Bulan di tengah Langit Malam

29 0 0
                                    

Sherina Munaf - Cinta Pertama dan Terakhir

*

Harusnya aku pergi sejak dulu. Harusnya, aku tak pernah memilih untuk bersekolah di sini. Dan, harusnya, aku tidak diciptakan di dunia.

Buat apa?

Yang kurasakan hanya kekelaman dan neraka. Aku selalu dikelilingi oleh orang-orang bertopeng iblis. Mata mereka selalu menatapku remeh. Tangan-tangannya tak pernah lelah menunjukku sebagai pecundang.

Di pojok kelas ini, aku satu-satunya murid yang duduk sendiri. Karena tak ada yang mau duduk dengan seorang gadis pengidap HIV.

Kalau kalian tanya apa hobiku, mungkin akan kujawab; menangis sebelum tidur. Dan jika kalian bertanya apa cita-citaku, jawabannya satu; aku ingin cepat mati.

Terserah kalian mau menilaiku sebagai makhluk tak tahu bersyukur dan sebagainya. Tapi, jika kalian menjadi aku, apa kalian sanggup?

Dilahirkan tanpa kasih sayang orangtua, tinggal di panti asuhan kumuh seumur hidup, mengidap penyakit mematikan, dan tak punya seorang pun yang mau menatap dengan kasih.

Awalnya semua tak seburuk ini sebelum Clara—gadis cantik kaya raya yang dikagumi tiap kaum adam di sekolahku—memberitakan pada rakyat sekolah tentang penyakitku. Dan parahnya, mereka semua menganggap penyakit ini kudapat dari hubungan sex yang menjijikan.

Padahal, tidak.

Sejelek-jeleknya kehidupanku, aku tak pernah memperburuknya dengan hal-hal memalukan seperti itu. Aku mendapat virus menyeramkan ini dari suntikan tidak steril dari panti ketika aku sakit demam berdarah.

Harusnya aku mati saja saat itu, dibandingkan harus hidup dalam kegelapan.

Aku terus merasa tidak berguna hingga hari itu tiba. Saat itu, segerombol murid berlomba masuk kelas setelah lelah berdiri pada upacara bendera yang rutin dilakukan tiap senin. Begitu juga aku.

Namun, senin itu berbeda. Karena aku menemukan sebuah tas lain di mejaku. Jelas itu bukan tasku.

Awalnya aku bersikap cuek. Mungkin itu tas anak lain yang sedang nyasar atau bagaimana. Mungkin seseorang yang menaruhnya asal karena takut telat mengikuti upacara. Namun ketika sang wali kelasku masuk, seorang laki-laki mengekor dari belakangnya. Menit berikutnya Bu Erin—wali kelasku—memperkenalkan cowok bermata lembut itu sebagai murid baru di semester ini.

Sontak hal itu menimbulkan siulan kecil dari para murid lainnya.

Perawakannya yang tinggi, rambut tak teratur, dan sebuah kacamata bertengker di hidungnya justru membuatnya terlihat keren, tidak sepertiku yang culun.

Aku menyimak perkenalan singkat itu tanpa minat sebelum akhirnya Si Anak Baru—yang bernama Gilang—berjalan ke arahku dan duduk tepat di sebelahku.

Kini mejaku terisi dua orang.

Aku menatapnya tidak percaya. Tak beda jauh dengan tatapan beberapa siswi yang berpusat padaku.

Tidak ingin ia menyesal dikemudian hari, aku berbisik, "kau yakin mau duduk di sini, bersamaku?"

Gilang menoleh padaku. Sebuah senyum yang jarang aku dapatkan melayang dari bibirnya. "Kau keberatan?" tanyanya lembut. Seketika membuatku menyesal telah bertanya sarkastik padanya.

"Bukan begitu. Tapi, selama 2 tahun aku bersekolah di sini, tak ada yang mau duduk denganku. Terutama setelah mengetahui rahasia umum tentangku."

