Ada saat hujan selalu datang setiap hari. Dengan rintik dan airnya yang dingin. Ia kembali membawa angin beserta awan kelabu penutup langit. Membuatku bersidekap dalam selimut, bertemankan segelas kopi serta renungan akan hari-hari cerah yang telah lalu.
Sambil menyesap secangkir air sewarna tanah, aku menunggu fenomena itu terjadi. Sesuatu yang membuatku memandang lain akan kedatangan hujan. Di balik tirai air dan hembusan angin, ia akan muncul dalam balutan pakaian serba hitam: seorang laki-laki.
Aku tidak pernah tahu siapa nama dan darimana ia berasal. Setiap kali hujan jatuh dalam intensitas ringan sampai berat, ia akan muncul di ujung jalan. Membawa setangkai mawar hitam dan berjalan menembus tirai air. Tubuhnya tidak basah pun kuyup, hujan seperti menghindari dirinya. Berbelok dari atas kepala kemudian membanjiri sekelilingnya. Seolah ia dilindungi semacam kaca tak kasat mata, atau payung gaib yang tak perlu digenggam.
Kemudian ia akan berdiri di tengah jalan. Mendongakkan kepala dengan sayu ke atas, seolah berkabung pada langit yang tak mau menyentuhnya. Orang-orang sering menegurnya, berteriak: hei, jangan berdiri di tengah jalan, yang kemudian dibalas: maaf, aku sedang mencari kenangan. Itu ia ucapkan dengan senyum letih berbingkai sedih.
Ia tak lagi berdiri di tengah jalan (yang jarang sekali ramai padahal), tapi beberapa orang tetap menegurnya dengan wajah sinis. Terutama ibu-ibu yang khawatir akan keselamatan anak-anaknya. Sering banyak anak-anak kecil bermain hujan, mandi dengan wajah riang dan bahagia. Mereka berkejar-kejaran, saling memekik senang dan lari-lari merentangkan kedua tangan.
Di sanalah laki-laki itu akan berdiri dalam diam kemudian. Memandangi anak-anak itu dalam mata sayu yang hening. Seperti berduka pada kebahagiaannya yang telah lama hilang. Seolah dengan melihat anak-anak itu kebahagiaannya akan kembali.
Tapi sialnya, setiap kali ia muncul di tepi lapangan—tempat anak-anak bermain hujan, maka secepat itu pula ibu-ibu menarik tangan anaknya. Memulangkan mereka secara paksa, bahkan sampai mencubit dan berteriak kecil. Mengeraskan pegangan kemudian menyeret bocah-bocah kecil yang menangis.
Laki-laki itu hanya diam membisu. Lalu melanjutkan perjalanannya ke tempat lain. Jalan-jalan, mengeratkan pegangan pada setangkai mawar hitamnya, dan menjadi hantu yang bergentayangan tiap mendung menurunkan airnya.
Tidak, tidak, aku terkekeh pelan. Cangkir kopiku tinggal setengah, uapnya telah punah seiring hangat yang tinggal tak seberapa. Laki-laki itu bukan hantu, sungguh. Kakinya menapak mantap pada jalan, ia nyata, senyata wujudku juga kepedihan jelas di wajahnya. Ia hanyalah lelaki pemurung yang mencari-cari hal tidak masuk akal bernama kenangan.
Lain waktu, ia berhenti di depan sebuah warung kecil. Ia hanya berdiri di sana, menatap dagangan yang tidak banyak, membuat risih pemilik tempat dan menutup lapaknya secepat mungkin. Ia takut, setakut warga kota lainnya jika laki-laki itu adalah hantu nyata penyebar nasib sial.
Banyak yang berpendapat laki-laki itu adalah seseorang yang terkutuk, berselingkuh dengan istri dari suami orang, lantas ia disihir dukun sewaan untuk tidak pernah merasakan bahagia sama sekali. Ada lagi yang berkata, bahwa dulu ia pernah membawa lari seorang gadis kaya. Kemudian, karena hidup miskin si gadis akhirnya memilih untuk berkhianat dan menikah dengan pilihan orang tuanya. Laki-laki itu pun pulang dari sebuah rumah sambil menggenggam pisau berlumuran darah. Lain pendapat berkata, ia dulu pemuda yang bahagia, memiliki kekasih cacat berkursi roda. Mereka selalu ceria, sampai salah satu di antaranya mati karena sakit parah yang diidapnya. Laki-laki itu pun berkabung selamanya.
Banyak spekulasi bertebaran serupa angin di musim hujan, dan semuanya selalu berakhir dengan seorang laki-laki yang berduka. Sampai suatu ketika, sekelompok remaja nakal menghampirinya.
"Berhenti!"
Laki-laki itu menurut, menatap kelima remaja—yang terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan—berpayung warna-warni tersebut. Hujan lantas menjadi semakin deras. Seorang remaja lelaki maju dengan wajah sok berani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Abu-abu [Kumcer] [Tamat]
Short StoryBaskom itu Bisa Bicara! Ia berkata, Pria Berpayung Hitam akan menciptakan Pelangi Abu-Abu seperti Musim Lalu.