Entah sampai mana sudah keseriusan nasib pada hidup kita. Aku bahkan tidak ingat lagi kapan keberuntungan pernah hinggap di atas bahuku. Kapan pula senyum dan cerah matahari menyinari ubun-ubun kepalaku. Karena seingat memoriku yang payah, dunia itu cuma terdiri dari gelap dan segala ketidakberdayaan.
Aku adalah seorang anak manusia, hidup lebih dari 18 tahun yang menjemukan. Melewati jam demi jam dengan iringan siang malam yang tak kalah membosankan. Selalu begitu, pergi dari rumah, beraktivitas, kemudian kembali ke atas kasur malas demi menenggelamkan diri dalam kontempelasi pembuang waktu juga tenaga.
Seiring masa berlanjut, banyak hal yang terlewati. Tertinggal begitu saja di belakang menemani jejak kaki yang bakal terhapus kenangan. Kalau bukan dibubarkan angin yang memaksa segalanya untuk hilang dari permukaan. Tidak, tidak ada yang tersisa dari masa lalu kecuali remahan perasaan yang masih membekas dalam kepala.
Pernah aku merasakan bahagia, bersahabat dengan orang yang tepat dan tersenyum tanpa jeda. Tawa kami berdua seolah tak pernah lekang dimakan waktu, sampai akhirnya kami pun berpisah dan memilih jalan pendidikan masing-masing.
Interaksi dan pertemuan yang nyata adalah perekat ampuh sebuah pertemanan. Bila jarak sudah mengambil tempat di antara, bukan tak mungkin kita akan menjadi sepasang asing yang malas menatap layar smartphone. Menunggu kabar demi kabar yang tak pernah dibawa sinyal pun angin dari belantara kota.
Karenanya, kuputuskan bahwa hubungan di antara kami sudah punah. Musnah ditelan ketidakadaan komunikasi berkelanjutan. "Selamat tinggal" menghambur begitu saja di udara yang beku, bersama setetes air mata peraya perpisahan. Dan bersamanya, tersimpan satu kenangan yang membatu di dasar kotak memori. Dibiarkan berdebu dan dilupakan begitu saja. Meski terkadang, rindu itu masih menguar dari dalam laci dan menyelubungi pikiran. Tetapi kepalaku memiliki mekanisme pertahanan sendiri dengan mencoba menyamarkan asal-muasal rindu tersebut agar tidak dicari keberadaannya kembali.
"Aku lupa." Adalah satu pernyataan sempurna untuk menihilkan segala upaya kembali ke masa lalu. "Biarkan saja." Kukatakan sambil memejamkan mata dan maju ke depan tanpa berani menoleh ke belakang. Seolah ada hantu yang membisikkan namaku, dan bila aku menyahutnya, aku takut akan menjadi batu, atau yang lebih buruk, hatikulah yang membatu. Kemudian remuk dan hancur menjadi abu dibawa aliran sungai bernama air mata.
Karenanya, setiap kali aku memiliki perasaan, aku selalu mencoba netral padanya. Tak berharap, apalagi sampai menginginkan balasan darinya. Pertemanan yang kujalani hambar, juga degap-degup yang muncul tak karuan di hadapan seorang lelaki tak lagi terasa manis di ujung napas. Semuanya serba rata pada taraf gelombangnya masing-masing. Bahkan hidupku kini juga terasa tak menyenangkan. Seolah ada yang terenggut dari dalam dadaku dan aku tidak tahu itu apa.
Mungkinkah kotak memori memakan segala perasaanku di masa lalu?
Aku pernah menyukai seorang anak laki-laki. Ia manis dan perhatian seperti seorang kakak. Kadang apa yang ia perbuat membuat jantungku konslet dan berdetak lebih cepat. Sering kami tak sengaja bersentuhan saat main game Osu! bersama, dan setiap hal itu terjadi, kita pura-pura tak menyadarinya dan membiarkan kedua telapak tangan kita saling melahap sampai menyatu.
Karenanya, kupikir kau juga memiliki perasaan seperti yang kurasakan saat ini. Nyatanya, kau menganggap kita hanyalah sebatas teman. Kawan bermain dan membagi canda. Tak pernah kuterka betapa sakitnya hantaman palu realita di atas tengkorakku. Ngilunya benar-benar memakan kewarasan dan mengikis kebahagiaan sedikit demi sedikit. Beruntungnya, setelah pernyataan cinta yang bertepuk sebelah tangan itu, kau memilih universitas lain di luar kota. Yang jauh, yang tak mungkin kugapai meski aku ingin dan bisa.
Sampai akhirnya kita tak lagi saling berkirim pesan. Kau dan aku, kembali ke tahap awal sebuah perkenalan: keterasingan.
Menunggu cinta atau pun berkah dari langit tidak pernah menghasilkan apa-apa. Karenanya kucoba untuk berusaha semampu tubuh dan pikiranku bisa. Aku berdandan, aku melatih etika, mencoba selalu tersenyum, dan menyapa orang terlebih dahulu. Mengerjakan tugas di waktu yang luang selain tidur dan menangisi kebodohan sendiri yang mencoba membohongi diri.
Ini bukan aku, kuteriakkan hal itu dalam sunyi saat menatap cermin. Kau pribadi yang bebas, yang urakan, yang pendiam, dan tidak akan berbicara kecuali dunia atau makhluk fana bernama manusia mengajakmu. Kau pribadi cuek yang ingin terlepas dari norma dan kemunafikan orang-orang, kenapa sekarang kau menjadi salah satu dari itu semua? Sudah bosankah kau memelihara idealismemu sendiri?
Kadang di malam hari, perasaan rindu itu muncul. Tetapi aku tidak tahu rindu untuk siapa. Tuhan atau setan. Atau mungkin keduanya. Pernah kupikir rindu itu mungkin untuk seseorang yang sedang merantau jauh di kota seberang. Tetapi ketika kutanyakan hal itu pada diriku sendiri, tak ada jawaban, hanya ruang kosong yang gelap yang isinya telah banyak pindah ke kota memori.
Maka kuputuskan malam itu, dengan sisa keberanian yang ada, membuka kembali kotak memori yang sudah berkarat, berdebu, dan menunggu untuk dibuang. Satu per satu gambaran masa lalu muncul, melayang dengan anggun seperti gelembung sabun yang mengambang perlahan. Mengapung dalam kehampaan dengan seimaji satu kejadian yang telah lampau terjadi.
Ada perayaan kelulusan SMA, dilaksanakan besar-besaran dengan seluruh teman-teman seangkatan. Aku ingat kami mengambil foto bersama, foto yang di kamarku tak lebih dari gambar berbingkai yang kacanya telah retak. Ada juga saat aku dan teman-temanku berenang di satu kolam yang kaporitnya tak kalah pekat dibanding bakso berboraks. Rambut kami berubah jadi ijuk, dibuat jambul khatulistiwa dan dijadikan bahan tawa yang dahsyat.
Satu per satu, gelembung-gelembung itu terus melayang dengan santai di sekeliling tubuhku. Plop! Kupecahkan satu gelembung dengan setetes air mata.
Hentikan! Plop. Plop.
Sudah, aku tidak mau mengingat masa lalu! Plop. Plop. Plop.
Aku lupa. Plop.
Biarkan saja. Plop. Plop.
Kubanting penutup kotak memori. Langsung lari menghindarinya. Kabur begitu saja seperti seorang pengecut yang tak mampu menghadapi dunia. Meringkuk dalam selimut bersama sejuta tangis yang entah apa sebabnya.
Aku rindu.
Rindu pada masa lalu yang tak terulang kembali.
Kulewati malam dengan tangis keras yang melelahkan. Keesokan paginya, aku bertingkah kembali seolah tak terjadi apa-apa. Seolah tak ada rasa menyesal masuk ke universitas tempat orang tuaku pilihkan, tempat harapanku dibunuh dari hari ke hari, sampai aku lupa apa hobiku sebelumnya. Melukis, atau menulis, atau malah menangis?
Dan kini, demi menunjang hidupku yang hampir tumbang. Aku membohongi diri sendiri dengan bertingkah seolah aku sedang jatuh cinta. Membentuk bayang seorang pria misterius dalam kepala. Waktu demi waktu yang terlewat adalah penantian panjang sebelum pria itu kembali dari wadahnya untuk menjadi nyata dan menjemputku ke surga.
Demi dia, aku belajar berdandan. Sengaja menyisihkan uang untuk keperluan penampilan. Selalu tersenyum pada sesama dan menaburkan bunga pada hari-hari yang cerah pun mendung sekali pun. Aku sering cekikian sendiri saat melamun, membayangkan ia menggenggam tanganku dan mengecupnya. Lantas melamarku dan kembali, membawaku terbang ke surga.
Ia adalah sosok rekaan untuk menciptakan bahagia demi menutupi semua luka batinku. Demi menghalau aura negatif yang kadangkala menguar mengganggu ketenangan. Pun demi menjadi alasan rindu yang suka menyerang malam-malam. Agar aku tidak teringat asal-mula sakitku yang sebenarnya.
Bahwa aku terlalu lemah untuk menghadapi masalah.
Dan memilih lari dari kenyataan yang dinilai meresahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Abu-abu [Kumcer] [Tamat]
Historia CortaBaskom itu Bisa Bicara! Ia berkata, Pria Berpayung Hitam akan menciptakan Pelangi Abu-Abu seperti Musim Lalu.