Jungkook sangat menikmati setiap kecupan yang menari di bibirnya, sepasang tangan yang melingkari pinggulnya, dan paha yang bertemu dengan miliknya. Bisikan yang keluar dari bibirnya yang tengah sibuk dengan aktivitasnya, menyapa tiap sudut wajah kekasihnya. Sentuhan lembut yang bertamu pada tiap jengkal kulitnya.
Yang paling ia sukai adalah bibirnya di kening di hadapannya lebih lama dari tempat yang lain, seakan sedang mencoba menyalurkan perasaan dan pikiran dari sang pasangan kepada si surai hitam.
Bibir yang terasa seperti mawar itu kembali ke bibir Jungkook untuk yang kesekian kalinya, tak hentinya mengecup, memagut, dan memijit bibirnya sendiri yang ia yakini masih terasa seperti permen lemon yang ia habiskan barusan.
"Tidak pernah cukup."
"Apa?" Merasakan sentuhan lembut itu hilang, kekasihnya yang membuka matanya, berekspektasi akan langsung bertemu dengan sepasang manik kesukaannya, namun mata itu tertutupi dengan tirai cokelat pohon Jungkook. Tangannya terangkat dan menyapu surai yang lembut di telapak tangannya itu.
Jungkook hanya tersenyum dan menangkap pergelangan tangan yang mencoba meraihnya, mengarahkannya ke bibirnya dan meninggalkan jejak halus di sana. "Semua ini tidak akan pernah cukup bagiku."
Kekasihnya membalas senyumnya dengan senyum yang lebih lebar lagi, memainkan ujung jarinya di pucuk rambut sang kekasih. "Apa yang tidak cukup bagimu?"
"Kau."
"Aku?"
"Jimin, aku terlalu mencintaimu. Aku takut aku tidak cukup baik untukmu."
Gurat bingung tergambar jelas di wajah Jimin yang berada di bawahnya. Alisnya terangkat dan mulutnya membulat menggemaskan.
"Aku takut semua yang kurasakan ini tidak pernah cukup. Aku selalu menginginkannya lebih. Aku takut semua yang sudah terjadi tidak pernah cukup untuk menjadi imbalan masa depan yang kita inginkan. Aku takut masih banyak yang harus kita hadapi. Dan yang paling aku takutkan, kehilanganmu."
"Aku," satu kecupan di kening. Lagi,
"sangat-sangat," di kedua kelopak matanya,
"mencintaimu," di puncak hidungnya,
"Jimin." Dan terakhir bibir itu mendarat di atas bibir plump-nya.
"Kau lah rumah bagiku, di saat aku merindukan kampung halamanku, kampung halaman kita, kau ada di sini bagaikan personifikasi dari wangi hutan dan putihnya pasir pantai.
Kau adalah terik tiap pagiku, kau adalah binar tengah malamku. Tiupan musim panasku, maupun hembusan musim dinginku.
Kau mengerti?"
"Jungkook..."
"Ya, hyung?" Suara Jungkook teredam di antara ceruk leher Jimin.
"Seingatku kau tidak mengambil kelas Professor Kim?"
"Kenapa bawa-bawa Namjoon hyung?"
"Sejak kapan kau bisa membuat kata-kata sebagus itu?"
"..."
"..."
"Kau menghancurkan suasana, hyung." Jungkook mendadak bangun dari atas Jimin, ia duduk di ujung ranjang memunggungi Jimin. Jimin tertawa saja, matanya yang sudah mejadi sabit mengikuti gerak-gerik Jungkook yang merajuk. Jimin yang merasa sebagai kekasih yang lebih dewasa (menurutnya sendiri, bukan Jungkook) melompat bangun dan merangkak mendekati Jungkook.
"Ayo buat suasana baru!"
Jungkook menatap Jimin skeptis. Sebenarnya dia tahu maksud baik Jimin, dan ia juga tahu ia tidak bisa berlama-lama marah dengan hyung kue gulung-nya ini, berterimakasih lah dengan senyum semanis gula-gula kesukaan Jungkook dan setiap usaha yang dilakukan Jimin agar ia dan Jungkook bisa berbaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accidental(ily) | Jikook
FanfictionKetika Jungkook tidak sengaja melamar Jimin.