Kindness World: 3

17K 989 27
                                    

Aku kembali di rumah. Aku menekan telpon rumah, dan keluarlah pesan suara dari Ibu.

“Hey ini Ibu. Ibu akan pulang larut hari ini. Makan malam ada di kulkas. Jaga dirimu. Ibu menyayangimu.”

“Ya, aku menyangimu juga, bu.” Aku menjawab pada diriku sendiri.

Aku berjalan ke ruang televisi untuk merebahkan diriku yang lelah karena sekolah. Sebenarnya, terima kasih pada Will karena telah mempercepat waktu sekolah. Dan juga Carol, telah menjadi teman bicaraku saat aku seharusnya masuk ke kelas Matematikaku. Benar-benar hari yang panjang.

Kuganti beberapa kali saluran televisi. Tidak ada apapun. Lalu aku putuskan untuk menonton film horror. Bicara tentang film, aku sangat suka film horror. Seperti ada perasaan tersendiri saat menontonnya. Aku tidak berteriak, namun hanya lompat terkejut. Aku selalu menonton film horror sendirian. Karena mana mungkin Ibu suka dengan film bergenre seperti ini. Dan aku juga suka film fantasi. Aneh dan tidak masuk akal. Seperti hidupku sekarang.

Aku menonton filmnya dengan wajah datar, dan cemilan di tanganku. Film horror ini sudah kutonton lebih dari dua kali. Jadi aku tau mana bagian mengejutkanya.

Tiba-tiba saja aku mendengar suara berisik-berisik dari jendela yang jaraknya hanya beberapa langkah di sampingku. Aku mengecilkan volume TV-ku, lalu berjalan mendekati jendela itu. Kubuka tirainya dan tidak ada siapa-siapa, hanya ada tanaman—letaknya tepat dibawah jendela—yang mengetuk-ngetuk kaca jendela. Kusimpulkan dari situlah suara itu berasal.

Saat aku hendak kembali ke sofa, suara ketukan jendela itu semakin keras dan menurutku sangat tidak mungkin sebuah tanaman bisa terketuk sekeras itu. Oke, sekarang aku seperti di film horror-horror yang pernah kutonton.

Aku kembali membuka tirainya dan lompatlah sesosok manusia di hadapanku. Wajahnya tersenyum, namun aku hanya melihatnya datar. Aku membuka jendelanya.

“Apa yang kau lakukan di sini, Carol?”

“Mengapa kau tidak kaget? Padahal aku sudah merencanakan ini.” Kusadari ia berdiri di sebuah dahan pohon yang rendah. Ia yang membuatnya, karena tidak mungkin ada pohon sekecil itu bisa dinaiki beban yang begitu berat.

“Masuklah.”

Saat aku ingin menutup jendela, salah satu ranting yang Carol buat menahan jendela ini. “Tak usah repot-repot.”

Segera ia menunduk dan memasuki rumahku melewati jendela kecil ini. Mengapa ia muat?

“Hey, aku punya pintu.” Jelasku.

Ia mengabaikan perkataanku, lalu langsung melihat-lihat. Itu hal biasa. Aku kembali duduk di sofa, filmnya belum berakhir. Carol melihat foto-foto yang berada di atas tungku api. Dan itu menutupiku untuk menonton filmnya.

“Kau mirip sekali dengan ayahmu.”

Aku tidak menjawab. Aku masih memperhatikannya yang sedang mengangkat bingkai foto keluargaku. Hanya berdua. Ibu bilang, saat foto itu diambil aku sudah ada, namun umurku masih kira-kira dua minggu. Hebat, bahkan aku masih berupa seperti biji kacang kedelai.

The Exorcist, huh?”

Aku hanya mengangkat bahuku dan tersenyum simpul. Itulah film yang sedang kutonton. “Film aneh dengan anak perempuan menjijikan.”

“Benar.”

Lalu kami berdua hening. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku sama sekali tidak memerhatikan film ini. Karena aku sudah menontonnya berkali-kali masih saja aku tidak tau apa jalan ceritanya.

“Aku bertemu Will.”

“Benarkah?”

“Ya. Di perpustakaan.”

Kindness WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang