Sebuah Nama

20.1K 1.3K 67
                                    

Zarra tidak mengacuhkan kerumunan orang yang dipenuhi rasa penasaran. Entah karena apa mereka begitu tertarik mengelilingi gadis itu demi mendapatkan sebuah jawaban.

"Ra, kak Ozan siapa kamu?"

"Kak Fauzan pacar kamu?"

"Kamu pacaran sama kak Ozan yang mantan ketua osis itu?"

"Katanya alim, kok pacaran juga sih."

Kalimat terakhir sangat menohok, benar-benar mengesalkan sehingga Zarra yang tadinya hanya diam mulai angkat bicara.

"Jangan terlalu banyak berasumsi. Ara takut dosa kita bertambah," ucapnya lalu keluar kelas.

Semua pertanyaan itu muncul ketika Zarra memasuki kelas beberapa menit yang lalu. Orang-orang dengan tingkat penasaran tinggi itu muncul karena kemarin dia berangkat ke sekolah bersama Fauzan. Tidak banyak yang tahu kalau sebenarnya mantan ketua osis famous itu adalah kakaknya. Karena itu dia selalu menghindar ketika disuruh berangkat bareng dengan Fauzan.

Zarra sudah menjelaskan kalau laki-laki yang bersamanya kemarin adalah kakaknya, tapi mereka bilang dia hanya mengada-ada. Padahal jelas-jelas nama belakang mereka sama.

Memang ini adalah kesalahannya, sejak awal tidak mau memperkenalkan diri sebagai adik dari siswa yang cukup berpengaruh. Dia juga meminta Fauzan untuk tidak memberitahu, kalau tidak ada yang bertanya.

Saat berjalan keluar, Zarra berpapasan dengan Hafsah yang baru saja mau sampai di depan kelas.

"Mau kemana, Ra?"

"Kantin. Mau ikut?" tanyanya.

Hafsah terlihat berpikir sebentar, sampai adasegaris kerutan di dahinya. Namun, di detik berikutnya matanya membulat.

"Astaghfirullah. Ra, aku belum ngerjain tugas Pak Sofyan. Aku ke kelas dulu ya."

Tanpa mengucapkan salam, gadis bermata sipit itu berlari ke dalam kelas. Zarra yang melihat itu hanya tersenyum tipis, Hafsah tidak banyak berubah.

Belum sempat ia melanjutkan langkah, seseorang menabrak punggungnya hingga Zarra tersungkur ke depan.

Kalau saja tidak ada orang yang menangkapnya, saat ini dia akan terjatuh dengan wajah membentur bebatuan.

Merasa ada yang janggal saat melihat ke bawah, Zarra mendongak. Ekspresi terkejut itu terbaca, dia langsung berdiri menjauh.

"Astaghfirullah," ucapnya.

Benar saja yang menangkap Zarra adalah seorang lelaki. Ia tahu saat melihat bawahan yang dikenakan bukanlah rok melainkan celana abu-abu.

Dengan hati berdebar dan wajah memanas, Zarra berusaha menahan air matanya. Bukan karena malu, melainkan rasa takut karena bersentuhan dengan yang bukan mahram.

Zarra selalu ingat kata-kata ustazah Syifa saat kajian.

"Jika seseorang berpegangan tangan dengan yang bukan mahramnya. Maka Allah akan memberikan kerikil panas ke tangan orang tuanya di akhirat nanti."

Mengingat hal itu Zarra berlari menuju kelas. Masalah perut ia lupakan begitu saja.

Memang tidak banyak orang yang melihat kejadian itu, tapi Allah selalu menyaksikan setiap kejadian yang dialaminya.

Berkali-kali Zarra meminta maaf atas apa yang terjadi.

"Ya Allah, maaf. Maaf Ara gak sengaja, jangan kasih kerikil panas ke tangan Umi sama Abi nanti."

Hamasah ZarraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang