Part 4

16.5K 1.1K 184
                                    

Jangan takut dikhianati oleh hati bila kau mengakui apa yang tengah dirasakan.

Aji menekuk wajahnya kala Wulan terus saja menggodanya selama perjalanan pulang. Istrinya itu seakan sadar di sinilah celah dia berbicara mengenai permintaannya kembali.

"Udah sih Pa, ngaku aja sama Mama kalau Papa suka sama Nisa," kekehnya geli.

Aji berusaha tidak memperdulikan dan sibuk mengangkut barang-barang yang tadi dia beli dari dalam mobil ke rumah. Wulan sengaja turut membantu Aji membawa barang-barang, karena aksinya menggoda Aji belum kunjung selesai.

"Gengsi ya Pa sama Mama?" Wulan masih sibuk tertawa. Ia berjalan dibelakang Aji dengan dua tas plastik besar makanan ringan untuk kedua anaknya.

Namun yang terjadi tubuh Aji berbalik. Memandang Wulan dengan tajam. Hingga gelak tawa Wulan terhenti.

Dia sadar suaminya tengah marah kali ini. Maka dia harus mengunci mulutnya rapat-rapat. Menghindari peperangan diantara mereka.

"Coba ngomong lagi," perintah Aji.

"Ih, apaan sih Mas. Kan cuma bercanda. Nggak boleh loh marah sama istri. Dosa."

"Dosa?" Ulang Aji. Dia menaikkan kedua alis hitamnya tinggi-tinggi. Sejak kapan memarahi istri yang salah dosa?

Memangnya tadi Wulan salah apa sama Aji?

Dia hanya berusaha menggoda Aji. Jika memang dalam diri Aji tidak merasakan apapun, harusnya Aji tidak terpancing godaan istrinya itu.

"Iya dosa lah. Aku kan nggak salah apa-apa. Bercanda ya balas dengan bercanda dong" goda Wulan.

Tubuhnya sengaja melangkah melewati Aji yang masih terdiam.

Benar, Wulan sejak tadi hanya bercanda. Mengapa dia menganggap semuanya serius?

Apa karena ego dalam dirinya yang sedang berontak akibat dari penolakkan Nisa akan bantuannya.

Lelaki mana yang terima penolakkan? Bukankah dalam diri laki-laki tersimpan rasa ego yang begitu tinggi. Hingga kaum perempuan harus sadar. Bagaimanapun hebatnya mereka harus tetap mengakui bahwa perempuan butuh sosok lelaki dalam hidupnya.

"Aduh Mas, jangan ngelamun dong. Masih banyak tuh yang harus dibawa," goda Wulan kembali.

Aji membungkam. Ia melangkah masuk dengan pikiran yang sibuk mencaci maki egonya.

Dia bukan lelaki yang baru beranjak remaja. Harusnya dia bisa menjaga egonya dan lebih mengedepankan akal dan pikirannya.

Tepat ketika Wulan mendekat ke arahnya, dia menarik tangan istrinya itu yang terlihat sibuk dengan barang-barang.

"Kenapa Mas?"

"Biar Mas aja," ucap Aji.

Dua plastik besar berisi buah-buahan Aji yang bawa dan masukkan ke dalam lemari es. Dia tidak mau Wulan lelah mengakut semuanya. Padahal seharusnya Wulan menjadi ratu di rumah ini.

"Aduh, kamu kok manis banget sih," goda Wulan tak bisa berhenti.

Ia bergelayut manja di lengan Aji dan mencium pipi suaminya itu dengan gemas.

"Kamu dari dulu ke mana aja?"

"Ke mana?" Tanya Wulan tidak paham.

"Baru sadar aku manis? Nanti kalau manis aku diambil orang gimana?" kekeh Aji.

Wulan mencibir dalam namun tak kunjung melepaskan pelukannya dari Aji. "Suamiku nggak akan diambil orang. Karena aku sendiri yang akan membaginya pada orang yang tepat,"

POLIGAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang