Akan tiba saatnya, mencintai bukanlah sebuah perasaan yang hanya untuk diungkapkan. Namun sebuah keputusan yang harus dipilih antara menuruti kata cinta atau membahagiakan orang yang dicinta.
Aji dan Wulan kembali terlibat adu mulut ketika dalam perjalanan menuju rumah mereka. Aji menyayangkan sekali mengapa bisa istrinya memilih perempuan seperti Nisa untuk menjadi istri keduanya. Bahkan dalam diri Wulan sendiri lebih banyak memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan Nisa. Tapi tetap saja Wulan memaksa kehendaknya.
"Mas cobalah lihat Nisa dari sisi yang lainnya. Jangan karena kamu terpaksa menerima permintaanku, kamu langsung menilai negatif Nisa. Dia sahabatku Mas, dia sahabat karibku sejak dulu" jerit Wulan kepada suaminya yang masih sibuk menyetir mobil mereka.
Sekali-kali Wulan akan melirik Aji yang nampak lelah. Dia sering kali memijit pelipisnya dengan sebelah tangan sambil berusaha memfokuskan pikirannya dalam mengemudi.
Jelas saja Aji pusing, apalagi setiap jeritan permintaan Wulan seperti sebuah pisau yang terus saja menghujam jantungnya. Wulan sekarang ini memang terlihat bukan seperti Wulan biasanya, melainkan layaknya seorang hakim adil untuk memutuskan apa Aji masih bisa hidup atau tidak.
Dan Aji tidak suka itu. Dia benci Wulan begini. Mengenal Wulan sejak masa kuliah, dan menikahinya selama hampir 6 tahun seakan membuat Aji tidak mengenal Wulan saja. Wulan sangat jauh berubah ketika mendesak Aji.
"Sayang, Mas mohon diberikan waktu lagi. Mas harus berpikir dulu. Mas butuh sholat istikharah dulu. Tolong mengertilah. Menikahi dia bukan perkara ijab kabul saja. Tapi kedepannya Mas masih belum yakin mampu untuk adil" ucap Aji berusaha menjelaskan maksud hatinya.
Wulan pun terdiam. Dia juga mengerti semua kata-kata Aji. Biar bagaimanapun suaminya pasti butuh waktu. Walau sering kali Wulan dengar diluaran sana, tidak ada seorang lelaki yang bisa menolak seorang perempuan untuk dijadikan yang kedua, namun tetap saja Wulan tahu Aji berbeda.
Hampir 10 tahun mengenalnya sungguh membuat Wulan yakin bila Aji mampu untuk bersikap adil. Aji adalah sosok lelaki sejati dimata Wulan. Dia bisa menempatkan segalanya dalam posisi yang tepat. Maka dari itu, cuma Aji yang Wulan pikir bisa membahagiakannya dan Nisa sekaligus.
"Iya Mas, Wulan paham. Mungkin memang Mas butuh sholat lebih dulu. Mas butuh memantapkan hati dan pikiran Mas. Tapi..." Wulan menggantung kalimatnya, menatap Aji dengan tatapan penuh cinta. "Tapi Mas itu adalah lelaki yang Wulan percaya mampu. Mas itu bukan lelaki sembarangan. Dan harusnya Mas paham, adil itu bukan membagikan segala sesuatunya sama rata. Melainkan membagikan segala sesuatunya sesuai kebutuhan. Mungkin saat ini perhatian untukku sudah sangat begitu cukup, maka alangkah lebih baiknya jika Mas nanti sudah menikahi Nisa bisa memerhatikannya lebih"
"Tapi yang?"
Wulan dengan begitu inisiatif menggenggam sebelah tangan Aji. Mengusap punggung tangannya dengan lembut kemudian menciumnya. "Apapun keputusan Mas nantinya Wulan terima. Mas tahu kan seberapa besar perasaan cinta Wulan untuk Mas, maka dengan begini seharusnya Mas semakin tahu seperti apa Wulan sebenarnya. Semua perempuan di dunia ini pastinya ingin mendapatkan ridho dari suaminya serta mendapatkan kunci surga dari setiap tindakannya untuk suami. Wulan juga begitu Mas, jangan berpikir Wulan adalah malaikat. Karena malaikat itu tidak ada yang begitu cinta mati kepada manusia."
Setelah mengucapkan kalimat begitu panjang, Aji hanya mampu menatap penuh haru istrinya. Wulan akan tetap menjadi Wulan, seorang istri dan seorang ibu untuk kedua anaknya.
***
Setibanya di rumah, suara gelak tawa kedua anak Aji serta Wulan menyambut kedatangan mereka. Si kecil yang sering dipanggil Alan nampak berlari dengan begitu lincahnya. Menghampiri Wulan yang baru saja tiba di pintu rumah. Sedangkan si kakak yang sudah masuk sekolah taman kanak-kanak hanya mencibir kelakuan adiknya. Dia sibuk mewarnai huruf-huruf hijaiyah yang berada di dalam sebuah buku mewarnai.
KAMU SEDANG MEMBACA
POLIGAMI
SpiritualAku munafik bila ini hanya tentang sebuah permintaan. Tapi nyatanya ada cinta yang begitu besar terselip di sana -Satya Wiraji- Mungkin hanya aku perempuan yang meminta suaminya untuk menikah lagi. Namun satu hal yang menjadi dasarku melakukannya, k...