Sebelah alis tebalnya terangkat. Ah, aku yakin, setelah ia tahu tentang penyakitku, pasti ia langsung menyesal dengan hari ini. "Rahasia apa? Boleh aku tahu?"

"Kau akan tahu nanti," ucapku mengakhiri. Setelah itu Bu Erin mulai mengoceh di depan papan tulis putih dan spidolnya.

Hari-hari selanjutnya berjalan agak berbeda dengan sebelumnya. Para murid tetap memandangku jijik, tapi kini ada satu orang yang selalu menyunggingkan senyum tulus padaku.

Siapa lagi kalau bukan Gilang.

Setelah sekiranya dua bulan lebih aku dan Gilang duduk bersama, laki-laki itu tetap berlaku baik padaku. Bahkan sesekali membantuku dalam hal pelajaran yang sulit kuserap. Kupikir ia belum tahu tentang penyakitku. Tapi setelah ia memberiku sebuah buku, aku terperangah sekaligus kagum padanya.

"Aku akan menunjukan ini pada yang lain," katanya pada hari itu. Aku memandang bingung buku di pangkuanku. Di sana tertulis segala macam penjelasan tentang HIV. Dari asal mulanya hingga cara penularannya. Dan di sana dikatakan bahwa penyakit ini tidak menular melalui kontak fisik.

"Kau gila." Aku menatap Gilang tak percaya. "Mereka justru akan semakin menjauhiku."

Gilang tersenyum. Matanya menyiratkan keyakinan di balik lensa kacamatanya. "Aku yang bertanggung jawab."

Harus kalian ketahui, kalau laki-laki bernama Gilang adalah orang yang selalu memegang teguh perkataannya.

Gilang benar-benar melakukan apa yang diucapkannya. Pada sebuah tugas presentasi salah satu pelajaran, Gilang memanfaatkannya dengan sangat baik. Di sana ia menjelaskan tentang HIV selengkap yang ada di buku. Bahkan ia menyelipkan sumber-sumber terpcaya.

Saat itu aku menyaksikannya dengan agak takut. Sedikit-sedikit aku bisa merasakan beberapa pasang mata mengarah padaku.

Setelah presentasi menakjubkan dari Gilang, tak ada yang berbeda dari para siswa. Hanya saja, mereka tidak lagi menatapku aneh. Tapi tetap saja tak ada yang mau dekat-dekat denganku.

Hingga suatu hari, perubahan itu mulai aku rasakan. Satu persatu murid mulai mau menerima keberadaanku dan melayangkan senyum saat kami bertemu.

Pada sebuah sore, Gilang datang ke pantiku tanpa bisa kuduga.

Dan saat itu lah, pertamakalinya aku merasa menjadi seseorang yang berarti bagi orang lain.

Sebelumnya tak ada yang mampu
Mengajakku untuk bertahan
Di kala sedih

Sebelumnya kuikat hatiku
Hanya untuk aku seorang
Sekarang kau di sini hilang rasanya
Semua bimbang tangis kesepian

Gilang datang tak hanya untuk berkunjung. Tapi ia juga mengajakku ke pesta ulangtahun salah satu temannya yang bertemakan promnight.

Awalnya aku menolak, tentu saja. Tapi bukan Gilang namanya kalau langsung menyerah begitu saja. Ia membujukku. Bahkan ia membelikanku sebuah dress warna biru langit yang begitu indah.

Kau buat aku bertanya
Kau buat aku mencari

Tentang rasa ini
Aku tak mengerti

Akankah sama jadinya
Bila bukan kamu

Lalu senyummu menyadarkanku
Kau cinta pertama dan terakhirku

Aku tak bisa menolak saat melihat senyumnya. Tangannya menggenggam jari-jari pucatku begitu erat seakan meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja dan menyenangkan.

Malam itu lah, pertama kalinya dalam seumur hidupku, aku merasakan jatuh cinta.

Bila suatu saat kau harus pergi
Jangan paksa aku 'tuk cari yang lebih baik

Karena senyummu menyadarkanku

Kaulah cinta pertama dan terakhirku

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang