Puncak

11.9K 659 9
                                    

Puncak



Sebuah bus besar bercat putih bergerak perlahan meninggalkan sebuah terminal yang ramai oleh manusia dengan beragam aktivitas.Meninggalkan jejak asap karbon monoksida yang berkontribusi menambah jumlah polutan di udara. Pepohonan beruntung, mendapat asupan bahan bakar fotosintesis yang tidak terbatas. Seperti simbiosis mutualisme. Mengolah zat yang bersifat racun menjadi oksigen yang berguna untuk kehidupan.

Lalu sebuah bus lainbercat biru muda yang melaju sama hati-hatinya dengan bus yang baru saja berlalu pergi tersebut,berhenti di area kosong yang memang diperuntukkan bagi jalur angkot di dalam terminal.

Kehidupan pun seperti itu. Ada dua hal yang berlawanan. Ada yang datang dan ada yang pergi. Masing-masing bergerak di bawah kendali manusia yang diatur Tuhan dalam kitab yang disebut takdir. Semacam siklus yang akan terus berlangsung sepanjang periode kehidupan manusia.

Sang kenek bus yang baru tiba tadi melompat turun sebelum bus benar-benar berhenti, seolah tidak takut akan jatuh dan keserempet, kemudian berteriak sambil sesekali menunjukkan isyarat tangan di mana bus bisa berhenti di posisi yang benar. Bus nyaris berhenti ketika dua orang penumpang remaja ikut melompat turun dari bus, seolah takut keduluan dengan penumpang lain.

Penumpang yang penuh sesak di dalam bus tersebut satu-persatu turun dari bus dengan beragam ekspresi wajah, sebagian besar nampak lelah. Turun dengan aneka bawaan masing-masing berupa tas, kantung kresek aneka warna, kardus bahkan ayam hidup. Bagi yang memiliki barang tambahan di bagasi, mereka menunggu kenek yang berjumlah tiga orang, menurunkan barang mereka masing-masing. Sedangkan penumpang lain yang tidak memiliki barang di bagasi, berjalan menjauhi bus tanpa perlu menunggu lebih lama. Ada yang langsung mendapatkan jemputan. Seperti serombongan ibu-ibu yang berjalan sampai ke tempat parkir dan masuk ke sebuah mobil Avanza hitam. Lainnya memilih duduk di ruang tunggu. Mengabaikan tukang ojek dan angkot yang masuk ke terminal menawarkan jasa.

Kirana yang duduk termenung di salah satu kursi di ruang tunggu, mengamati aktivitas orang-orang di terminal sambil ikut membayangkan menjadi salah satu dari mereka. Tas berisi pakaian diletakkan di pangkuannya.

Ia hanya satu dari banyak penumpang yang menunggu keberangkatan bus. Ia sudah mendapatkan kursi dalam bus sesuai yang diinginkan. Beruntung ia cepat membooking kursi hingga ia berhasil mendapatkan kursi di bagian depan, dalam satu deret dengan kursi supir. Di dekat jendela pula.

Tadinya ia bermaksud menunggu saja di dalam bus. Namun tidak ada tanda-tanda bus akan berangkat cepat. Masih banyak kursi yang kosong di deretan tengah hingga ke belakang. Seperti sudah janjian sebelumnya, penumpang yang datang lebih awal, mengisi kursi mulai dari depan. Bagi yang kurang beruntung, silahkan menempati kursi di deretan paling belakang.

Seperti kehidupan. Melakukan seleksi. Mengambil yang terbaik di antara pilihan yang tersedia serta menyisihkan lainnya yang kurang baik.

Sejak sejam yang lalu bus itu masih diam di dalam terminal bersama bus-bus lain yang menunggu penumpang sampai terisi penuh. Sejam itu pula masa penantian Kirana dan lima penumpang pertama. Menunggu kapan bus itu akan penuh dan berangkat. Berkali-kali supir dan kenek secara bergantian membujuk mereka untuk bersabar menunggu. Alasannya rugi jika bus berangkat dengan jumlah penumpang sedikit.

Pengalaman menunggu dosen selama kuliah membuat Kirana tidak terlalu merisaukan kapan bus itu akan berangkat. Pikirannya lebih banyak tersita untuk hal-hal lain, namun bukan tentang kuliah. Pikirannya sudah berat tentang itu selama kurang lebih empat bulan.

Bukan. Bukan tentang itu. Karena ada hal lain yang tidak kalah pentingnya. Sesuatu yang bersembunyi dalam memorinya akan masa lalu. Terkadang membuatnya takut, berharap sesuatu itu segera pergi.

Imperfect Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang