Jadi Untuk Apa?

892 86 10
                                    

Saya tidak tahu apa yang saya tulis di sini.


"Jadi, untuk apa aku menulis?" pertanyaan itu datang, di antara setumpuk buku tebal dan makalah yang belum terjamah. Sial, padahal besok ada seminar KMB dan aku belum siap untuk menyampaikan materi hipertensi beserta anak-anak, cucu, dan cicit penyakit bawaannya.

Yang aku tahu hipertensi itu penyakit darah tinggi, bikin orang mudah emosi, lalu meledak, berubah jadi Hulk warna merah, dan siap mengguncang dunia.

Aku sudah membayangkan lima Super Sentai warna-warni sebelum pikiran itu kembali menyerang dan memutarbalikkan pikiran kosongku yang entah melamun kemana. Kenapa? Pertanyaan itu belum terjawab. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku menulis.

Awalnya iseng, cuma sekadar hobi karena Anime favoritku tidak menyuguhkan akhir yang memuaskan. Aku tidak ikhlas jika perjuangan mereka hanya dihabiskan oleh satu petempuran besar. Padahal dari awal, sampai pertengahan dan hampir selesai, ceritanya sangat menarik dan aku jatuh cinta pada pasangan Karin dan Kazune. Begitu terpikat pada plot twist-nya, bahwa Karin adalah istri Kazune tujuhbelas tahun lalu. Dan Himeka, teman sekelas mereka yang diakui sebagai sepupu Kazune, adalah anak mereka.

Bagaimana mungkin satu keluarga bisa memiliki umur yang sama?

Itulah hebatnya Anime. Aku sampai terpesona dan lupa tidur siang acap kali tontontan itu tayang dan berbuah kemarahan Ibu yang mengataiku kurus-kering-manusia-sisa-tulang.

Aku heran, apa hubungan tidur dengan bertambahnya lemak di lapisan adiposa?

Lambat laun, kebiasaanku menulis terus bertahan selama bertahun-tahun dan aku tidak jenuh duduk diam memelototi kertas sampai jari manisku bengkok akibat menggenggam pulpen terlalu lama. Saat itu aku belum memiliki komputer, dan saat Abah membelikanku komputer second, aku senang luar biasa dan sudah bisa mengoperasikannya hanya dalam waktu enam jam setelah pembelian.

Orang tuaku takjub, mereka pikir aku jenius. Padahal nyatanya, aku cuma mengutak-atik dan sempat mem-format data-data serta aplikasi komputer yang berujung layar hitam atau biru. Aku selalu berdalih bahwa itu salah komputer yang terinfeksi virus. Orangtuaku manut-manut saja saat kuminta membawakan PC ke tempat perbaikan dan meng-install ulang perangkatnya berkali-kali.

Belum ada sambungan internet di rumah. Aku cuma membuka-tutup aplikasi Miscrosoft Word dan Paint. Menggambar seperti anak TK di atas kertas A3, atau menulis cerita abstrak seperti anak ingusan baru belajar mengarang. Aku ingat, tulisan pertamaku berjumlah 500 halaman. Jumlah fantastis yang otakku sekarang tidak akan sanggup lampaui.

Jumlah itu adalah rekor. Sampai sekarang belum pecah, kecuali tangis dan tawaku tatkala melihat draft tulisan tersebut lagi. Yah, dulu pun aku pernah masuk fase yang menyebalkan seorang penulis kacangan—sampai sekarang pun masih kacang. Aku membuat tokoh yang benar-benar sempurna: cantik, manis, baik, pintar, punya kakak tampan, sahabat rupawan, gebetan bak pangeran, dan—di atas itu semua—ia adalah seorang putri bayangan yang disembunyikan dari dunia sihir demi keselamatannya. Rasanya seperti mempresentasikan semua keinginanku di masa kecil.

Bahkan aku sempat percaya bahwa aku bisa mengendalikan cuaca. Setiap kali aku ingin hujan, mendung berarak. Saat aku ingin cerah, awan tersingkir. Aku sangat percaya sampai-sampai aku memberitahukannya pada salah satu sahabatku dan—kampretnya—dia percaya. Ini merupa kebodohan massal yang aku sendiri tidak percaya pernah melakukannya (ah masa kecilku yang menyenangkan).

Untunglah, masa-masa itu telah lewat. Sahabatku kini berada di jurusan dan kampus lain, ia sibuk, sangat jarang menemuiku. Begitu pun aku, kuliah keperawatan tidak memberikan jeda kecuali aku berusaha bangun antara pukul 10 malam sampai 01 pagi. Hanya untuk mengetik, membaca, merenung, dan mempertanyakan diri sendiri seperti tadi.

Musim Abu-abu [Kumcer] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang