Bidadari

23.6K 984 2
                                    

Bidadari


Kirana dengan kaki bersepatu flat hitam menuruni angkot dengan terburu-buru. Setelah membayar ongkos dengan dua lembar uang dua ribuan, ia berlari-lari kecil menuju pagar kampusnya yang merupakan salah satu kampus negeri di kota Bandung.

Sambil melambatkan langkah, Kirana mengatur napasnya yang memburu juga memperbaiki posisi tali tasnya. Tas selempang hitam yang membebani bahu kanannya, berisi buku-buku yang semuanya berbau Psikologi sesuai jurusan kuliahnya.

Kirana memperhatikan keadaan ruang kuliah. Ramai oleh mahasiswa dengan beragam aktivitas. Beberapa mahasiswa yang ia kenali sebagai teman sekelasnya sedang asyik bersantai di depan ruangan.

Kelas pagi belum mulai. Adel, teman terdekatnya selama setahun kuliah, yang tengah mengobrol dengan Lina, menyudahi pembicaraan mereka. Adel berpikir- pikir mengapa Kirana terlambat, karena hal tersebut langka dan tidak biasa.

Setelah menjelaskan kronologis keterlambatannya disebabkan lupa mengambil tugas Final yang akan dikumpulkan di kuliah pagi itu, Kirana mengajak Adel masuk ke dalam kelas. Jika tidak salah dengar, Kirana menggumamkan sesuatu tentang tugas. Wajah Adel melongo maksimal.

"Lo tuh ya. Baru dateng udah ngajak kerjain tugas." Adel cemberut tapi tetap menarik kursi agar benar-benar sejajar dan merapat dengan kursi yang diduduki Kirana.

Mengabaikan napasnya yang masih belum stabil dan keluhan Adel, Kirana mengeluarkan dari dalam tas, tugas yang sudah dijilid rapi. Jilidan tipis bersampul plastik birutersebut diletakkan di pangkuannya. Tas selempangnya yang berat diletakkan di kursi sebelah yang masih kosong.

"Lebih baik mengerjakan tugas daripada ngobrol kan?" Kirana menarikan pulpennya di atas meja sambil memeriksa kembali tugasnya. Setelah yakin tidak ada lagi yang salah, atau kurang berkenan di hati, dimasukkannya lagi lembaran tipis kertas berjilid itu ke dalam tas.

***

Peluh yang mengalir di pelipis dan bertitik-titik di dahinya diseka hati-hati dengan sehelai tissue. Kirana berjalan menuju kios fotokopi yang cukup besar. Kios itu hanya satu dari sekian banyak tempat fotokopi yang tersebar di sekitar areal kampus. Sengaja dipilihnya karena pelayanannya cepat dan pegawainya ramah.

Seorang petugas fotokopi beranjak dari duduknya dan menerima pesanan fotokopi yang dibawa Kirana. Untuk menghindari kesalahan pencetakan, ia mencatat baik-baik jumlah yang akan digandakan. Setelah memperoleh deal kapan fotokopian diktat bisa diambil, Kirana pun meninggalkan kios dengan beberapa mesin yang sibuk melakukan fungsinya yang dikendalikan manusia.

Kirana mengipas-ngipas wajahnya menggunakan kertas lusuh bekas fotokopian yang didapatnya di atas meja etalase. Ia menyeka peluh di lehernya, tiba-tiba butuh minum. Ia berjalan penuh dahaga ke sebuah lemari display dan mengambil sebotol teh beraroma melati. Ia terlalu akrab dengan minuman tersebut mengalahkan air mineral dingin yang diletakkan bersebelahan.

Sambil sesekali meneguk teh dalam botol menggunakan pipet plastik putih berlekuk, Kirana duduk mengamati ke sekeliling area halaman tempat fotokopi. Hanya segelintir mahasiswa terlihat di sekitar situ. Dua orang mahasiswa berlainan jenis sedang tertawa entah mengobrolkan apa. Ada pula empat orang mahasiswi berpakaian dengan tema sama-mungkin sudah janjian semalam- ; kaus-kardigan-jeans, baru keluar dari tempat fotokopi lain yang letaknya masih sejajar kios yang dimasukinya tadi.

Bahagia rasanya melihat mereka yang akrab dengan kawanannya. Membandingkan kondisi sosialnya sendiri, tanpa sadar Kirana meringis. Ia pernah sangat akrab dengan individu lain. Memiliki liga sosial walaupun kecil. Punya sahabat yang disayangi dan menyayanginya.

Namun bukan berarti di kampus ia anti sosial. Untuk urusan sosialisasi, ia bergaul dengan siapapun, namun tanpa geng dan sahabat.

Puas dengan minuman dinginnya, Kirana bersiap-siap memasuki kampus. Jadwal kuliah berikutnya sudah menanti. Dimasukkannya botol berisi teh yang masih bersisa setengah ke dalam ransel hitamnya. Langkahnya memacu cepat, seperti eksekutif muda yang tergesa menuju tempat meeting. Bedanya, ia datang untuk mentransfer ilmu, bukan menggolkan rencana bisnis menjadi gelimang rupiah.

***

Imperfect Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang