Aku seorang dokter

14 1 0
                                    

Aku merutuki hujan yang datang tanpa memberi kabar pagi ini. Bagaimana tidak, aku yang merupakan anak koas seharusnya datang ke rumah sakit pukul setengah tujuh untuk visite bersama dokter spesialis, namun akhirnya aku terjebak oleh hujan dan tidak bisa mendapatkan akses untuk ke rumah sakit. Sepertinya setelah ini aku akan mendapatkan hukuman penambahan jadwal jaga. Ponselku sedari tadi berdering, karena notifikasi yang masuk. Aku yang tengah berteduh di sebuah warung yang tidak jauh dari kosanku hanya bisa pasrah sambil membaca isi pesan yang ada di grup kuliahku.

Teman-teman visite hari ini tidak ada ya, Prof. sedang sakit, jadi tidak bisa datang. Kita hari ini belajar mandiri saja.

Aku tersenyum membaca pesan dari ketua grup. Karena hari ini aku selamat dari hukuman.
Maafkan muridmu ini prof. Aku bukannya sedang bahagia karena engkau sakit. Aku membatin.

“Eh, Ara.. nggak ke rumah sakit?”

Sebuah suara huski memecah lamunanku. Aku memindahkan tatapanku dari layar ponsel pada orang yang mengajakku bicara. Suara dari seorang pria yang tinggi putih dan tubuhnya terbalut oleh mantel hujan. Ia melepaskan mantelnya, tertangkap oleh hidungku aroma jeruk, khas pria itu. Pria itu duduk di hadapanku sambil memesan segelas kopi hangat.

“Masih lebat, Deo” ucapku. Kini perhatianku teralihkan, matanya yang sipit, bibirnya yang tipis serta gummy smilenya lebih menarik daripada objek apapun.

“Emangnya lo gak bawa payung?” tanyanya lagi yang sambil mengaduk kopi hangat yang dipesannya tadi.

“Ada. Tapi nggak bisa ngecover gue dari hujan sepenuhnya. Lagian juga gue lupa bawa sendal. Kan nggak lucu seharian gue pakai sepatu basah,” ucapku.

“Hahaha iya juga ya, entar elo sakit kalau pakai baju basah. Kalau elo sampai sakit, enggak aman buat jantung gue,” ucapnya. Sialan, semudah itu dia membuat aku berdebar tidak karuan.

“Gombal terus! Dasar buaya, gue gak bakalan sakit kok.” ucapku seraya menutupi rasa gugupku.

“Iya... Iya, bu dokter jangan sampai sakit ya, kalau gue boleh, biar elo bisa ngerawat gue..”

Diam menyelimuti atmosfer kami. Kami sibuk dengan dunia kami masing-masing, Deo sibuk melihat telepon genggamnya, sedangkan aku sibuk dengan fikiranku dan sesekali mencuri pandang pada aktifitasnya.

“Deo!” seorang wanita menyapa dan mendekati Deo. Wanita cantik dengan rambutnya dicepol sembarangan namun tidak mengurangi kecantikannya. Sepertinya ia terburu-buru mengikat rambutnya.

“Jihan? Lo kok bisa ke sini? Tuh malah basahkan semuanya,” seru Nathan dengan kaget. “Eh iya, kenalin ini temanku Ara. Ra, ini Jihan,”

“Ara,” ucapku sambil mengulurkan tangan. Sebenarnya aku enggan tanpa tahu alasannya.

“Jihan,” balas Jia dengan sopan dan imut, namun tidak dibuat-buat. Shit! Dia sangat sempurna. Semua orang akan mudah jatuh hati padanya, termasuk Deo. Sangat tidak tahu diri aku jika aku membandingkan diriku dengannya. Jadi cemburupun aku tidak pantas rasanya.

“Eh Ra, gue cabut dulu ya. Mau anterin singa lepas dulu," ucap Deo sambil kembali menggunakan mantel dan helmnya "bye!”

Aku sedih dan mulai overthingking, kenapa Deo tidak menawarkan untuk mengantarku ke rumah sakit? Tapi dia malah mengantarkan Jihan. Apa karena Jihan pacarnya? Lalu? Untuk apa perhatiannya selama ini padaku?

“Satu lagi, tunggu hujan reda, baru lo pergi ke rumah sakit ya,” ucapnya lalu pergi meninggalkanku yang berusaha menunjukan ekspresi senyum.

“Iya.. Udah sono,”

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang