"Yog, mau langsung pulang yah?"
"Eh? Memangnya kenapa, Bhadra?" Tanganku berhenti memasukkan buku ke dalam tas, saat tiba-tiba Bhadra sudah berdiri di depan mejaku.
"Aku mau ke toko buku, tapi enggak ada teman. Ikut aku, yuk."
"Eh? Kenapa aku? Kamu kan biasanya selalu pergi dengan si Surya." Bodoh kamu Yoga, kenapa harus ngomong seperti itu? Ini kan kesempatan buat jalan bareng Bhadra, kalau dia berubah pikiran bagaimana?
"Surya enggak suka toko buku, dia lebih suka main basket tuh di lapangan." Bhadra menunjuk keluar dengan dagunya. Kutengok keluar kelas, dari sini aku memang melihat Surya sedang melakukan shot dari daerah three point.
"Bagaimana?" tanyanya lagi.
Bagaimana? Apanya yang bagaimana? Tentu saja aku mau. "Iya, aku membereskan ini dulu." Dengan cepat kumasukkan semua buku dan peralatan tulisku ke dalam tas. Memeriksa laci meja sekali lagi, memastikan bahwa tidak ada barangku yang tertinggal.
Sekarang aku dan Bhadra jalan beriringan ke parkiran. Setiap hari Bhadra itu mengendarai motor. Terkadang dia pulang dengan sahabatnya si Surya itu. Tapi akhir-akhir ini yang kutahu Bhadra lebih sering pulang sendirian, karena Surya sedang masa transisi dari basket. Surya itu kapten tim basket sekolah kami sejak kelas X, kemampuan dia dalam olahraga ini sudah tidak perlu diragukan lagi. Berhubung karena kami sudah kelas XII, Surya masih butuh waktu buat pisah dari bola oranye itu. Katanya selagi belum mendekati ujian, dia masih ingin bermain di lapangan. Walaupun bukan dalam pertandingan yang sebenarnya sih.
Kami sampai di parkiran belakang. Sekolahku ini punya dua parkiran, ada yang di depan dan di belakang. Bhadra itu lebih sering memarkir motornya di parkiran belakang, katanya biar lebih dekat dengan kelas.
"Nih, Yog, pakai helm. Biar enggak ditilang." Bhadra menyodorkan aku helm berwarna merah, sedangkan dia sendiri memakai helm full face berwarna senada dengan motor satria fu hitamnya yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa itu. Aku tidak mengerti banyak soal motor, tapi motor Bhadra itu secara penampilan keren banget.
"Pakai helm itu biar aman, Bhadra. Bukan menghindari tilang," ucapku protes.
"Iya-iya, Yoga sayang. Bawel deh. Buruan naik," ucapnya sambil menepuk jok belakang motornya.
"Enggak lucu." Aku mencebik ke arahnya.
Itu dia Bhadra. Sikap dan ucapanmu, yang kamu sendiri mungkin tidak sadar mengeluarkannya bisa buat aku makin jatuh. Sikap kamu yang seperti ini buat aku semakin bingung dan sulit menghapus perasaan ini. Mau kamu itu apa sih? Kenapa bercanda yang bisa buat orang salah paham? Terkadang kamu itu jahat sama aku Bhadra. Tetapi aku kembali sadar kalau di sini aku yang terlalu bawa perasaan, sedangkan kamu bertingkah biasa saja.
Dengan perasaan tidak keruan aku duduk di jok motor Bhadra. Dekat-dekat dengan Bhadra itu seperti melatih kinerja jantungku. Ini pertama kalinya aku berboncengan dengan Bhadra, jadi wajar saja kan kalau aku gugup setengah mati.
"Pegangan Yog, nanti kamu jatuh aku enggak tanggung jawab loh ya."
"Ini aku juga sudah pegangan, Bhadra." Iya, aku pegangan terlalu kuat di behel motor, sampai tanganku kaku malahan. Kita bahkan belum jalan, tapi tanganku sudah memproduksi keringat dingin.
"Aku kebiasaan balap loh, Yog. Kalau kamu cuma pegangan di belakang begitu, sampai toko buku kamu sudah hilang nanti," ucap Bhadra memperingatkan. Jadi aku harus bagaimana? Enggak mungkin kan aku peluk kamu Bhadra, jebakan bunuh diri itu namanya.
"Pegangan di badan aku, Yog." Bhadra mulai menstarter motornya. "Ayo cepat, Yoga. Nanti keburu sore nih." Dengan ragu tanganku merangkul pinggang Bhadra. Tanganku berpegangan erat pada tubuhnya saat motor Bhadra mulai melaju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku & Perasaan Ini
Teen FictionJika aku harus menjadi orang bodoh untuk mencintaimu, aku siap. Bahkan jika itu menyakitiku secara perlahan, bukan masalah. Asalkan kamu tidak benci aku. Hanya dengan satu senyumanmu, dapat memutar balikkan duniaku. Dan saat itu aku sadar. Aku sudah...