Hujan pagi ini sangat deras. Aku merapatkan jaketku untuk sekedar memberi rasa hangat. Masih dengan posisiku yang menunggu hujan reda di café kampus, seraya melihat rintik hujan dan menghirup aroma petrichor.
“Eh, Nay.. nggak ke kelas?”
Sebuah suara bariton menginterupsi aktifitasku. Suara dari seorang pria yang tinggi dan menurutku memiliki aroma petrichor. Pria itu duduk di hadapanku sambil memesan secangkir minuman hangat.
“Hujan belum reda,” ucapku. Kini perhatianku teralihkan, objek yang ada didepanku sekarang lebih menarik dari apapun.
“Emangnya lo gak bawa payung?” tanyanya lagi yang kini tengah menyeruput kopi hangat yang dipesannya tadi.
“Enggak. Sejak kapan gue suka bawa payung? Mendingan hujan-hujanan lagi. Main hujan itu seru, seakan membawa gue ke suatu suasana yang gak bisa dijelasin dengan kata-kata,” ucapku.
“Jangan keseringan main hujan, entar elo sakit. Kalau elo sampai sakit, gue jadi kepikiran,” ucapnya lagi yang berhasil membuat jantungku berdebar tak karuan.
“Gak usah lebay deh! Gue gak bakalan sakit kok.” ucapku seraya menutupi rasa gugupku.
“Iya..iya, jangan sampai sakit ya,”
Diam menyelimuti atmosfer kami. Kami sibuk dengan dunia kami masing-masing, Nathan sibuk melihat telepon genggamnya, sedangkan aku sibuk melihat aktifitasnya.
“Nathan!” seorang wanita cantik dengan tinggi semampai mendekati ke arah Nathan.
“Jia? Long time no see. Lo makin cantik aja,” seru Nathan dengan kaget. “Eh iya, kenalin ini temanku Nayla. Nay, ini Jia,”
“Nayla,” ucapku sambil mengulurkan tangan.
“Giana, panggil aja Jia,” balas Jia dengan sopan.
Gadis yang sangat baik, cantik bahkan wajahnya tak dipoles make-up pun masih tampak cantik, semua orang akan jatuh hati padanya, termasuk Nathan. Aku bahkan ngak berani membandingkan diriku dengannya.
“Eh Nay, gue cabut dulu ya. Mau anterin Jia dulu, bye!” pamit Nathan.
“Satu lagi, lo jangan main hujan! Awas kalau sampe lo ketangkap basah sama gue,”
“Iya.. bawel amat dah,”
Sepeninggal Nathan, aku kembali fokus pada rintik hujan yang makin bertambah lebat. Sesekali perhatianku teralihkan pada orang-orang yang berlalu-lalang di café ini. Dari yang panic dengan skripsinya yang basah sampai yang ketawa nungging karena streaming video lucu.
“Gak capek nunggu kak?”
Aku kaget mendengar ucapan itu dan segera menoleh ke sumber suara. Ternyata itu adalah Salsa, anak pramusaji café ini.
“Maksud kamu?” tanyaku heran dengan ucapanya tadi.
“Gak capek nunggu kak Nathan mulu?” jelasnya
“Apasih? Anak kecil jangan sotoy” balasku “Ngomong-ngomong mau kemana nih?” ucapku berupaya mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau ke sekolah, hari ini penerimaan hasil UN kak.” Nerima hasil UN padahal ‘kan masih pukul sembilan pagi. Dasar bocah, pasti mau beli cat pylox dulu.
“Ya udah pergi sana,” usirku. Walaupun sebenarnya aku masih memikirkan pertanyaan darinya tadi. Sampai kapan aku harus nunggu Nathan? Sampai kapan aku harus ngejar dia terus? Kalau ditanya lelah, aku lelah ngejar dia, tapi akan lebih capek aku cari orang seperti dia. Tak mau berlarut dalam khayalanku, aku segera memutuskan menuju perpustakaan karena sebenarnya masih ada tugas yang ingin aku cari. Aku berani membelah hujan untuk sampai di perpustakaan. Walau akhirnya bajuku basah. Segera aku mengambil buku yang kuperlukan lalu menuju ke meja membaca.
Waktu sudah belalu stengah jam, tapi aku masih belum konsentrasi dengan buku yang ada di hadapanku, alhasil aku hanya mencoret-coret kertas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Short StoryCerita pendek tentang cinta yang ambigu. Entah saling bertepuk dan menghasilkan suara tepukan khas Atau malah menghalau angin sendirian dan menunggu sia-sia...