BABAK 2

32 3 0
                                    

Bukan mimpi.

Ternyata itu semua bukan mimpi. Vive sudah melakukan berbagai cara untuk membangunkan dirinya sendiri. Tak ada satupun yang berhasil. Ia masih terluka. Rumahnya hangus. Ayah dan ibu sudah tiada. Desanya hancur. Ia sendirian.

Segalanya nyata.

Vive lagi-lagi menangis. Vive tak menyangka akan mengalami kejadian seperti ini. Kehilangan ibunya. Kehilangan ayahnya. Kehilangan teman-temannya. Kehilangan tetangganya. Kehilangan seluruh orang yang ia kenal. Menjadi satu-satunya orang yang tersisa dari klannya.

Sebenarnya, apa yang terjadi?

Kenapa desanya bisa hancur?

Orang-orang desanya bukanlah orang jahat. Mereka semua orang baik, yang ingin hidup dalam ketenangan. Hidup damai. Itulah yang selama ini digembar-gemborkan para tetua.

Desa phoenix memang terpencil. Penduduk desa lebih memilih mengisolasi diri dari dunia luar. Segala yang didapat, akan dibagi sama rata. Semua orang saling gotong-royong untuk hidup di desa. Karena itu mereka bisa memahami satu sama lain. Karena mereka menaiki perahu yang sama.

Vive masih tak mengerti. Kenapa desanya harus hancur? Siapa orang yang tega melakukan semua ini? Apa yang pernah dilakukan orang-orang desanya? Sehingga layak mengalami kejadian seperti ini. Apa kami pernah melakukan kesalahan tak termaafkan?

Lagi. Lagi dan lagi. Kalimat itu terus berputar dibenak Vive yang rapuh. Hatinya terluka dan bernanah. Diusianya yang baru mencapai dua digit. Ia sudah mencicipi pahitnya kehidupan. Jauh lebih pahit dari ramuan yang diminumnya saat ia demam. Pahit dan sakit.

Vive sesegukan. Ia tak lagi menangis meraung-raung. Tenggorokannya perih dan suaranya habis. Tapi, tangisnya tak mau berhenti. Akhirnya, Vive menangis dalam diam.

Vive saat ini berada di hutan. Rumah dan desanya hancur. Tak punya tempat untuk kembali, ia pergi ke satu-satunya tempat yang ia ketahui.

Sebenarnya, Vive ingin tetap tinggal di desanya yang terbakar. Ia juga ingin pergi menyusul kedua orang tuanya. Ia ingin tubuhnya juga dibakar api yang sama yang telah membakar kedua orangtuanya. Sayang, langit tak mengijikannya.

Saat Vive mendekati rumah yang sedang terbakar, hujan besar datang. Hujan yang disertai petir menggelegar. Rintik-rintiknya langsung memadamkan api yang melahap desanya. Memadamkan seluruh api yang menggelora.

Airmata Vive mengalir. Kepalanya mengadah keatas. Ia memandang langit gelap dan petir yang bersahutan. Wajahnya dipenuhi kemarahan.

Kenapa baru sekarang?

Hati Vive menjerit. Ia mengutuk Sang Langit Malam yang tak berbelas kasihan. Sungguh tak berperasaan! Mengapa hujan tak turun sejak tadi? Sebelum, semua yang Vive kenal hangus terbakar?

Vive gundah. Matanya berkeliling. Ia mencari-cari sesuatu yang bisa digunakannya untuk menghukum langit. Sang Langit terlambat dan ia bersalah. Maka, Vive akan menghukumnya.

Vive menemukan sebuah batu sebesar kepalanya. Dengan langkah terseok, Vive mendekatinya. Dengan tangan yang terluka, ia mengangkat batu itu dan melemparkannya sekuat tenaga kearah langit. Batu itu tak sampai menyentuh langit. Ia hanya sanggup melemparnya beberapa puluh senti lebih tinggi dari kepalanya.

Hujan turun semakin deras. Petir yang menyambar semakin banyak. Angin bertiup seakan ingin menerbangkan tubuh rapuh Vive. Vive semakin marah. Ia sedang ditertawakan.

Vive kembali menatap berkeliling. Ia menemukan batu lebih banyak. Terseok-seok dihampirinya kumpulan batu itu. Dilemparkannya batu-batu itu. Satu kali. Dua kali. Terus-menerus. Namun, tak ada satupun yang mengenai langit. Kehabisan batu, Vive melemparkan kayu gosong dari rumahnya.

echoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang