Part 4

105 11 9
                                    

Udara malam terasa menusuk permukaan kulitku lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Langit juga terlihat kian menggelap tanpa bintang sebagai penerang. Untuk sekian kali kuhembuskan napas berat. Berharap beban yang kurasakan bisa turut menghilang bersama hembusan angin. Rasa-rasanya ingin sekali berteriak dari atas balkon kamar dan membuang kepenatan ini bersama suara teriakanku.

"Hei!" Seseorang menepuk bahu kiriku yang ternyata si Bentang. Sebelumnya dia sudah mengabari kalau malam ini dia ingin menginap di rumah. Tumben banget, biasanya dia juga datang begitu saja tanpa permisi dulu.

Kugeser tubuhku memberikan ruang bagi Bentang untuk duduk. Kutolehkan kepala ke belakang, ternyata barang-barangnya sudah berserakan di atas kasur. Dasar, kebiasaan. Setiap Bentang datang, kamarku bisa berubah seperti kapal pecah.

"Yoga ... Yoga ... malam-malam begini kamu duduk di balkon mirip orang lagi nelangsa, tahu enggak?" Bentang menyalakan pematiknya, membakar rokok yang mengapit di bibir tebalnya. Dalam sekali hembusan, bau asap rokok mulai tercium, kemudian menghilang terbawa angin.

Aku tidak mempedulikan ucapan Bentang barusan. Terkadang perkataan Bentang itu lebih baik tidak perlu ditanggapi.

"Mereka resmi pacaran, makanya kamu jadi begini, kan? Persis cewek yang lagi patah hati dan susah move on."

"Mereka siapa?" tanyaku berpura-pura tak mengerti.

"Siapa lagi kalau bukan Adra sama Ode?" Bentang kembali menghisap rokoknya untuk sekian kali.

Dua hari lalu kabar Bhadra dan Ode yang berpacaran menyebar dengan cepat di sekolah. Awalnya kupikir itu hanya gosip, sampai siang tadi kulihat mereka pulang bersama. Ode dengan genitnya memeluk pinggang Bhadra, menaruh kepalanya di punggung tegap Bhadra dan bersandar dengan nyaman. Shit. Pulang sekolah aku kesal setengah mati. 

"Mau sampai kapan kamu kayak begini, Yog?"

"Aku juga enggak tahu, Tang. Kamu pikir aku juga suka kondisi seperti ini?" Tekanan itu kembali muncul, sedikit demi sedikit mulai menorehkan rasa sakit di dadaku.

"Kalau kamu enggak suka, kenapa bertahan?" Bentang menatapku nyalang. Benar katamu, Tang. Kalau tidak suka kenapa bertahan? Tapi masalahnya tidak semudah itu. Kamu tidak akan pernah paham, karena kamu tidak ada di posisi sepertiku saat ini.

"Apa perasaanku ini salah yah, Tang? Apa aku salah karena suka sama Bhadra?" Angin kembali berhembus, membawa udara yang kian terasa dingin sama seperti hatiku yang mulai dingin dibekukan kesedihan.

"Cinta itu bebas, Yog. Cinta itu abstrak yang bisa melekat kapan, di mana, bagaimana dan sama siapa juga tidak ada yang tahu. Aku enggak menyalahkan perasaan kamu, hanya saja kamu terlalu naif mengharapkan cinta itu melekat pada orang yang jelas-jelas enggak mungkin kamu dapatkan."

Naif yah? Mungkin Bentang benar aku yang terlalu naif.  Bertahan hingga sejauh ini padahal aku sendiri tahu kalau Bhadra tidak mungkin berpaling melihatku. Bhadra itu lelaki normal, beda dengan diriku, aku yang tidak normal ini.

"Lupakan Adra, Yog. Kamu bisa cari orang lain yang lebih baik dari dia," lanjut Bentang.

"Enggak semudah itu, Tang. Kamu pikir perasaan aku selama ini main-main? Melupakan seseorang itu tidak semudah menghapus coretan pensil di lembaran kertas. Berkali-kali aku coba menyerah dengan perasaan ini. Tapi semakin aku coba yang terjadi malah sebaliknya, perasaanku pada Bhadra justru semakin dalam." Kedua tanganku mengepal erat pada sisi celana pendek yang kukenakan. Pikiranku membuncah, rasanya ingin marah dan menangis di saat bersamaan.

"Kita memang belum resmi jadi saudara, tapi aku sudah anggap kamu seperti adikku sendiri. Dan aku enggak mungkin tega membiarkan kamu terpuruk kayak begini." Bentang menghisap rokoknya untuk terakhir kali. Menekan ujung puntung rokoknya pada lantai kemudian membuangnya sembarang.

Aku & Perasaan IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang