tiba aku melihat pendaran cahaya yang keluar daricelah pintu kamarku, dan sontak bulu kuduk ini berdiri

Hantu kah itu?

Tapi tak mungkin hantu gentayangan disaat matahari telah bersinar kan?

Sontak teringat olehku kata-kata Jo semalam.

"Beberapa orang hilang, dan gak ada yang tau apa yang terjadi. Cuma ada yang bilang, sebelum mereka hilang ada yang lihat kalau mereka ditelan cahaya yang berwarna biru"

Kuberanikan diri mendekat walau sebenarnya kaki ini terasa berat untuk melangkah. Dengan perlahan kubuka pintu kamarku, dan ketika pintu terbuka aku pun semakin tak percaya apa yang ku lihat.

Cahaya yang kulihat ternyata berasal dari sebuah benda yang saat ini berada di tengah-tengah kamarku. Berbentuk seperti kubus dan seolah terbang berputar-putar didalam kamarku. Selain bercahaya, benda itu juga mengeluarkan suara mendenging pelan.

Entah mengapa ada rasa ingin menyentuhnya, lalu tiba-tiba pandanganku menjadi buram dan akhirnya semua berwarna gelap.

Masih terasa tubuhku perlahan ambruk dan terjatuh.

Aku seperti terjatuh kedalam ruang kosong dan tak ada sedikitpun cahaya yang tampak. Kurasakan tubuhku seolah melayang jatuh. Kugerakkan tangan untuk menggapai, berharap ada sesuatu yang bisa ku pegang. Tapi sekeras apapun usahaku, tetap tak ada yang bisa kuraih.

Apakah aku telah mati?

Dan akhirnya aku pun tak sadarkan diri lagi.

###

Cahaya hangat mentari menerpa wajahku, sehingga membuat aku terbangun. Yang pertama kusadari ketika membuka mata adalah pepohonan yang rindang dan suara burung yang bernyanyi.

"Ughh,,, dimana ini?" Kuedarkan pandanganku untuk melihat keadaan sekitarku, yang tampak hanyalah deretan pepohonan.

"Aneh..."

Bukan hanya itu yang membuatku terkejut,saat ini disampingku tergeletak sebilah pedang yang berukuran cukup besar.

Tiba-tiba kudengar sebuah suara, -lebih tepatnya jeritan seorang perempuan.

Kuangkat tubuhku dan mulai berjalan kearah suara itu, dan tak lupa kubawa serta pedang yang tadi tergeletak disampingku.

Setelah sampai kearah suara itu berasal, aku semakin tak percaya dengan apa yang kulihat.

"Tolong..."

Dragon Nest. Rise of the AdventurerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang