BAB II

7.1K 241 27
                                    

          “Spertinya Mbak Andri sudah sadar, Mas Rei,”suara Bu Marni yang khawatir terdengar sayup-sayup di telingaku. Aku mulai membuka mataku perlahan. Dan seketika saja menyipit saat cahaya lampu mendadak masuk ke dalam retinaku.

            Kepalaku pusing sekali. Seperti digencet ribuan banteng. Aku tidak terlalu ingat apa yang telah terjadi. Sepertinya ada sesuatu yang penting. Tapi aku tidak tahu apa.

Aku lantas memijat kepalaku pelan. Berusaha untuk menghilangkan sedikit pusing yang dari tadi menyerang. Bu Marni mencoba untuk mengoleskan minyak kayu putih di kedua keningku. Baunya yang menyengat lantas membuatku terbatuk-batuk.

            Dengan dibantu Bu Marni, aku mencoba untuk duduk. Dan kusadari kalau ternyata aku sudah berada di kamarku sendiri. Aku pun bergerak untuk mengamati sekitarku. Kulihat bu Marni sedang duduk di sisiku dengan ekspresi khawatir. Kemudian paman yang sedang besandar di dinding dekat pintu dengan tangan bersidekap. Dan seorang laki-laki muda berwajah imut mirip Logan Lerman yang sedang duduk di kursi depan kasurku dengan tatapan tak enak.

            Sepertinya aku pernah melihat wajah laki-laki ini? Tunggu dulu…

            “OH MY GAWTTT!”teriakku keras dengan mata terbelalak. Semua orang lantas menatapku terkejut. Tak terkecuali paman yang kini malah berlari ganas ke arahku. Dan tanpa tedeng aling-aling, lelaki itu meloncat ke atas tempat tidur, (masih mengenakan sepatu, tentu saja) dan langsung membekap mulutku dengan kejam.

            Aku yang tak menduga akan mendapatkan serangan seperti itu, jelas saja meronta-meronta. HELL! Apa sih maksud bangkotan tua ini membekap mulutku? Oh…aku tahu… dia pasti tidak ingin aku mengatakan sesuatu yang berbau GA….yah, pokoknya 3 huruf itu, iya kan? Dasar curut! Memangnya dia kira aku bakalan diam saja menyaksikan fenomena abnormal yang sedang terjadi dihadapanku? Hellouwww! Aku kan anak baik, rajin menabung, dan selalu membantu nenek menyeberang jalan, mana mungkin dong aku membiarkan bentuk penyimpangan SEKSU…eh, maksudku penyimpangan SOSIAL ini terus berlangsung  begitu saja? Di mana itikad baikku sebagai pelajar yang berhasil mendapatkan nilai UN tertinggi seYogyakarta dan bukti nyataku sebagai warga Negara yang patuh terhadap butir-butir Pancasila?

            Maka untuk melaksanakan ideologi yang telah kutanam tersebut, aku pun  semakin gencar melancarkan aksi protesku. Tak hanya memukul-mukul lengan kekar pamanku saja, tetapi juga menggigitnya dengan seluruh jiwa dan raga. Alhasil lelaki itu menjerit kesakitan.

            “ARGHHH!”jeritnya sembari melepaskan bekapannya dari mulutku. Kesempatan itu tentu saja langsung aku manfaatkan. Dan dengan semangat 45 aku pun menarik napas dan…..

            “JADI KALIAN BERDUA ITU GAHKKKHPBFFFFFFF!”teriakanku yang sudah kupersiapkan dengan matang tadi akhirnya harus pupus akibat tangan paman yang lagi-lagi membekap mulutku. Bahkan tak hanya membekapnya saja, lelaki tengil itu kini malah menutupi wajahku dengan ketiaknya. Sehingga yang kulihat hanyalah lengan putih kemeja paman dan aroma deodorant yang memabukkan.

            “Hahahaha…jangan dengerin bocah ini, hahaha… Dia memang agak yah, begitulah. Mending kalian ke bawah aja dulu,”sambar paman menyamarkan teriakanku yang kini lebih mirip dengan suara macan yang dipaksa makan bubur.

            “BHFFFFFFFF! LEHPHASIHHNNN!”

            “Mas Rei, apa gak kasihan mbak Andri digituin?”kudengar suara bu Marni bertanya dengan nada khawatir. Ingin sekali rasanya aku menimpali : Bu Marni! Singkirkan makhluk ini!, tapi yang keluar hanyalah..

            “ABHHHFFF SHHIIINKAKARRRKANN BHFFF!”

            “Rei, itu keponakanmu kan?”kali ini Damar yang berkata. Don’t you hear that, assshole?! Im your niece! So off your fucking hands on me!  Jeritku dalam hati. Yah, percuma kan kalau aku menjeritkannya beneran.

Me VS Uncle : RAWRRR!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang