The Real Deal

3.8K 351 15
                                    

Jimin sangat menikmati setiap resapan teh hangat tanpa gula kesukaannya, tangan kecil melingkari gelas favoritnya, dan suasana hangat ruang tengah apartemen yang ia diami bersama Jungkook.

Jimin juga menikmati bagaimana Jungkook yang duduk di hadapannya, kepalanya menunduk dan jarinya yang memutari bulu sofa membentuk pola kasat mata yang tidak Jimin mengerti.

"Mau sampai kapan gambar-gambar di sofanya, Jungkook?"

"Aku.... Tidak tahu."

Jimin menyerah, ia rasa kelakuan aneh Jungkook hari ini harus dihentikan sekarang juga. Jimin meletakkan gelasnya di meja dan badannya ia putar menghadap Jungkook. "Spill it."

Jungkook melihat Jimin bingung, "Apanya yang ditumpah? Tehnya?"

Jimin mengeluarkan jurus tatapan 'Jungkook, cukup.'

"Maaf, hyung."

Jimin melirik jam yang menunjukkan setengah dua belas malam, kurang dari setengah jam lagi hari akan berganti. Jimin merasa tuntutan untuk mengakhiri keanehan yang terjadi hari ini sebelum besok. "Jungkook, sekarang jelaskan padaku. Kenapa kau menjadi aneh hari ini, kenapa kau selalu meninggalkanku dan kabur ke kamar mandi, intinya jelaskan alasan dari tingkahmu."

"..."

"Kalau ini masalah suasana yang aku hancurkan tadi sore, aku minta maaf. Aku tidak tahu kau punya tujuan tertentu waktu itu."

"..."

"Jungkoo-"

"Kau mendengarnya kan?" suara Jungkook terdengar lirih.

"Dengar apa?"

"Kau tahu tentang apa, hyung. Aku yakin kau mendengarnya dengan jelas. Aku tidak sengaja mengatakannya berkali-kali." Jimin bisa melihat telinga Jungkook yang berubah merah dan Jimin yakin itu tak ada bedanya dengan wajah kekasihnya saat ini.

Jimin menimbang apa ia harus berkata jujur dan mengakui ia selama ini berusaha untuk diam dan berpura-pura tidak mendengar hal yang sangat jelas Jungkook katakan. Dan tentu saja, berhenti menahan rasa senangnya yang sedari tadi ia rasakan.

"Ya,"

Tanpa mengatakan apa-apa mendadak Jungkook langsung turun dari sofa, namun sebelum Jimin bertanya, pemuda itu sudah terlebih dahulu berada di depan Jimin.

Berlutut.

Dengan sebuah kotak kecil merah di tangannya.

"Jungkook..."

Jungkook berdehem pelan, sepasang manik hitamnya mengarah langsung ke manik cokelat muda milik Jimin. Jimin tercekat salivanya sendiri.

Jangan-jangan...

"Hyung, kau tahu aku sangat mencintaimu bukan? Kau tahu betapa senangnya aku ketika kita mulai berkencan waktu SMA, betapa bangganya aku bisa menyebut diriku sebagai kekasihmu, betapa bangganya aku memilikimu sebagai kekasihku.

Aku tahu kau pun mencintaiku, dan aku sangat berterimakasih akan itu. Karena kau mampu dan mau bertahan denganku, adik kelas yang tidak bisa menyenangkan hatimu dengan kata-kata romantis setiap hari. Karena kau mampu dan mau bersamaku hingga saat ini."

Jimin harus menggigit bibirnya menahan senyum yang merekah terlalu lebar. Matanya sudah basah menatap Jungkook yang tak jauh berbeda dengannya.

"Aku tahu kau jauh lebih pantas dengan seseorang yang bisa menyenangkan hatimu lebih dariku, membawamu kencan di tempat yang jauh lebih indah daripada hanya pantai kampung halaman kita dan kedai murah." Jungkook masih sempat menyeringai mengingat kencan-kencan yang ia lalui bersama Jimin, ketika masing-masing dari mereka masih berstatus pelajar.

"Bahkan ketika kita sudah memiliki pekerjaan, aku tidak bisa setiap saat mendampingimu. Tidak bisa membuatmu tersenyum. Percayalah hyung, sehari tanpa senyummu adalah siksaan bagiku.

Bahkan ketika aku sudah punya penghasilan sendiri, aku masih membawamu ke café murah. Yah, lebih karena pasta di sana memang enak, sih."

Kali ini Jimin yang tertawa dibuatnya. Jungkook juga ikut tertawa melihat wajah bahagia kekasihnya. Kebahagiaan Jimin memang bisa menular, pikir Jungkook.

"Maaf karena aku tidak melamarmu di restoran mewah, hyung. Dengan Richard Sstoltzman kesukaanmu sebagai musik latar, dengan seluruh skenario cincin di dasar sampanye.

Maaf karena hanya dengan kaos aku melamarmu, kau tidak sempat melihat penampilan berkarismaku dengan set suit dan rambut yang tersisir rapi. Tapi tenang saja hyung, kau tetap terlihat luar biasa mengenakan pakaian apapun. Atau bahkan tanpa pakaian. Ow! Iya maaf hyung."

Sang pemuda yang berlutut itu pun akhirnya membuka kotak merahnya, matanya menatap Jimin dalam, ia sedang mencoba meminta Jimin untuk menghabiskan sisa waktu bersamanya, sebagai orang yang dicintainya. Dan itu adalah permintaan besar, Jungkook bahkan merasa dirinya nekad untuk melamar seorang Jimin.

"Park Jimin hyung... jawab aku. Aku bertanya dengan sungguh-sungguh, dan ini adalah pertanyaan sekali seumur hidup."

"Jungkook..." panggil Jimin lirih. Jimin melihat sepasang cincin yang terpatri rapi di hadapannya. Kedua cincin itu tidak memiliki berlian atau batu di atasnya, tetapi ukiran inisial nama Jungkook dan Jimin dapat terlihat dengan jelas.

"Maukah kau menerima kekasihmu yang aneh ini menjadi suamimu?"

Terucap sudah, permintaan terbesar Jungkook dalam hidup. Dalam hati, Jungkook menepuk bahunya sendiri. Good job, Juan pemberani.

Tak disangka, Jimin justru menjitak kepala Jungkook. Mata Jungkook yang awalnya menunjukkan kebingungan dengan cepat berubah menjadi rasa takut.

"Jangan pernah berkata kau tidak pantas bagiku. Dan jangan pernah lagi berkata ada orang lain yang lebih pantas bagiku, Jungkook!"

Jungkook diam saja, ia terlalu takut dengan situasi kali ini. Jimin memarahinya? Bukankah ini jelas artinya Jimin menolaknya...

"Kalau ada yang aku inginkan menjadi pendamping hidupku, itu adalah kamu Jungkook. Jangan biarkan aku bersama orang lain, dan jangan berani-berani untuk membayangkannya."

"Hyung, maaf..."

"Permintaan maaf diterima."

"..."

"Dan lamaran diterima."

"..."

"..."

"...Hyung..."

"Ya?"

"AKU MENCINTAIMU!!!"

"Ya! Hei! Jungkook! Turunkan aku!"

Dan kali ini pun Jimin hanya bisa melihat punggung Jungkook yang menggotongnya di bahu ketika ia dibawa ke kamar mereka berdua.

***

"Ohya satu lagi, anak muda."

"Ya, hyung?"

"Hentikan kebiasaanmu yang selalu memotong pembicaraanku!"

"Ya, ya. Aku mengerti. Sekarang lanjutkan tidurnya, aku lelah hyung."

"Jeon Jungkook, aku seriu-"

"Ssst, Park yang sebentar lagi menjadi Jeon, diam atau aku lanjutkan yang tadi."

"Itu! Itu maksudku kebiasa-"

"Ssshhhhh........"

Fin.

[Note]
Hehe. FoD sama BBHSS belum kelar. Hehe...

Accidental(ily) | JikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang