BAB I

15.2K 270 42
                                    

"Gak, gak mungkin, Pa! Papa pasti bohong kan, Pa?!"tanyaku tak percaya. Namun papa yang duduk di depanku  hanya tertunduk lesu. Tak berniat untuk menjawab.

"Papa kamu nggak bohong, Ndri,"jawab mama pelan. Aku lantas memijat-mijat kepalaku frustasi. Tak tahu harus bereaksi apa untuk menghadapi kenyataan pahit yang pahitnya mengalahkan samiroto ini. Kalau menangis, memangnya bisa memecahkan masalah? Yang ada malah makin runyam. Sebagai orang yang memiliki otak paling besar, aku tidak boleh ikut tenggelam ke dalam situasi ini.

Padahal baru sejam yang lalu aku meresmikan diriku sebagai anak paling bahagia sedunia karena berhasil mendapatkan predikat sebagai lulusan terbaik se-SMA Yogyakarta, tapi sekarang sudah harus berpusing-pusing ria dengan masalah finansial keluargaku yang seolah tidak ada habisnya. Yah, memang benar yang orang bilang, kalau senang jangan berlebihan, ntar malah sial. Yahhh...tahu gitu aku menangis saja tadi.

"Terus kalau rumah ini dijual, kita mau tinggal di mana?"tanyaku lagi

Kali ini Papa menatapku dengan mata berbinar. Seolah sudah memikirkan masalah ini matang-matang. Tapi aku tak boleh berharap banyak. Yang diusulkan papa pasti tak pernah baik.

"Kalau itu Papa sudah punya solusinya. Papa sama Mama bakalan nyari peruntungan di Jakarta. Dengan sisa uang yang kita punya, papa sama mama bakalan ngontrak rumah di sana,"jawab papa ceria. Aku mengangguk-angguk mengerti. Well, tak seburuk yang kukira. Mungkin Jakarta bisa memberi rejeki yang lebih banyak untuk keluargaku. Eh tunggu dulu, apa perasaanku saja atau memang tadi papa cuma menyebutkan "papa dan mama" saja? Terus aku?

"Dan kamu bakalan Papa titipin dulu ke paman Reiyan,"

Jawaban Papa lantas membuat jantungku melengos. Oh gosh! Jangan bilang aku harus tinggal dengan manusia itu.

"Hah? Papa nggak salah? Nggak! Aku nggak mau!"tolakku keras. Tuh kan, sudah kubilang, ide papa pasti buruk.

"Mau gimana lagi, Ndri. Kakek sama nenek, dua-duanya udah nggak ada. Kamu kan juga tahu kalau mama anak tunggal. Dan Papa kamu juga nggak deket sama keluarganya yang lain. Mau nggak mau, kita cuma bisa minta tolong sama paman kamu itu,"balas mama.

"Kenapa aku nggak boleh ikut sama kalian?"tanyaku hampir menangis. Aku benar-benar tidak mau tinggal dengan monster itu.

"Andri, mama sama papa juga masih nggak tahu bakalan gimana ntar di Jakarta, memangnya kamu mau ikut luntang lantung sama kita?"

Oke, aku memang nggak mau, tapi kan...

"Lagian Jakarta itu kotanya kejam, Ndri. Di sinetron-sinetron kan gitu. Banyak yang diperkosa, dijadiin pengamen, terus tinggal di kolong jembatang. Pokoknya ibu kota itu lebih kejam daripada ibu mertua, Ndri,"lanjut Papa asal. Loh, bukannya dia yang mau ke Jakarta ya? Mestinya dia yang was-was dong!

"Makanya, aku bilang juga apa! Jangan asal ikut investasi gadungan kayak gitu. Jadi gini kan akhirnya. Terus kuliahku gimana?" Mendengar pertanyaanku, Mama dan papa lantas berpandangan, lalu menatapku prihatin.

"Untuk itu, kita harus tunda dulu ya Ndri. Papa sama mama bakalan berusaha buat nyari biayanya dulu,"

Bagaikan disambar petir, tubuhku langsung lemas saat itu juga. Kuliahku? Masa depanku? Bagaimana ini?

"Ke-kenapa harus ditunda Pa? Aku kan bisa nyari beasiswa. Lagian nilaiku bagus-bagus. Aku pasti bisa masuk ke UGM dan dapat beasiswa. Aku juga bisa ngekos di sini dan aku bakalan nyari kerja. " Namu Papa malah menggeleng tak setuju.

"Papa nggak setuju kamu tinggal sendiri di sini. Kamu anak papa satu-satunya. Lagian uang kita nggak cukup buat biayain kos kamu,"ucap papa. Aku menghepaskan tubuhku ke sandaran kursi. Meratapi nasib. Ya Tuhan, kenapa jadi begini?

Me VS Uncle : RAWRRR!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang