Hukuman Pertama

17.8K 1.1K 31
                                    

Jumat merupakan hari dimana siswa merasa senang karena pulang lebih awal. Namun, tidak bagi Zarra. Dia harus menunggu Fatar, teman sekelasnya.

Sebenarnya dia tidak mau menunggu orang itu. Kalau bukan karena tugas, Zarra tidak akan mau berlama-lama menunggunya di bawah pohon.

Beberapa jam sebelumnya.

Pagi ini siswa kelas X-5 direpotkan dengan ulangan harian mendadak.

Mereka mungkin tidak akan terlalu panik, kalau saja ini pelajaran bahasa Indonesia yang bisa diisi dengan cara mengarang bebas. Namun, bagaimana dengan soal matematika yang membutuhkan rumus untuk memecahkannya. Meskipun berupa soal cerita, bukan berarti bisa diselesaikan dengan cara mengarang.

Hal ini tidak berlaku bagi Zarra. Dia sudah terbiasa dengan ulangan-ulangan mendadak seperti ini.

Bukan hanya Zarra. Ada seorang siswa lain yang juga selalu siap dengan keadaan mendakak. Mereka bahkan seringkali dibandingkan dalam soal nilai. Pernah sekali keduanya sama-sama mendapatkan peringkat pertama karena jumlah nilai di raport yang sama.

Muhammad Fatar Khulafa Ad-Diwani.

Meski kebanyakan laki-laki bersifat malas dan tidak acuh pada pelajaran dan tugas. Namun, lain halnya dengan Fatar. Dia merupakan siswa berprestasi yang sudah mengharumkan nama sekolah. Dia berhasil memenangkan juara pertama lomba tilawatil quran yang diselenggarakan di Kairo, Mesir.

Dengan prestasi dan wajah yang rupawan, tak sedikit kaum hawa yang tertarik padanya. Namun, bukan Fatar namanya jika dia meladeni para gadis.

Fatar terkenal dengan sifat dinginnya kepada para gadis. Ketika teman seusianya bangga karena dikagumi banyak perempuan cantik, hal itu tidak berlaku bagi dirinya. Fatar justru merasa risih. Itu sebabnya dia selalu berkata seperlunya pada teman-teman perempuan.

Setelah pak Domini membagikan kertas soal. Semua siswa mulai fokus mengerjakan.

Zarra yang duduk di barisan paling depan terlihat fokus pada selembar kertas di hadapannya. Tetapi tidak dengan teman yang duduk di sampingnya.

Sedari tadi Hafsah terlihat gelisah. Keringat dingin mengucur di sekitar dahi dan pelipis. Meski tertutup oleh kerudung, tapi Hafsah dapat merasakannya.

Zarra yang melihat gelagat sahabatnya itu menoleh ke samping.

"Kenapa Haf?" Zarra menyimpan alat tulis dan meletakkan punggung telapak tangan pada dahi Hafsah.

"Kamu sakit?" jemarinya merasakan sensasi panas yang menjalar.

Hafsah menempelkan kepala ke atas meja. Rasa pusing membuatnya tidak bisa fokus mengerjakan sederetan soal angka.

Tanpa menjawab pertanyaan Zarra, gadis itu mengangkat ibu jari sebagai isyarat bahwa dia baik-baik saja.

"Kita ke UKS sekarang ya," ajak Zarra.

"Eng.. nggak, Ra. Aku males kalau nanti harus ikut ulangan susulan," jawab Hafsah. Suaranya terdengar lemah, wajahnya pucat.

"Hafsah. Ini cuma ulangan harian, kesehatan kamu lebih penting." Belum sempat Hafsah menjawab, Zarra sudah mengangkat tangan.

"Pak," sahutnya.

Pak Domini mendongak dan menatap sumber suara. Begitu juga dengan siswa lain yang tadinya sedang fokus.

"Ya, ada apa?" tanyanya.

"Saya izin ke UKS, teman saya sakit." Matanya menoleh ke arah Hafsah yang sudah terlihat lemas.

"Silakan," jawabnya.

Setelah mendapat izin, Zarra membantu Hafsah berdiri dan berjalan dengan menggandeng lengan dan bahunya.

Hamasah ZarraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang