Aku punya pengakuan penting untuk kalian ketahui. Aku seorang laki-laki yang menyukai teman sekelasku, yang juga sama sepertiku seorang laki-laki. Well, anggap saja cerita ini sebagai curahan hatiku yang tersimpan setelah sekian lama.
Apa aku gay? Mungkin. Aku juga penasaran akan hal itu. Selama ini aku tidak pernah tertarik secara emosional ataupun seksual pada laki-laki manapun. Aku tahu keadaan ini salah dan hanya akan mempersulit diriku sendiri, tapi perasaan terlarang itu terus saja menyebar dan menyesakkan dada. Membuatku semakin teguh untuk bertahan dalam kebahagiaan yang sebenarnya menyakitiku secara sepihak.
Dia itu teman sekelasku sejak kelas X, namanya Bhadra Meidiawan. Teman-teman lebih sering memanggilnya dengan sebutan Adra, sedangkan aku lebih suka memanggilnya Bhadra. Oh, aku lupa memperkenalkan diri sendiri rupanya. Membicarakan Bhadra itu bisa meningkatkan antusiasme tersendiri. Namaku Paramayoga Yashaskar. Orang-orang memanggilku Yoga, tetapi ada juga yang memanggil nama belakangku, Askar. Terserah mereka saja. Saat ini aku tercatat sebagai siswa kelas XII di salah satu SMA negeri di kota pendidikan, Malang.
Awalnya biasa saja. Kami hanya kebetulan menjadi teman sekelas saat itu. Sekolah baru, teman baru. Itu sepadan. Hanya saja kondisinya berubah sejak sesuatu mulai merasuki relung hatiku. Aku tahu itu salah, maka kutepis menjauh perasaan itu. Aneh saja semakin kutekan, malah menjadi semakin gila. Sudah kukatakan, rasa ini semakin mempersulit diriku sendiri. Dan aku bodoh karena mempertahankannya.
Maafkan aku, Bhadra. Aku juga tidak mau seperti ini, bahkan kuharap perasaan itu tidak pernah ada. Tapi ternyata semua perhatianmu telah kusalah artikan begitu saja. Aku tahu kamu baik pada semua orang, tetapi bagiku kebaikanmu adalah sesuatu yang spesial.
"Lagi ngapain?" Suara itu mengalun lembut memasuki gendang telingaku. Oh, tidak, jangan sekarang. Jangan memulai kegilaan itu lagi. Berhenti berdetak tanpa aturan, kumohon.
Dia yang tadinya berdiri di belakang kursi, kini berpindah ke depanku. Menarik asal salah satu kursi kosong di sebelah kanannya, duduk berhadapan denganku yang semakin menundukkan kepala lebih dalam. Aku menjerit dalam hati, sungguh aku malu setengah mati.
"Oh, ini materi yang tadi, kan? Kenapa? Ada yang nggak kamu pahami?" Dia menarik buku catatanku yang bersampul merah itu. Melihatnya sekilas dan kembali melemparkan tanya, tak lupa senyuman itu juga tampil dari wajahnya yang berseri.
Senyuman itu masih terpatri di wajahnya yang tampan, semakin membuatku salah tingkah. Apa yang harus kulakukan? Sepersekian detik yang lalu saja aku lupa bernapas saat mendengar suaranya. Dan sekarang dia mempertontonkan senyuman itu tanpa henti. Bunuh saja aku sekalian. Ah, jangan. Kalau aku mati, nanti tidak bisa melihatnya lagi.
"Hm. Ada beberapa," jawabku singkat.
Aku tidak bisa berpikir. Setiap berada di sekitar Bhadra semua logikaku menguap begitu saja. Aku gugup, sangat bahkan. Selama tiga tahun reaksi ini tidak pernah berubah atau pun membaik malah semakin parah. Aku selalu berdoa dalam hati, supaya Bhadra tidak menyadari sikap anehku jika berada di dekatnya. Jangan sampai.
"Bagian mana? Biar kuajari." Dia kembali menyodorkan bukuku. Jarinya berputar-putar di atas sana, menunjuk bagian mana yang mungkin saja tak kumengerti.
Kalian harus tahu, dia itu salah satu murid yang menjadi pusat perhatian guru karena kecerdasannya. Salah satu yang menjadi perhatian murid-murid lainnya karena ketampanannya. Bagiku dia seperti tokoh utama dalam cerita romansa yang memiliki segala kesempurnaan. Jika kalian memaksa membandingkan dia denganku yang biasa saja, itu ibarat bumi dan langit atau siang dan malam. Dua hal yang sangat jauh berbeda, saking bedanya sampai tidak mungkin bersatu.
Aku menunjuk satu bagian secara asal. Sebenarnya aku sudah paham semua materi itu. Membaca tadi hanya sebuah alasan untuk memperhatikannya yang sedang mengobrol dengan salah satu temannya dari kelas lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku & Perasaan Ini
Teen FictionJika aku harus menjadi orang bodoh untuk mencintaimu, aku siap. Bahkan jika itu menyakitiku secara perlahan, bukan masalah. Asalkan kamu tidak benci aku. Hanya dengan satu senyumanmu, dapat memutar balikkan duniaku. Dan saat itu aku sadar. Aku sudah...