* * *
Lima belas menit kemudian, Keyza dan Pamannya sudah berada di dalam rumah. Keyza lebih dulu masuk ke dalam kamarnya, duduk bersandar di dekat jendela. langit malam selalu memberinya kesejukan, banyak pesan yang ia ingin sampaikan pada langit. Tentang kerinduannya dengan Ayah. Tentang kekhawatirannya terhadap Ibu. Juga tentang hidupnya. Kadangkala ia berpikir bahwa apa yang terjadi padanya adalah bagian dari dirinya.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia segera bangun dan melihat sosok Pamannya disana. Tersenyum. Memintanya untuk turun, makan malam. Selama hampir sepuluh menit tidak ada perbincangan apapun. Hanya terdengar suara dentingan sendok yang mengenai piring. Pada awalnya ia tidak terlalu menyukai Pamannya. Keyza hanya menganggap Pamannya orang asing. Tapi waktu merubahnya sedikit demi sedikit. Ia mulai bisa menerima. Menerima perpisahan Ayah dan Ibunya. Menerima kepergian Ayahnya lebih cepat. Hingga menerima Pamannya sebagai pengganti Ayahnya.
"Paman sudah mengurus semua perlengkapan sekolahmu. Kau bisa masuk setelah libur panjang ini. Belajar yang rajin, dan jadilah orang yang selalu membantu orang lain."
Wajah Pamannya memang tersenyum, tapi tidak bisa menutupi kelelahannya. Bahkan kini rambutnya mulai memutih. Pamannya tidak bisa lagi berjalan dengan cepat karena persendiannya. Keyza mengangguk. Masih sibuk mengunyah daging di mulutnya.
"Setelah itu, ambilah beasiswa atlit. Jadilah pemain Judo yang hebat dan bermain adil. Bukankah kau suka itu? Kau menyukai Judo bukan?" Lanjut Pamannya.
Kini ia meletakkan garpu di sisi piringnya. Menatap wajah Pamannya. Memang benar, tidak ada keahlian lain selain terus bermain Judo. Mungkin Pamannya masih mengingat pembicaraan beberapa taun lalu saat Keyza menyinggung masalah Judo.
"Ada yang ingin aku tanyakan."
Pamannya mengangkat wajah. "Tanyakanlah,"
"Ibu.." ucapnya ragu, bahkan suaranya tidak bisa sedikit lebih keras dari biasanya.
Rasanya sulit. Bahkan benar-benar sulit untuk menanyakannya. Selama ini ia hanya bertanya pada dirinya sendiri. Tanpa menemukan jawaban apapun. Seperti terkena petir di siang bolong, Pamannya menghentikan makannya. Mengangguk-angguk pelan, lalu menunduk. Memandangi makanannya. Keyza menyesali perkataannya tadi. Rasanya ia terlalu gegabah dan emosi untuk tau persoalan itu. Tapi kini ia sudah dewasa, ia harus mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang ia tau bahwa orang tuanya dulu berpisah. Ayahnya selalu mengatakan bahwa mereka tidak bercerai melainkan pisah rumah. Hanya itu.
Untuk seorang anak usia dasar yang bahkan belum mengerti apa-apa. Ketika semua temannya membawa orang tua pada hari pembagian rapot sedangkan dirinya hanya bisa berdiri mematung, menunggu dengan sabar siapa yang akan muncul dari balik dinding sekolah. Dan selalu saja Pamannya. Dengan membawa dua cokelat juga permen, semata-mata agar dirinya bisa menerima kenyataan itu.
"Belajarlah, karena suatu saat nanti Ibu akan mencarimu. Percayalah pada Paman. Mungkin bukan sekarang tapi nanti."
Keyza menatap Pamannya dengan bingung, kalau sudah begini jadinya tidak ada yang bisa ia tanyakan lagi. Cukup. Ia rasa perbincangan malam ini cukup sampai disini saja.
Sejujurnya malam ini ia ingin istirahat, membiarkan tubuhnya tergeletak diatas kasur. Hanya saja pikirannya berkata lain. Ia mulai membuka jendela, memutar lagu dari ponselnya. Instrumen yang ia suka dari dulu hingga sekarang. Yiruma. Ya, salah satu pengobat rindunya akan hal apapun. Terutama instrumen yang berjudul One Day Diary. Dari atas kamarnya ia bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di bawah sana. Beberapa orang lebih memilih duduk santai bersama keluarga ataupun teman. Yang lainnya masih sibuk dengan kemacetan di malam hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till I Find You
Teen FictionSINOPSIS "Aku membencinya! Sungguh membencinya! Dia laki-laki menyebalkan yang pernah ada!" Keyza Abelia. Sejak pertemuan pertamanya dengan laki-laki itu, yang membuat liburan panjangnya terasa berat juga sesak. Demi apapun, ia ingin membu...